Fang Ye berjalan tertatih-tatih menuju sungai kecil yang mengalir dengan tenang di tengah hutan yang sunyi. Airnya jernih, memantulkan bayangan langit yang mulai berubah warna di ufuk timur. Setiap langkah terasa seperti beban yang tidak tertanggungkan di tubuh barunya yang lemah. Bayi di dekapannya tetap tertidur, napas kecilnya terdengar teratur di tengah keheningan.
Sesampainya di tepi sungai, Fang Ye perlahan duduk dengan susah payah. Kakinya yang lemah diluruskan sedikit melebar untuk mengurangi rasa nyeri yang terus menggigit persendiannya. Tangan kirinya memeluk bayi dengan erat, sementara tangan kanannya perlahan tenggelam ke dalam air sungai yang dingin.
Air itu terasa menusuk tulangnya, tetapi Fang Ye tetap diam. Pandangannya kosong, tetapi ada kilatan fokus di balik tatapan redupnya. Ikan kecil berenang mengikuti arus, bergerak di antara celah jari-jarinya. Fang Ye menunggu dengan sabar, seakan waktu berhenti di sekitarnya.
Dalam satu gerakan cepat, tangannya mencengkeram seekor ikan. Sisiknya yang licin berkilauan di bawah sinar matahari pagi. Ia melempar ikan itu ke sisi kirinya, membiarkannya menggelepar di tanah basah.
Bayi di dekapannya mulai bergerak kecil setelah melihat ikan di tangan kanan sebelum dilempar, kelaparan mungkin mulai merayapi tubuh mungilnya. Fang Ye menatap bayi itu sejenak, matanya menyipit seperti tengah membaca teka-teki yang rumit. Ia tahu bayi ini bukan sekadar bayi biasa—sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang penuh rahasia tersembunyi di balik kulit rapuhnya. Seperti Fang Ye merasa harus memberikan bayi itu makan ikan tangkapannya.
Fang Ye mengalihkan pandangannya kembali ke ikan di sebelahnya. Dengan tangan gemetar, ia merobek sisik ikan itu, lalu menggigit daging mentahnya. Tidak ada kebanggaan dalam tindakannya, hanya kebutuhan untuk bertahan hidup. Setiap serat daging yang ditelannya terasa hambar, bercampur dengan rasa logam dari darah ikan.
Setelah selesai, Fang Ye meletakkan bayi di atas selendang lusuh yang ia rentangkan di atas rerumputan basah. Dengan tangan yang masih bergetar, ia merendam potongan ikan yang tersisa ke dalam air sungai untuk membersihkannya, lalu mengunyah perlahan dan menyuapkan sedikit demi sedikit ke mulut bayi yang masih setengah tertidur.
Bayi itu merespons dengan membuka mulut kecilnya, menerima potongan demi potongan dengan tenang. Fang Ye memperhatikan bayi itu dengan seksama. Di balik ketenangan yang terpancar di wajah kecil itu, Fang Ye merasa ada sesuatu—sesuatu yang lebih tua dari waktu itu sendiri, yang bersembunyi di balik kelopak mata mungilnya.
"Siapa kau sebenarnya?" bisik Fang Ye pelan, hampir seperti gumaman yang terseret angin.
Ia bersandar di batu besar di tepi sungai, membiarkan tubuhnya tenggelam dalam kelelahan sejenak. Cahaya matahari memantul di permukaan air, menciptakan kilauan yang memancar di wajahnya yang pucat. Suara gemericik air menjadi satu-satunya teman di tengah hening yang menyelimuti hutan.
Fang Ye menghela napas panjang, dadanya naik turun dengan ritme yang tidak stabil. Hutan di sekelilingnya tetap sunyi, hanya suara gemericik air sungai dan kicauan burung dari kejauhan yang sesekali memecah kesunyian. Bayi di pangkuannya tampak tenang setelah memakan beberapa potong ikan yang dikunyah Fang Ye sebelumnya dan bayi itu sudah melebihi porsi anak kecil. Setiap Fang Ye dapat ikan ia melakukan hal yang sama untuk memberikan makan bayi sudah 10 kali tapi mengunakan ikan utuh bukan sisa ikan yang ia makan.
Namun, rasa penasaran mulai merayap di benak Fang Ye.
["Kenapa bayi ini makan begitu banyak.?"]Bahkan anak kecil pun seharusnya tidak punya nafsu makan sebesar ini."
Tatapannya kembali beralih ke permukaan sungai yang tenang. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, ia kembali menenggelamkan tangan kanannya ke dalam air yang dingin lagi, menunggu dengan sabar seperti sebelumnya.
Satu ikan.
Dua ikan.
Tiga ikan.
Hingga akhirnya, sembilan ikan kecil terkumpul di sisinya. Sisik ikan yang berkilauan seolah mengejek kelemahannya, tetapi Fang Ye tak peduli. Ia mulai menyiapkan ikan-ikan itu satu per satu—merobek sisik dengan kasar, menggigit daging mentahnya, lalu menyuapkannya ke bayi itu.
Bayi itu, meski kecil dan tampak lemah, menerima setiap suapan dengan lahap. Mulut mungilnya terbuka setiap kali Fang Ye mendekatkannya dengan potongan ikan yang sudah dikunyah. Setiap gigitan daging ikan tampak seperti menyatu sempurna dengan tubuhnya yang kecil.
Waktu berlalu, dan ikan kesembilan akhirnya habis. Fang Ye memandangi bayi itu dengan penuh kecurigaan. Perutnya tidak membuncit seperti bayi yang baru saja makan terlalu banyak, seakan sembilan ikan itu hanya setetes air di tengah gurun yang luas.
"Bayi ini… bukan bayi biasa."
Fang Ye mengusap dahinya yang mulai berkeringat. Tubuh barunya terlalu lemah untuk aktivitas seperti ini. Ia melirik payudaranya yang kini terasa berat dan sedikit nyeri.
"Tubuh wanita ini pasti baru saja melahirkan. ASI seharusnya cukup untuk bayi seperti ini… tapi kenapa dia malah memilih daging mentah?"
Dengan perasaan tak nyaman, Fang Ye membuka sedikit bagian bajunya, memperlihatkan payudaranya yang penuh. Wajahnya tampak datar, tetapi sorot matanya penuh perhitungan saat menatap bayi itu.
"Apa kau menolak ini, hah? Kau pikir kau lebih pantas makan daging ikan mentah daripada meminum susu yang tubuh ini hasilkan?" ucap Fang Ye dengan suara rendah dan tajam.
Bayi itu memalingkan wajahnya, seolah mengabaikan tawaran itu. Bibir kecilnya tertutup rapat, dan matanya yang hampir selalu tertutup tetap enggan terbuka.
Sesuatu di dalam diri Fang Ye bergejolak. Bibirnya melengkung tipis membentuk senyum dingin yang tanpa emosi.
"Bayi ini bisa memilih apa yang ia mau? Menolak ASI dan lebih memilih daging mentah? Tidak, ini bukan naluri biasa seorang bayi…"
Fang Ye mendekap bayi kembali dengan selendangnya. Mendekatkan wajahnya ke bayi itu, matanya menyipit tajam seperti mata predator yang mengamati mangsanya.
"Hisaplah," ucapnya pelan namun penuh tekanan. "Aku bisa kena penyakit jika kau tidak menghisapnya, bocah."
Suasana di sekitar mereka terasa semakin dingin meskipun matahari sudah mulai naik lebih tinggi di langit. Nada suara Fang Ye yang dingin dan ekspresinya yang menekan membuat bayi itu tiba-tiba menggigil kecil.
Seakan mengerti ancaman yang tersembunyi di balik kata-kata itu, bayi itu akhirnya membuka mulut kecilnya dan mendekat ke payudara Fang Ye. Perlahan, ia mulai menghisap dengan lemah namun konsisten.
Fang Ye bersandar di batu besar di belakangnya, membiarkan bayi itu menyusu dengan tenang. Ekspresinya tetap datar, tetapi pikirannya terus berputar.
"Jadi, kau memang membutuhkan ini juga. Tapi kenapa kau begitu rakus terhadap daging ikan mentah? Bayi normal seharusnya tidak bersikap seperti ini."
Setiap detik yang berlalu membuat Fang Ye semakin yakin bahwa bayi ini bukanlah bayi biasa. Ada sesuatu yang bersembunyi di balik kulit mungilnya—sesuatu yang Fang Ye belum bisa pahami sepenuhnya.
Ketika bayi itu akhirnya melepaskan diri dan tertidur di dekapannya, Fang Ye menatap langit dengan tatapan kosong.
"Tubuh ini lemah, bayi ini aneh, dan aku… aku harus memahami situasi ini lebih cepat. Jika tidak, aku akan mati tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Fang Ye menarik napas dalam-dalam, lalu menutup matanya sejenak. Ia tahu, di balik hutan yang sunyi ini, bahaya sedang mengintainya. Waktu tidak akan menunggu, dan setiap detik yang terbuang hanya akan semakin menjerumuskannya dalam bahaya yang lebih dalam.
Sebelum berdiri, Fang Ye melirik bayi yang tertidur di pelukannya dan bergumam pelan, hampir seperti janji kepada dirinya sendiri:
"Aku akan mencari jawaban. Entah siapa kau, atau apa kau sebenarnya?."
Matahari pagi mulai naik ke puncaknya, menyinari dua sosok yang berjalan tertatih di tengah hutan yang semakin dalam. Fang Ye tahu, ini baru permulaan dari perjalanan panjang yang penuh dengan rahasia dan jebakan yang belum terungkap.