Bab 1: Bisikan di Antara Debu
Langit sore menggantung kelabu di atas kota, seperti tirai berat yang diturunkan perlahan-lahan, menutup ruang untuk cahaya. Di balik jendela-jendela tinggi perpustakaan tua, senja merayap masuk dengan sendirinya, membawa dingin yang menyusup ke setiap sudut ruangan. Tidak ada suara selain desiran angin di luar dan gemerisik halaman buku yang tersisa, meskipun tak ada yang membacanya.
Alea menjejakkan kakinya di lantai kayu yang berderit pelan, seolah setiap langkahnya mencuri napas dari ruang itu. Ia tahu, bahkan sebelum melangkah masuk, bahwa perpustakaan ini selalu mengubah dirinya menjadi seseorang yang berbeda. Sesuatu tentang ruangan ini—terlalu sunyi, terlalu sepi—menyentuh sesuatu yang lebih dalam dalam dirinya, sesuatu yang sulit diungkapkan.
Rak-rak buku menjulang tinggi, mengurungnya dalam lingkaran tulisan yang tak pernah berhenti. Setiap tumpukan buku seperti jarum yang tersusun rapi di sebuah jarum jam raksasa yang tidak pernah berhenti berdetak. Aroma kertas tua, campuran antara debu dan kulit buku yang sudah lapuk, menyelimuti udara. Alea menarik napas dalam-dalam, mencoba meresapi keheningan ini. Di luar, dunia berputar dengan cepat, dengan suara kendaraan yang nyaris membahana, tetapi di sini, waktu berjalan dengan caranya sendiri—lambat, seperti gerakan bulan yang menyelusuri langit yang gelap.
Ia mengayunkan tubuhnya, merasakan diri tenggelam lebih dalam ke dalam lorong-lorong buku yang semakin sempit. Rak-rak ini seperti labirin tanpa ujung, setiap sudut menyimpan cerita yang tidak pernah berakhir. Tangan Alea menyentuh setiap punggung buku yang ia lewati, merasakan kasar dan halusnya kulit mereka, merasakan teks yang tersembunyi di balik permukaan itu. Ada perasaan aneh, seolah setiap buku ini menyembunyikan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Mereka punya jiwa, sebuah rahasia yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang bersedia menunggu dalam diam.
Namun, hari ini berbeda. Sesuatu terasa aneh. Seperti ada yang mengawasi.
Alea berhenti di depan rak yang lebih tua dari yang lain. Buku-buku di sini lebih berdebu, lebih terlupakan, dan hampir semuanya terbungkus lapisan kain hitam yang pudar. Mereka tampak seperti sisa-sisa dari sebuah peradaban yang telah lama hancur. Matanya tertarik pada satu buku di ujung rak, yang hampir tak terlihat karena tertutup debu tebal.
Buku itu tidak tampak seperti buku lainnya. Kulitnya mengkilap hitam, seperti batu onyx yang dipoles halus, menyerap cahaya dan menyimpannya dalam lapisan gelap. Tidak ada judul yang tertulis di atasnya, hanya sebuah permukaan yang begitu halus, seolah mengundang untuk disentuh. Tanpa berpikir panjang, Alea menariknya dengan hati-hati dari rak. Beratnya tidak sesuai dengan ukurannya—lebih berat daripada yang ia duga, seakan mengandung sesuatu lebih dari sekadar tinta dan kertas. Ada sesuatu yang ganjil dalam sentuhannya, seperti ada kehidupan yang terpendam di dalamnya.
Ketika buku itu terbuka di tangannya, ia merasakan angin dingin berhembus perlahan, menyentuh kulitnya dengan dingin yang membekukan. Perpustakaan yang semula terasa hening kini terdiam lebih dalam, seolah dunia di luar sana berhenti sejenak. Alea membuka halaman pertama, namun yang ia temui hanyalah keheningan. Halaman itu kosong, putih bersih seperti kain kafan yang baru diletakkan.
Lalu, tanpa peringatan, tinta muncul. Perlahan, dengan gerakan yang tak terlihat, kata-kata mulai terukir di atas halaman itu, seolah tinta itu mengalir dari kedalaman tak terduga. Huruf demi huruf menyusun kata, membentuk nama yang sangat familiar di matanya—Alea S..
Jantung Alea berdegup kencang. Ia merasakan sesuatu yang menekan dadanya, napasnya terhenti sejenak. Bagaimana mungkin? Buku ini... Buku ini menuliskan namanya sendiri.
Di bawah namanya, muncul baris kalimat lain—tepat di sana, di halaman yang sama, dengan tinta yang begitu hidup, seperti darah yang menetes dari kertas itu:
"Hidupnya akan berakhir dalam bisu. Suara nafas terakhirnya akan hilang dalam kegelapan."
Kata-kata itu terasa lebih seperti ancaman daripada ramalan. Alea merasakan dadanya sesak, mulutnya kering, dan matanya tidak bisa berpaling dari teks yang terukir di depan mata. Buku ini, yang seharusnya hanya sebuah benda mati, kini seolah berbisik padanya, mengancamnya, membuatnya merasa terperangkap.
Ia menoleh ke sekeliling, berharap melihat sesuatu yang familiar—sesuatu yang bisa meyakinkannya bahwa ini hanya ilusi. Tetapi apa yang ia lihat adalah bayangan dirinya sendiri yang terpantul di jendela tua di ujung ruangan, samar-samar dalam gelap. Tidak ada suara selain desiran napasnya sendiri yang terdengar keras di telinga.
Alea mencoba menutup buku itu, tetapi rasanya tidak mungkin. Buku itu seolah melekat erat pada tangannya, seakan memberikan peringatan bahwa tidak ada jalan keluar. Setiap kali ia mencoba menutupnya, halaman itu terbalik dengan sendirinya, memperlihatkan lebih banyak nama—semua tercetak dengan darah yang mengalir perlahan, memudar di setiap halaman yang terbuka.
Di antara nama-nama itu, ia melihat nama Maya. Nama yang sangat ia kenal.
Tiba-tiba, rak-rak buku di sekelilingnya berderit keras, suara yang memecah keheningan. Alea menoleh dengan cepat, berharap untuk melihat sesuatu yang nyata, tetapi yang ia temui hanya bayangannya sendiri yang semakin menghitam di balik rak.
Tangan Alea gemetar, dan ia terpaksa menjatuhkan buku itu ke lantai. Buku itu jatuh dengan suara yang tidak biasa—lebih berat daripada seharusnya, seperti sebuah peti mati yang terhempas. Saat itu, ia mendengar suara lain, lebih jelas, lebih nyata. Suara nafas berat—seperti sesuatu yang baru saja terbangun dari tidur panjang.
Alea membeku. Ia tahu bahwa ia tidak sendirian lagi di dalam ruangan itu.
---
Cliffhanger: Buku itu terbuka pada halaman yang lain, di mana nama Maya muncul diikuti oleh tulisan yang baru muncul: "Tepat saatnya, dia akan menemui kegelapan."
---