Chereads / After Book / Chapter 6 - Tanda dalam cermin

Chapter 6 - Tanda dalam cermin

Bab 6: Tanda di Cermin

Alea terbangun dengan nafas memburu. Tubuhnya gemetar, dan kulitnya terasa dingin seperti es. Ia tidak lagi berada di ruang gelap itu—ia kini di kamar tidurnya sendiri. Matahari mulai terbit, menyelimuti ruangan dengan sinar oranye yang lembut. Tapi cahaya itu tidak memberikan kehangatan atau rasa aman. Tidak kali ini.

Matanya langsung tertuju pada meja di sudut ruangan, di mana After Book tergeletak, terbuka seperti menantinya. Halaman-halamannya berhenti pada sebuah teks baru, yang tergores dengan tinta merah darah. Alea ingin mendekat, tapi tubuhnya terasa berat, seolah-olah ruangan itu sendiri menahannya.

Tulisannya mencolok di halaman yang putih.

"Kehidupan adalah cermin, Alea. Dan cermin selalu menunjukkan kebenaran, meskipun kau ingin mengabaikannya."

Tiba-tiba, suara pelan terdengar di belakangnya—gerakan halus, seperti sesuatu yang bergerak di lantai kayu. Alea menoleh, tapi tidak ada apa-apa. Jantungnya berdetak kencang, dan ia mulai merasa seolah-olah udara di ruangan ini lebih berat, lebih pekat.

"Aku harus menghentikan ini," gumamnya, meskipun ia tidak tahu bagaimana caranya.

Ketika ia akhirnya mengumpulkan keberanian untuk mendekati buku itu, ia melihat sesuatu di sudut matanya. Cermin besar di dekat lemari bajunya tampak... salah. Permukaannya tidak memantulkan ruangan seperti biasanya. Itu gelap, seperti kabut menutupi kaca. Dan di tengah kabut itu, ia melihat sesuatu yang membuat darahnya membeku.

Itu adalah wajahnya sendiri, tapi dengan mata yang kosong—hanya dua lubang hitam yang menganga, dan senyum tipis yang tidak manusiawi.

Alea mundur dengan cepat, menabrak meja. Cermin itu tetap diam, tapi bayangan dirinya terus menatap, seolah sedang menikmati rasa takut yang ia rasakan.

"Apa yang kau inginkan dariku?" Alea berteriak, suaranya bergetar.

Bayangan itu tidak menjawab, tapi mulai bergerak, mendekat ke permukaan kaca. Ketika wajahnya hampir menyentuh permukaan cermin, suara seperti desisan ular terdengar di ruangan.

"Bukan aku yang kau harus takuti, Alea. Tapi dirimu sendiri."

Sebelum Alea bisa bereaksi, cermin itu retak dengan suara yang memekakkan telinga. Retakan itu menyebar seperti jaring laba-laba, menciptakan pola yang tampak seperti tangan yang mencoba keluar. Tapi ketika ia memandang lagi, cermin itu kembali normal—tidak ada retakan, tidak ada bayangan. Hanya refleksi biasa dari kamar tidurnya.

Alea mundur, napasnya terengah-engah. Semua terasa terlalu nyata untuk menjadi halusinasi, tapi ia tidak bisa membedakan lagi antara kenyataan dan ilusi. Buku itu, cermin itu, suara-suara itu—semua terasa seperti bagian dari mimpi buruk yang tidak pernah berakhir.

Namun, sesuatu menarik perhatiannya. Pada permukaan buku, sebuah kalimat baru muncul, tinta merah yang masih menetes, seolah-olah baru saja ditulis.

"Langkah berikutnya dimulai. Jangan tutup mata, Alea, atau kau akan kehilangan lebih dari sekadar nyawamu."

Kata-kata itu seperti ancaman langsung, tapi Alea tidak bisa mengabaikannya. Ia tahu bahwa setiap kali buku itu berbicara, sesuatu yang mengerikan akan terjadi. Dan ia tidak ingin tahu apa artinya "kehilangan lebih dari sekadar nyawamu."

Hari itu berlalu dengan lambat, seperti waktu berhenti hanya untuknya. Alea tidak pergi ke sekolah. Ia hanya duduk di kamarnya, mengamati buku itu dari jauh, takut menyentuhnya, tapi juga takut membiarkannya begitu saja. Setiap suara kecil di rumahnya membuatnya melompat, setiap bayangan yang bergerak di sudut pandangannya membuatnya berpikir bahwa mereka kembali.

Saat malam tiba, rumah menjadi sunyi. Ia sendirian, karena kedua orang tuanya sedang berada di luar kota untuk urusan pekerjaan. Biasanya, ia menyukai waktu seperti ini—kesempatan untuk menikmati ketenangan tanpa gangguan. Tapi sekarang, kesunyian itu terasa seperti ancaman, seolah-olah sesuatu mengintai di balik setiap pintu, menunggu saat yang tepat untuk menyerangnya.

Ketika ia mencoba tidur, mimpi buruk itu datang lagi. Bayangan-bayangan yang mengelilinginya, tangan-tangan yang mencoba menariknya ke dalam kegelapan. Dan di tengah semua itu, buku itu muncul, melayang di udara, dengan halaman-halamannya yang terus terbuka, menampilkan wajah-wajah yang ia kenali.

Wajah mereka yang telah mati.

Ia terbangun dengan teriakan, keringat dingin membasahi tubuhnya. Tapi kali ini, ia tidak sendiri.

Ruangan itu gelap, tapi Alea bisa merasakan kehadiran sesuatu di dalamnya. Ia tidak bisa melihatnya, tapi ia tahu itu ada. Ia bisa mendengar napasnya—panjang, berat, dan berirama, seperti binatang buas yang sedang menunggu saat yang tepat untuk menyerang.

Ia mencoba mengambil ponselnya di meja samping tempat tidur untuk menyalakan lampu, tapi ketika ia meraih, sesuatu menyentuh tangannya. Itu dingin dan kasar, seperti kulit yang telah mati terlalu lama.

Alea menarik tangannya dengan cepat, menjerit kecil. Ia melompat dari tempat tidur, menyalakan lampu kamar, tapi tidak ada apa-apa. Tidak ada siapa-siapa.

Tapi ketika ia berbalik, cermin di kamarnya kembali gelap. Kali ini, seluruh permukaannya dipenuhi retakan, dan dari retakan itu menetes cairan hitam yang kental. Dan di tengah kegelapan itu, ada dua mata yang menatapnya.

Mata itu tidak seperti mata manusia. Mereka bersinar merah, dengan pupil vertikal seperti ular, dan mereka tidak pernah berkedip.

*"Kau sudah terlambat, Alea."*

Sebelum ia bisa melakukan apa-apa, lampu kamar padam.

Dan Alea tidak bisa menahan teriakannya.

---

Cliffhanger : Alea kini menghadapi teror yang semakin nyata, tidak lagi hanya dari buku, tetapi dari entitas yang terhubung dengannya. Mata merah itu memberikan petunjuk bahwa sesuatu sedang mendekat—sesuatu yang lebih gelap dan mematikan. Apa sebenarnya hubungan antara buku, bayangan, dan entitas ini? Dan bagaimana Alea akan bertahan di tengah ketakutan yang semakin menghancurkan dirinya?

---