Chereads / After Book / Chapter 7 - Gema dalam ruang

Chapter 7 - Gema dalam ruang

Bab 7: Gema di Lorong Kosong

Kegelapan itu tidak hilang meskipun Alea membuka matanya. Ia berdiri terpaku di tengah kamarnya, hanya berteman oleh napasnya sendiri yang berat dan tak teratur. Tubuhnya gemetar, keringat dingin membasahi tengkuknya, dan setiap suara kecil terasa seperti ledakan yang memekakkan telinga.

Ia mencoba bergerak, mencari saklar lampu yang tidak merespons lagi, tetapi rasanya kakinya tertahan oleh sesuatu yang tak terlihat. Kegelapan ini lebih pekat dari malam biasa, seperti kain hitam yang membungkus seluruh tubuhnya, mencegahnya bernapas dengan leluasa.

"Alea..."

Sebuah bisikan muncul dari sudut ruangan. Suara itu rendah, dingin, dan bergaung seperti berasal dari tempat yang jauh. Tapi ia tahu suara itu dekat—terlalu dekat.

"Alea... Kau tahu ini hanya awalnya..."

Alea mencoba menjerit, tetapi suara itu tersangkut di tenggorokannya. Tubuhnya seperti lumpuh, tertahan oleh rasa takut yang begitu kuat. Ia merasa sesuatu bergerak di belakangnya, langkah-langkah kecil yang pelan namun nyata. Ketika ia menoleh dengan susah payah, ia hanya melihat bayangan samar di tengah kegelapan, seperti seseorang berdiri diam, memperhatikannya.

Tapi ini bukan manusia. Ia tahu.

Cermin yang sebelumnya gelap kini memancarkan cahaya samar, seperti portal menuju tempat lain. Dari dalamnya, muncul bisikan-bisikan yang menggema, mengucapkan kata-kata yang tidak bisa Alea pahami. Namun, kata-kata itu menembus pikirannya, membuatnya merasa seolah-olah bagian dari dirinya sedang diambil perlahan.

Dengan langkah berat, Alea mendekati cermin itu, meskipun nalurinya berteriak untuk berhenti. Kakinya bergerak sendiri, seperti ditarik oleh kekuatan yang lebih besar darinya. Cahaya dari cermin itu semakin terang, menampilkan bayangan-bayangan yang bergerak di dalamnya—wajah-wajah yang terdistorsi, tangan-tangan yang menggapai-gapai, dan mata merah menyala yang memandangnya tanpa henti.

Ketika ia berdiri tepat di depan cermin, permukaannya berubah menjadi seperti air yang beriak. Bayangan dirinya muncul lagi di sana, tetapi kali ini bayangan itu tersenyum, menunjukkan gigi yang tajam seperti pisau.

"Apakah kau siap, Alea?"

Sebelum Alea bisa menjawab, tangan dari bayangan itu mencuat keluar dari cermin, memegang pergelangan tangannya dengan kekuatan yang luar biasa. Ia menjerit, mencoba melepaskan diri, tetapi genggaman itu dingin dan kuat, seperti baja. Tangan itu menariknya lebih dekat ke permukaan cermin, dan untuk sesaat, ia merasa tubuhnya akan ditelan sepenuhnya.

Saat Alea tersedot ke dalam cermin, dunia di sekitarnya berubah. Ia tidak lagi berada di kamarnya, melainkan di sebuah lorong panjang yang tampak tidak memiliki ujung. Dindingnya berwarna hitam pekat, dihiasi dengan retakan-retakan yang mengeluarkan cairan merah seperti darah. Langit-langit lorong itu dipenuhi dengan akar-akar gelap yang bergerak perlahan, seolah-olah hidup.

Lorong itu sunyi, kecuali suara langkahnya sendiri yang bergema tanpa henti. Tetapi setiap kali ia berhenti, gema itu terus berlanjut, seperti ada seseorang yang mengikutinya dari belakang.

"Ada orang di sana?" Alea memanggil dengan suara bergetar, meskipun ia tahu jawabannya.

Tidak ada balasan, tetapi bayangan di ujung lorong mulai bergerak. Itu tinggi, lebih besar dari manusia biasa, dengan lengan-lengan yang panjang dan melengkung seperti cabang pohon mati. Mata merah itu kembali, bersinar di tengah kegelapan, memandang Alea dengan intensitas yang membuat lututnya hampir lemas.

"Apa yang kau inginkan dariku?" Alea berteriak, mencoba terdengar tegas, tetapi suaranya pecah di tengah kalimat.

Makhluk itu tidak menjawab. Ia hanya berdiri diam, mengawasi. Tetapi setiap kali Alea mengedipkan mata, ia semakin dekat. Langkahnya tak terdengar, tetapi kehadirannya terasa seperti beban berat di dada Alea.

Akhirnya, makhluk itu hanya beberapa langkah darinya. Alea bisa melihat wajahnya—atau apa pun itu yang disebut wajah. Itu tidak memiliki hidung atau mulut, hanya mata merah yang bersinar dan kulit hitam pekat yang tampak seperti terbakar.

"Alea..." Makhluk itu akhirnya berbicara, suaranya bergema seperti ribuan suara berbicara sekaligus. "Kau telah membuka pintu ini. Tidak ada jalan keluar sekarang."

Lorong itu mulai bergetar, dan dinding-dindingnya retak, mengeluarkan cairan hitam yang mulai mengalir seperti sungai. Alea berusaha melarikan diri, tetapi kakinya seperti terjebak dalam lumpur. Ia hanya bisa berdiri di sana, menyaksikan dunia ini runtuh di sekitarnya.

Makhluk itu mendekat, meraih wajahnya dengan tangan yang besar dan kasar. Sentuhannya dingin, dan Alea merasa seolah-olah nyawanya sedang diambil. Tetapi sebelum makhluk itu melakukan sesuatu, lorong itu runtuh sepenuhnya, dan semuanya berubah menjadi gelap.

Ketika Alea membuka matanya, ia kembali berada di kamarnya. Lampu menyala, semuanya tampak normal, tetapi ia tahu itu bukan hanya mimpi. Cermin di sudut ruangan itu pecah menjadi ribuan serpihan, dan di tengah-tengah serpihan itu, ia melihat refleksi dirinya yang tersenyum dengan mata merah.

Dan di atas meja, After Book terbuka lebar, menampilkan sebuah kalimat baru:

"Ini hanya permulaan, Alea. Dunia ini telah memilihmu."

---

Cliffhanger : Bab ini membawa pembaca lebih dalam ke misteri supernatural yang mengelilingi Alea. After Book kini tidak hanya menjadi pengamat, tetapi juga pembentuk nasib Alea. Dengan entitas baru yang menyeramkan dan dimensi gelap yang menghantui, Alea semakin terjebak dalam permainan yang tak ia mengerti.