Bab 2: Terperangkap dalam Kegelapan
Alea terdiam, berdiri kaku di tengah perpustakaan yang terasa seperti labirin tanpa ujung. Setiap rak buku yang menjulang tinggi menutupi langit-langit ruangan dengan bayangannya yang semakin pekat. Aroma kertas tua dan debu yang mengendap di udara seperti memerangkap setiap napasnya. Sinar matahari yang masuk melalui jendela-jendela kecil di dinding sudah memudar, seakan cahaya itu pun enggan berada di tempat yang penuh dengan kegelapan ini. Perpustakaan itu tampak lebih seperti ruang bawah tanah yang tak terjamah, di mana rahasia gelap tersembunyi di balik setiap halaman buku yang dibiarkan terbuka.
Tubuhnya terasa begitu kaku. Alea memejamkan mata sejenak, berusaha menenangkan diri, tapi begitu membuka mata, ia melihat buku itu lagi—tergeletak di lantai, terbuka lebar pada halaman yang berisi kalimat yang lebih menakutkan daripada yang bisa ia bayangkan. Nama Maya, tercetak di tinta hitam yang tak pernah pudar, kembali menyapanya. Setiap hurufnya seperti cambuk yang melukai hati, merobek sesuatu yang dalam dalam dirinya.
Ia mengerjap, berusaha melawan gelap yang mulai menyelimuti pikirannya. Namun saat itu, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Tinta di halaman buku itu bergerak. Setiap huruf berubah, seperti gelombang di permukaan laut yang bergerak mengikuti ritme yang tidak bisa dipahami. Alea merasakan ketegangan di tenggorokannya, seolah setiap kata yang muncul mengundang malapetaka baru.
*"Maya akan mati dalam teriakan yang tak terdengar. Dunia ini tidak akan pernah tahu, dan kau, Alea, akan menjadi saksi bisu."*
Tulang belakang Alea terasa kaku, sebuah rasa dingin yang menyentuh kulitnya seperti tangan yang mati. Perpustakaan yang dulu dianggapnya sebagai tempat perlindungan kini berubah menjadi penjara yang tidak bisa ia hindari. Semua rak buku di sekitarnya seakan bergerak, menggeliat dengan kehadiran yang tak terlihat. Bahkan udara pun terasa berat, sesak, seperti ada sesuatu yang terus menekan dada dan memaksa napasnya lebih cepat.
Dia ingin berlari. Menjerit. Mencari pintu keluar dan melarikan diri dari dunia yang semakin tidak masuk akal ini. Namun, tubuhnya terasa lumpuh. Kakinya seolah tertanam di lantai kayu yang dingin, tak mampu bergerak. Alea berusaha mengalihkan pandangannya, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu semua hanya ilusi. Tapi tak ada yang bisa menghilangkan bayangan itu—bayangan yang bergerak di antara rak-rak buku. Bukan manusia. Bukan makhluk yang bisa ia kenali. Bayangan itu bergerak dengan kelincahan yang tidak wajar, seakan terbuat dari kegelapan itu sendiri.
Alea menoleh ke arah buku yang tergeletak di lantai. Kata-kata yang tertulis di halaman terakhir berdenyut, mengundang perhatian. Di bawah nama Maya, kalimat baru muncul, lebih jelas, lebih menakutkan, seperti senjata yang menunggu untuk menghujam jantungnya.
"Saat dunia melupakan namamu, ketika kau berdiri di ambang kegelapan, ingatlah, Alea. Semua ini bukan kebetulan."
Mata Alea terasa panas, seakan setiap kalimat yang tertulis di buku itu menyerap semua energi dari tubuhnya. Begitu banyak pertanyaan yang membanjiri pikirannya, tapi tak ada jawaban yang bisa ia temukan. Di luar sana, dunia seharusnya masih berjalan seperti biasa, tapi bagaimana jika semuanya telah berubah? Bagaimana jika buku ini adalah awal dari akhir segala yang ia kenal?
Ketika ia berusaha untuk bangkit dan mundur, langkahnya terdengar terlalu keras, bergema di ruang besar yang kosong. Setiap langkah terasa seperti getaran yang bisa membangunkan sesuatu yang gelap, sesuatu yang menunggu untuk menelan dirinya. Alea merasakan perutnya berputar, merasa pusing oleh kecemasan yang semakin mendalam. Matahari yang biasanya memberikan kenyamanan kini terasa seperti bayang-bayang dari dunia lain. Setiap sudut perpustakaan itu mengancam, seakan menyimpan kisah-kisah kelam yang tak pernah bisa dilupakan.
Suara langkah kaki terdengar tiba-tiba, menggema melalui lorong-lorong gelap di antara rak buku. Langkah itu berat, tak seperti langkah manusia biasa. Alea menahan napasnya, merasakan gelombang ketakutan yang menyebar ke seluruh tubuhnya. Langkah itu semakin dekat, semakin keras, menghantam telinga dengan setiap detikan yang semakin memekakkan. Tetapi tak ada orang di sana. Hanya bayangan yang bergerak tanpa bentuk.
Alea ingin berteriak, namun mulutnya terkunci. Suara itu hanya terdengar di pikirannya—sebuah bisikan yang datang dari kedalaman yang tak terjangkau.
"Jangan lari, Alea."
Suara itu datang dengan lembut, namun begitu menakutkan. Seperti bisikan yang tak bisa dijelaskan, yang menelusup ke dalam otaknya, memanipulasi pikirannya, memanipulasi dirinya.
Alea menoleh, dan bayangan itu sudah ada di depannya. Itu bukan sosok manusia. Itu lebih menyerupai kekosongan, seperti sesuatu yang hanya ada di antara dunia nyata dan dunia lain. Mata yang kosong, seperti dua lubang hitam yang menatapnya dengan penuh keinginan gelap. Setiap detik yang berlalu membuatnya semakin tenggelam dalam ketakutan yang tak terucapkan.
Ia berusaha melangkah mundur, namun saat itu tubuhnya seakan tak bisa bergerak. Ada sesuatu yang mengikatnya di tempat itu. Suara langkah kaki itu semakin keras, seperti detak jantung yang dipercepat, semakin dekat, semakin menekan.
Tiba-tiba, suara itu berhenti. Alea terdiam, menunggu, merasakan kegelapan yang semakin tebal di sekitarnya. Tak ada suara, tak ada cahaya. Hanya kegelapan yang menyelimuti ruang dan pikirannya.
Dan kemudian, dalam sekejap, buku itu terjatuh dari tangannya. Ia merasa tubuhnya mulai kehilangan keseimbangan, seakan ruang itu menghisap seluruh kekuatannya. Jantungnya berdegup kencang, semakin kencang, seperti alarm yang memperingatkan akan bahaya yang semakin mendekat.
Alea berusaha bangkit, tapi langkahnya terhenti begitu mendengar suara jeritan. Itu bukan jeritan manusia biasa. Itu adalah jeritan yang begitu dalam, begitu menakutkan, seolah datang dari kedalaman yang tak bisa ia bayangkan. Jeritan itu mengguncang dinding-dinding ruangan, memecahkan keheningan yang sudah lama melingkupi perpustakaan ini.
"Ini Maya," bisik suara itu. "Dia sudah mati."
Alea terkejut, terengah-engah, tidak bisa bergerak. Jeritan itu semakin keras, semakin mengerikan. Di luar sana, dunia terus berjalan, tetapi Maya, teman yang begitu dekat dengannya, telah mati dalam kegelapan ini. Dan Alea, sebagai saksi bisu, tidak bisa melakukan apa-apa.
Di halaman terakhir buku itu, kalimat baru muncul lagi. Setiap hurufnya begitu jelas, begitu nyata, seperti dorongan untuk menghancurkan segala yang tersisa dari dirinya.
"Maya telah mati. Sekarang giliranmu."
Alea menutup mata, berusaha mengabaikan kata-kata itu, tetapi saat ia membuka mata kembali, dunia sudah berubah. Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Nama Maya tertera di layar ponselnya, tetapi bukan pesan biasa. Maya sudah meninggal, dan pesan itu hanya berisi satu kalimat yang mengerikan.
"Aku sudah mati. Dan kau, Alea, akan menjadi yang berikutnya."
---
Cliffhanger : Alea menjerit. Tetapi suara jeritannya terhenti di udara, tenggelam begitu saja dalam kehampaan. Apa yang baru saja ia baca? Apakah ini kenyataan, ataukah ia hanya terperangkap dalam mimpi buruk yang tak akan pernah berakhir?
---