Hari itu, Zara merasa jantungnya berdebar lebih kencang dari biasanya. Setelah mengirim pesan itu, dia merasa sedikit lega. Setidaknya, dia sudah mengungkapkan apa yang ada di hatinya. Namun, rasa cemasnya belum hilang. Bagaimana jika Dylan tidak siap untuk berbicara? Bagaimana jika ini malah berujung pada akhir yang tidak diinginkan?
Zara berusaha menenangkan pikirannya, menyibukkan diri dengan pekerjaan di kantor. Dia fokus pada rapat yang harus dipimpin, mencoba mengabaikan suara ponsel yang bergetar di meja kerjanya. Namun, setiap kali ada notifikasi, dia merasa seolah-olah dunia berhenti sejenak. Apakah itu pesan dari Dylan?
Beberapa jam berlalu, dan akhirnya, ponselnya berbunyi. Ada pesan masuk dari Dylan.
Dylan: "Aku setuju, Zara. Aku nggak ingin kita berlarut-larut dalam kebingungan ini. Aku siap untuk bicara. Bisa nggak kita ketemu sore nanti? Aku ingin jujur tentang semuanya."
Zara menarik napas panjang, merasa sedikit lebih tenang. Ini adalah langkah pertama menuju kejelasan, dan dia tahu, apa pun yang terjadi, dia harus siap. Namun, dia masih bingung dengan perasaan yang muncul. Apakah ini berarti Dylan akan memberikan jawaban yang jelas? Atau hanya sekadar memberikan alasan lagi?
Setelah memeriksa jam, Zara memutuskan untuk pergi ke kafe tempat mereka biasa bertemu. Tempat itu sudah menjadi saksi dari banyak momen mereka, dari tawa hingga perasaan canggung. Di sana, mereka pertama kali bertemu setelah sekian lama, dan kini, mereka akan berbicara tentang masa depan mereka.
Saat Zara tiba di kafe, Dylan sudah ada di meja dekat jendela, menunggu. Wajahnya tampak serius, dan ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Zara merasa tegang. Dia menghela napas dan mendekat.
"Hey," kata Zara dengan suara pelan, berusaha memberi senyuman meskipun jantungnya berdebar kencang. "Aku datang."
Dylan tersenyum sedikit, meskipun senyum itu terasa kaku. "Terima kasih sudah datang, Zara. Aku... aku tahu aku banyak salah, dan aku minta maaf untuk itu."
Zara duduk di depan Dylan, menatapnya dengan serius. "Dylan, aku nggak mau lagi terjebak dalam kebingungan. Aku nggak mau jadi orang yang terus nunggu tanpa kejelasan. Aku butuh tahu, apa yang sebenarnya kamu inginkan dari hubungan ini."
Dylan mengangguk pelan, matanya sedikit menunduk. "Aku... aku nggak mau kehilangan kamu, Zara. Tapi aku juga nggak bisa janji segalanya akan mudah. Aku punya banyak masalah, dan aku butuh waktu buat beresin semuanya. Tapi itu bukan berarti aku nggak peduli sama kamu."
Zara merasa hati sedikit terkoyak. "Jadi... kamu mau aku menunggu sampai semuanya selesai?" tanyanya, suaranya terdengar lebih rendah dari yang dia harapkan.
Dylan menghela napas panjang, kemudian mengangkat kepala dan menatapnya dengan mata yang penuh ketulusan. "Aku nggak tahu, Zara. Aku bener-bener nggak tahu kapan semuanya akan beres. Tapi aku mau kita coba cari jalan keluar bersama. Aku ingin kita berjuang, tapi bukan dengan cara yang saling menunggu tanpa kejelasan."
Zara terdiam. Kata-kata Dylan membuatnya merasa ada harapan, tapi juga ketakutan. Apa yang sebenarnya dia inginkan? Apa dia siap untuk bertahan, atau dia harus melepaskan dan mencari jalan sendiri?
"Jadi, kamu mau kita cari solusi bareng?" Zara bertanya, suara sedikit goyah, tapi matanya tetap tajam menatap Dylan.
Dylan mengangguk pelan. "Aku mau kita coba, Zara. Aku nggak janji semuanya akan sempurna, tapi aku janji aku akan berusaha lebih baik. Aku nggak mau kita terus merasa bingung atau terjebak dalam masalah yang nggak ada ujungnya."
Zara merasa sedikit lega mendengar kata-kata Dylan. Meskipun masih ada keraguan di hatinya, dia bisa merasakan keinginan Dylan untuk memperbaiki hubungan mereka. Ini adalah langkah pertama, dan dia merasa, mungkin ini adalah kesempatan yang bisa mereka ambil.
"Kalau begitu, kita coba, ya?" Zara akhirnya berkata dengan suara yang lebih lembut. "Tapi, aku nggak bisa terus menunggu tanpa kejelasan, Dylan. Kita harus benar-benar jujur satu sama lain."
Dylan tersenyum, kali ini senyuman yang lebih tulus. "Aku setuju, Zara. Kita jujur satu sama lain, dan kita cari jalan keluar bersama."
Mereka duduk beberapa saat, menikmati kebersamaan yang terasa berbeda. Meski masalah mereka belum selesai, namun ada harapan baru yang muncul. Zara tahu, meskipun perjalanan ini tak akan mudah, dia siap untuk mencoba, asalkan mereka berjalan bersama.