Chapter 6 - Obrolan di Tempat Tidur

Malam itu, setelah anak-anak tidur, aku dan Myra duduk bersama di tempat tidur. Suasana di kamar terasa hangat dan nyaman, hanya ada cahaya redup dari bola lampu yang menyinari ruangan. Kami berbincang-bincang tentang banyak hal, dan seiring berjalannya waktu, percakapan kami mengarah pada ide yang ku ucapkan di ruang makan.

"Sayang," Myra memulai dengan lembut, suaranya penuh perhatian. "Apa kau tidak bisa memberitahuku mengenai idemu? Aku ingin sekali membantumu," ujarnya, ekspresinya penuh harap.

Kata-katanya menghangatkan hatiku. Aku tersenyum dan menjawab, "Sayang, sebelum aku menjelaskan lebih jauh, aku ingin tahu... Apa yang biasanya kau lakukan di waktu luangmu?"

Myra sedikit bingung dengan pertanyaanku, tetapi ia tetap menjawab dengan jujur. "Hmm, biasanya kalau tidak ada pekerjaan yang bisa ku bantu, aku akan ke taman, membaca buku, minum teh, atau bermain dengan anak-anak."

Aku mengangguk perlahan mendengar jawabannya. Kemudian, dengan nada serius, aku melanjutkan, "Aku merasa akhir-akhir ini dunia kita kekurangan sesuatu yang penting... dan aku sadar itu adalah hiburan. Dunia ini terasa terlalu sunyi, seakan kita tidak memiliki hal yang benar-benar bisa membuat kita antusias."

Myra merenung sejenak, mencoba memahami maksudku. "Hmm, jika dipikirkan kembali, memang benar. Selain bermain dengan anak-anak, tidak ada yang benar-benar membuatku merasa antusias. Tapi... aku masih bingung dengan hiburan apa yang kau maksud, Sayang."

Aku tersenyum lembut dan menggenggam tangannya. "Kau akan tahu dalam seminggu ke depan, Sayang," jawabku, mengecup keningnya dengan lembut.

Myra tersenyum manis, pipinya merona. "Hm, aku tidak sabar menunggu," katanya dengan suara penuh semangat.

Aku menatapnya sejenak, merasa sangat beruntung memiliki istri sebaik dirinya. Lalu, aku melanjutkan dengan lebih serius, "Sebenarnya ada sesuatu yang kupikirkan, yang bisa ku minta tolong padamu."

"Apapun itu, Sayang, aku dengan senang hati akan membantumu," jawabnya dengan tulus.

Aku menarik napas dalam-dalam, merencanakan kata-kata yang tepat. "Jadi...

Dia mendengarkan dengan serius, matanya yang biru menatapku penuh perhatian. Setelah beberapa saat hening, dia akhirnya berbicara. "Baiklah, aku akan bekerja sama dengan Pak Tua Jenskin untuk mengurusnya nanti. Tapi, aku baru tahu kalau kamu bisa melakukan itu, Sayang."

Aku terkekeh dan menyandarkan diriku pada bantal, merasa bangga. "Hehe, tentu saja. Karena suamimu ini adalah seorang jenius, Sayang," jawabku dengan nada sedikit narsis.

Tiba-tiba, suara sistem terdengar di kepalaku, membuatku terkejut.

"Tch," suara sistem itu terdengar mengejek. "Kenapa aku merasa risih mendengar seseorang memuji dirinya sendiri seperti itu?"

Aku mendengus kesal, lalu berpikir. "Kenapa? Ada masalah dengan pujian ini?" tanyaku, sedikit jengkel.

Sistem menjawab dengan tenang, "Tidak apa-apa. Hanya saja, ini pertama kalinya aku mendengar seseorang memuji dirinya sebagai jenius dengan begitu tidak tahu malunya."

Aku hanya bisa terkekeh, merasa aneh mendengar komentar dari sistem yang satu ini. "Ya sudah, kalau begitu. Aku memang jenius," jawabku sambil tertawa pelan, kembali menatap Myra yang tersenyum manis.

"Jadi, Sayang, kapan waktu yang tepat untuk memulai semuanya?" tanyanya, tampaknya siap untuk bekerja sama.

Aku mengangguk, merasa lebih yakin dengan langkah yang akan kuambil. "Kau bisa memulainya kapan saja. Aku punya banyak rencana, dan aku tahu, bersama kamu, kita bisa mewujudkannya."

Myra hanya mengangguk dengan penuh keyakinan.