Chapter 4 - Langkah Awal

Lumine duduk di sampingku, menikmati makan paginya dengan riang. Namun, seperti biasa, sedikit saus menempel di sudut bibir mungilnya. Aku tersenyum kecil sambil mengambil sapu tangan dan membersihkannya.

"Hehe, terima kasih, Papa," Lumi terkikik pelan, membuat suasana pagi terasa hangat.

Setelah makan, keluargaku memiliki tradisi sederhana: berbincang santai di meja makan. Ini adalah waktu kami untuk saling berbagi cerita, menjaga komunikasi, dan menikmati kebersamaan. Topik obrolan bisa beragam, mulai dari kejadian sehari-hari hingga hal-hal yang lebih serius.

Namun pagi ini, aku merasa perlu menyampaikan sesuatu yang penting. Saat obrolan mulai mengalir, aku memutuskan untuk berbicara. "Roland," panggilku, menatap putraku dengan serius, "mungkin ini terasa lebih awal, tapi aku ingin kau mulai mengambil alih sebagian pekerjaan kepala keluarga untuk mengurus wilayah."

Ruangan sejenak hening. Semua mata tertuju padaku, terutama Roland, yang tampak sedikit terkejut namun segera memasang ekspresi serius.

"Kenapa, Ayah? Apakah ini ada hubungannya dengan ide yang Ayah sebutkan tadi?" tanyanya sambil menautkan alis.

Aku mengangguk. "Benar. Aku merasa tugas sebagai kepala keluarga dan misiku sebagai... yah, katakanlah, seorang pelopor, terlalu berat untuk kujalani bersamaan. Karena itu, aku ingin kau mulai belajar lebih awal. Apakah kau bersedia membantu Ayah?"

Tanpa ragu, Roland menjawab dengan tegas, "Tentu saja, Ayah. Aku bersedia."

Aku tersenyum bangga. Ini dia, putra sulungku. Sosok yang dapat diandalkan.

"Baiklah, terima kasih. Nanti kau bisa berkonsultasi dengan Pak Tua Jenskin. Dia akan membimbingmu," kataku. Pak Tua Jenskin adalah pelayan setia yang telah mengabdikan hidupnya untuk keluarga Carval sejak Eldric kecil. Dia bukan hanya pelayan, tetapi juga seorang penasihat yang sangat bisa dipercaya.

"Hm," Roland mengangguk, tanda ia menerima tugas ini dengan sepenuh hati.

Dari samping, Myra tersenyum lembut. "Aku juga akan membantunya nanti," katanya, memberikan dukungan.

"Terima kasih, Myra," jawabku sambil menyentuh tangannya lembut di bawah meja. Sebuah isyarat sederhana, tetapi cukup untuk menyampaikan perasaanku. Dia adalah tiang penyangga yang selalu mendukungku, apa pun situasinya.

Obrolan kami berlanjut, tetapi Liora, yang sejak tadi tampak gelisah, akhirnya memotong. "Ayah, apa ide yang Ayah sebutkan tadi? Bisakah kau memberitahuku sekarang?"

Aku tertawa kecil melihat rasa ingin tahunya yang tak tertahankan. "Untuk saat ini, itu masih rahasia," jawabku sambil mengedipkan mata, membuat Liora mendesah kecewa.

"Tapi tenang saja," lanjutku, mencoba mengurangi rasa penasarannya, "dalam waktu seminggu, aku akan menunjukkan hasilnya pada kalian semua."

Ekspresi Liora sedikit cerah mendengar itu, tetapi sebelum ia sempat bicara lagi, aku menambahkan, "Oh, dan Liora, besok mampirlah ke kantor Ayah. Ada sesuatu yang ingin Ayah diskusikan dan butuh bantuan darimu."

Mata Liora berbinar, dan senyuman lebarnya menghangatkan ruangan. "Tentu, Ayah! Aku akan datang besok!" katanya penuh semangat.

Melihat semangat mereka, aku merasa yakin bahwa keluargaku adalah fondasi utama untuk misi yang sedang kutempuh. Bersama mereka, aku tahu apa pun tantangan yang datang akan terasa lebih ringan. Langkah pertama telah dimulai, dan aku tak sabar melihat bagaimana perjalanan ini akan membawa kami ke depan.