Chereads / Different Game, Different World / Chapter 1 - Thrown Into Another World

Different Game, Different World

Akun_Baru_1625
  • --
    chs / week
  • --
    NOT RATINGS
  • 270
    Views
Synopsis

Chapter 1 - Thrown Into Another World

Nama ku Acon, seorang gamer biasa ber umur 19 tahun.

Aku suka bermain berbagai game, salah satunya Eclipsed Sanctum, sebuah game di mana sang hero berjuang untuk menyelamatkan dunia dari para iblis. Aku sudah bermain cukup lama, sehingga banyak hal kecil dalam game ini yang aku ingat dengan jelas. Namun, itu hanya satu dari sekian banyak game yang aku mainkan. Aku lebih suka game jenis TPS (Third Person Shooter).

Suatu hari, saat aku sedang asyik bermain Eclipsed Sanctum, layar monitor tiba-tiba bersinar sangat terang. Cahaya itu begitu menyilaukan hingga aku harus menutup mata. Dunia di sekitarku terasa berputar.

Ketika aku membuka mata, aku mendapati diriku sudah berada di sebuah hutan lebat, dikelilingi tanaman aneh yang belum pernah aku lihat sebelumnya. "Apa ini? Di mana aku?" Aku bertanya-tanya sambil memandang sekeliling dengan kebingungan.

'Selamat datang di dunia Eclipsed Sanctum' suara misterius terdengar di dalam kepalaku.

"Siapa itu?!" Aku terkejut, mencari sumber suara.

'Aku adalah System Cheat yang akan membantumu di dunia ini' suara itu menjawab.

"Cheat? Tunggu… Kau bilang aku ada di dunia Eclipsed Sanctum? Bagaimana bisa?" Aku bertanya, penasaran.

'Aku tidak tahu. Yang aku tahu, aku di sini untuk membantumu' jawabnya.

"Kau tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini?" Aku bertanya dengan heran.

'Ya, aku tidak tahu' jawab suara itu singkat.

Di tengah perdebatan kami, terdengar raungan keras dari kejauhan.

"Apa itu?" Aku terkejut, mata terpaku ke arah suara itu.

'Membuka mini map. Suara terdeteksi. Asal: Unknown' suara sistem menjawab.

"Tidak diketahui? Tunggu, mini map ini mengingatkan ku pada game yang pernah aku mainkan…" Aku penasaran melihat mini map yang muncul di sudut kiri bawah penglihatanku. Ada titik merah yang tampaknya sedang bertarung dengan tiga titik kuning. "Apa arti warna kuning ini?" Aku bertanya.

'Merah berarti bahaya, kuning adalah netral, hijau adalah teman. Jika terlalu banyak titik di mini map, Anda bisa mengatur untuk memprioritaskan dua atau satu warna' jawab sistem.

"Aku akan mendekat dan melihat lebih dekat," kataku, kemudian berlari menuju titik itu.

Sesampainya di sana, aku melihat seekor serigala raksasa dengan kilatan petir yang mengelilinginya, seakan itu adalah aura kekuatannya. "Apa makhluk itu?" Aku menatapnya dengan ketakutan. Di sampingnya, ada tiga orang yang sedang berjuang melawan monster itu: satu dengan pedang, dua lainnya dengan busur dan tongkat sihir.

"Jika dibiarkan, mereka mungkin akan kalah," pikirku, melihat bagaimana mereka tersudut. "Apa yang bisa aku lakukan dengan sistem ini? Apa kau punya sesuatu yang berguna?" Aku bertanya pada suara misterius itu.

'Membuka panel status' suara itu menjawab.

Panel status muncul di hadapanku:

HP: 100% (100)

SP: 98%

CP: 53

[Weapon]

Empty

[Skill Pasif]

Regeneration HP (1 HP/4 menit)

Regeneration SP (2% SP/menit)

"Kenapa aku sangat lemah? Dan skill pasifku pun tidak berguna," aku merasa kecewa melihat statusku. "Tidak ada MP? Artinya aku tidak bisa menggunakan sihir? Bukankah ini berarti aku terlalu lemah di dunia ini? Lalu, apa itu CP?"

'CP adalah Cheat Points yang bisa kamu gunakan untuk mengaktifkan cheat' jawab sistem.

[List Cheat]

-Get Everything From Your Previous World

-Full HP and SP (bisa diberikan ke orang lain) <20 CP>

-Teleportation

-Change Weather <50 CP>

-Eternity (kebal terhadap serangan apapun) <1 CP/s>

"Get Everything From Your Previous World? Apa aku bisa mendapatkan senjata api?" tanyaku.

'Ya' jawab sistem.

"Kalau begitu, beri aku sebuah rifle yang bisa kubeli," aku memutuskan.

'Hunting Rifle <20 CP> (Y/N)'

"Ya!" jawabku tanpa ragu.

'Membeikan Hunting Rifle (Ammo 10)'

Seketika, sebuah senapan muncul di tanganku.

"Hah, akhirnya… ayo lakukan ini," kataku sambil mencari posisi yang aman untuk menembak.

Saat aku membidik monster itu, sebuah crosshair muncul di depan mataku, memudahkan aku untuk membidik musuh. "Keren, dengan ini aku pasti bisa mengenai sasaran," aku berkata dalam hati.

Aku menarik pelatuknya, dan peluru melesat menuju kepala monster itu. Meskipun terkena serangan, serigala itu tidak tumbang dan mulai mencari sumber serangan.

"Tunggu, bagaimana aku bisa mengganti peluru?" Aku bingung.

'Cukup pikirkan peluru yang diinginkan' jawab sistem.

Aku mulai membayangkan sebuah peluru, dan tiba-tiba, sebuah peluru muncul di tanganku. Tanpa ragu, aku langsung me-reload senjataku.

Serigala itu semakin mendekat, jaraknya kini sekitar 15 meter. Aku kembali membidiknya. "BANG!" Peluru itu tepat mengenai mata monster itu, membuatnya terjatuh. Namun, monster itu masih hidup dan terus bergerak. Aku segera me-reload lagi, dan kali ini, aku menembak kepalanya dari jarak dekat. "Cukup sampai di sini, penderitaanmu," kataku, lalu menekan pelatuknya. "BANG!" Darah memercik ke tubuhku saat monster itu akhirnya mati.

[Achievement Unlocks]

-Monster Hunter

Membunuh monster pertama (+50 CP)

Membunuh monster serigala (+5 CP)

"Aku berhasil?" Aku merasa lemas dan jatuh ke tanah, kelelahan setelah pertempuran itu. Setelah beberapa saat, aku duduk dan melihat sekeliling. Salah satu anggota kelompok yang melawan monster itu mendekat.

"Apa kau baik-baik saja?" pria itu bertanya padaku.

"Aku baik-baik saja. Bagaimana dengan kalian?" jawabku, kemudian bertanya kembali.

"Salah satu teman kami terluka parah. Bisakah kau membantu kami? Kalau kau punya potion penyembuh, kami siap membayarnya" kata pria itu dengan khawatir.

"Aku tidak punya potion, tapi aku bisa mencoba menyembuhkannya," jawabku.

"Terima kasih banyak!" Pria itu berlutut, berterima kasih padaku, dan kami segera mendekati dua anggota lainnya.

Di sana, seorang pria yang terluka parah akibat pertarungan, dan seorang wanita yang menggunakan sihir penyembuhan sedang berusaha menyembuhkannya. Pria itu tampak parah, dadanya terkoyak dan lengannya patah. Aku merasa mual melihatnya, tapi aku tahu aku harus bertindak cepat.

Aku mengarahkan telapak tangan ke pria itu, dan berkata, "Heal."

'Menggunakan heal untuk orang lain (Y/N)'

"Ya" jawabku dalam hati

Tubuhnya langsung pulih, lukanya sembuh seolah tak pernah ada.

"Sihir penyembuhan tingkat tinggi?" wanita itu terkejut.

"Ya, kira-kira begitu," jawabku sambil merasa bingung sendiri.

Mereka bertiga mengucapkan terima kasih padaku, berlutut bersama dan berkata, "Terima kasih banyak!"

Acon mengangguk pelan, mencoba tetap tenang meskipun dalam situasi yang sangat asing. "Tidak masalah," jawabnya dengan suara datar, berusaha agar tidak terlihat cemas.

Pria yang terluka sebelumnya, yang kini telah sembuh, mengangkat tubuhnya dengan bantuan wanita yang menggunakan sihir penyembuhan. "Kami sangat berterima kasih padamu," pria itu berkata, "Aku tidak tahu bagaimana kami bisa mengalahkan monster itu tanpa bantuanmu."

Wanita yang menyembuhkan pria itu tersenyum, kemudian berkata, "Aku juga tidak tahu apa yang akan terjadi jika kau tidak datang. Kamu sangat hebat!"

Acon sedikit terkejut mendengar pujian itu, tetapi segera mengendalikan diri. "Aku hanya kebetulan ada di sini," jawab Acon dengan canggung, berusaha mengalihkan perhatian mereka.

Pria itu mengangguk sebelum melanjutkan, "Oh, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Darian, seorang Warrior," katanya sambil menunjuk dirinya sendiri. Armor kulitnya terlihat usang, dengan beberapa goresan baru di bahu dan pedang panjang di punggungnya yang masih berlumur darah kering.

Dia melirik wanita di sebelahnya. "Ini Rekka, seorang Mage." Rekka mengenakan jubah biru gelap yang sedikit robek di ujungnya. Tongkat kayu dengan kristal kecil bersinar lemah di ujung tongkatnya, dan noda darah di lengan jubahnya menunjukkan kerasnya pertarungan tadi.

Darian kemudian menunjuk pria lain di belakangnya. "Dan itu Kael, seorang Archer." Kael mengenakan pakaian kulit ringan dengan busur besar di punggung dan tabung anak panah yang hampir kosong. Wajahnya pucat, dan luka kecil di pipinya masih berdarah sedikit.

Mereka semua tampak lelah, tapi tetap berdiri tegap, seolah-olah perjalanan dan pertempuran tadi hanyalah bagian kecil dari rutinitas mereka.

"Acon," jawabnya singkat, berusaha tidak menampilkan kebingungannya. "Sebenarnya aku baru saja tersesat di sini."

Rekka, yang memperhatikan Acon dengan cermat, mengernyit sedikit. "Tersesat?" tanyanya. "Kau tahu, tempat ini cukup berbahaya untuk orang yang tidak tahu jalan. Bagaimana bisa kau sampai ke sini?"

Acon berpikir cepat, berusaha mencari alasan yang logis tanpa membuka rahasia tentang dunia asalnya. "aku hanya seorang pengelana dari desa yang cukup jauh, aku sedang mencari desa terdekat untuk beristirahat" jawab Acon.

Rekka memperhatikan pakaian Acon dengan lebih cermat. Matanya menyipit, menandakan rasa penasaran yang semakin besar. "Tapi... apa itu yang kau pakai? Baju dan celanamu aneh sekali. Aku belum pernah melihat pakaian seperti itu di mana pun," katanya sambil menunjuk ke arah kaos dan celana panjang yang dikenakan Acon.

Darian, yang berdiri di sebelahnya, ikut melirik pakaian Acon. "Kau benar, Rekka. Bahannya terlihat... tipis, tapi tidak seperti kain biasa. Dan potongannya juga aneh. Kau pasti bukan dari desa biasa, kan?"

Kael, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. "Dan kau tidak membawa armor, bahkan senjata yang layak. Kalau benar kau dari desa terpencil, bagaimana kau bisa selamat sejauh ini? Apalagi sampai bisa membunuh Lightning Wolf sendirian." Tatapannya tajam, seolah mencoba membaca pikiran Acon.

Acon merasa jantungnya berdegup lebih cepat. "Ah... ini, uh, pakaian tradisional dari desaku. Memang terlihat aneh bagi kalian, ya?" Dia berusaha tersenyum untuk menyembunyikan kegugupannya.

Rekka mengangkat alis, tidak sepenuhnya puas dengan jawaban itu. "Tradisional? Bahannya terlihat seperti sutra yang diperkuat... atau sesuatu yang bahkan lebih mahal. Tapi, kau bilang berasal dari desa terpencil? Kau tahu kan, pakaian seperti itu biasanya hanya dimiliki bangsawan atau pedagang kaya?"

"Yah..." Acon menggaruk tengkuknya, mencoba mencari alasan. "Aku mendapatkannya sebagai hadiah dari seorang pelancong yang pernah datang ke desaku. Katanya, pakaian ini bisa menahan cuaca buruk. Ternyata tidak sekuat yang dia bilang," jawabnya, sambil tertawa kecil, meski dalam hatinya ia cemas mereka tidak percaya.

Namun, Darian malah tertawa, memecah suasana tegang. "Hahaha! Tradisional atau tidak, yang jelas itu pasti punya kekuatan unik, kan Acon? Kalau tidak, kau pasti sudah dimakan serigala itu tadi."

"Kau bilang, kau ingin beristirahat di desa kan? Di sini tidak jauh dari ibu kota kerajaan," kata Rekka, "kami bisa membawamu ke sana. Tapi... apa kau punya kartu identitas atau kartu petualang?" tanyanya dengan nada serius.

Acon menggeleng, berusaha menjaga wajahnya tetap tenang. "Aku... aku dari desa terpencil. Aku tidak punya semua itu," jawabnya dengan nada yang sengaja dibuat sederhana.

Rekka menatapnya dengan tatapan prihatin. "Kalau begitu, apa kau punya uang?" tanyanya lagi.

Acon menggeleng lagi, kali ini sedikit malu. "Tidak. Aku tidak membawa apa-apa."

Rekka menghela napas, terlihat agak kesal tapi juga iba. "Kau berkelana sendirian tanpa membawa uang sepeser pun? Kau ini nekat sekali," katanya sambil merogoh kantong kecil di pinggangnya. Dia mengeluarkan beberapa koin perak dan menyerahkannya pada Acon. "Ini, ambillah. Sepuluh koin perak. Kau bisa menggunakannya untuk mendaftar di gerbang ibu kota nanti. Anggap saja ini sebagai rasa terima kasih kami. Maaf, hanya ini yang kami punya."

Acon menatap koin itu sejenak sebelum akhirnya menerimanya. "Terima kasih. Ini sudah lebih dari cukup," jawabnya singkat.

Darian melirik tubuh Lightning Wolf yang tergeletak. "Kita ambil bagian berharganya dulu. Tidak ada gunanya meninggalkan sesuatu yang bisa dijual," katanya sambil menghunus pedangnya.

Kael mengangguk, berjongkok di dekat kepala serigala. "Batu sihirnya pasti masih utuh," ujarnya, mengeluarkan pisau kecil dari sabuknya.

Acon hanya berdiri di samping, memperhatikan mereka dengan penasaran. Rekka, yang mengambil botol kaca dari tasnya, berjongkok di samping Kael. "Pastikan tidak pecah. Nilainya langsung jatuh kalau retak," katanya.

Beberapa goresan tajam dari pisau Kael berhasil membuka tengkorak serigala. Sebuah batu biru bercahaya muncul, memancarkan kilau yang menawan. "Ini dia," gumam Kael sambil mengangkat batu itu hati-hati. Rekka langsung menyimpannya di dalam botol kaca.

"Apa itu?" tanya Acon, matanya terpaku pada cahaya biru itu.

"Batu sihir. Inti kekuatan monster seperti ini. Bisa dijual mahal atau digunakan untuk sihir tingkat tinggi," jawab Rekka santai.

Sementara itu, Darian mulai memotong kulit serigala dengan cepat. "Kulitnya masih bagus. Ini laku keras di pasar." Ia juga mengiris taring besar dari rahang serigala, mengangkatnya ke udara. "Ini juga bernilai. Pandai besi suka membuat senjata dari ini."

Kael melirik hati serigala saat membelah bagian tubuhnya. "Organ ini juga bisa dijual. Hati monster dengan elemen biasanya bahan penting bagi alkemis."

Acon hanya diam, kagum melihat keahlian mereka memanfaatkan setiap bagian tubuh monster. Rekka menoleh ke arahnya, senyumnya tipis. "Jika kau ingin bertahan di sini, kau harus belajar cara seperti ini."

Acon mengangguk perlahan. Dalam hati ia berpikir, dunia ini sangat berbeda dari game yang ia mainkan, ini terlihat lebih nyata.

Dengan itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju ibu kota.

---

Setelah dua jam berjalan tanpa henti, akhirnya mereka tiba di padang rumput yang membentang di hadapan ibu kota kerajaan. Kota besar itu tampak megah, dikelilingi oleh tembok tinggi dengan menara penjagaan di setiap sudutnya.

"Hah... hah... hah..." Acon terduduk di atas rumput, kelelahan setelah perjalanan panjang. Kakinya terasa berat, dan tubuhnya seperti menolak untuk bergerak.

"Kita sudah sampai," kata Rekka sambil menunjuk ke arah ibu kota yang masih berjarak sekitar 200 meter lagi.

Acon jatuh telentang di atas rumput, mencoba mengatur napasnya. "Dasar monster," gumamnya dalam hati sambil melirik Rekka dan yang lainnya. "Bagaimana mereka masih bisa berjalan seperti itu setelah perjalanan sejauh ini?"

Rekka, yang melihat kondisi Acon, akhirnya angkat bicara. "Baiklah, kita istirahat sejenak di sini," katanya sambil menoleh ke Darian dan Kael. Mereka bertiga tampak santai, seolah perjalanan itu bukan apa-apa bagi mereka.

Acon, di sisi lain, membuka panel statusnya, mencari tahu kenapa tubuhnya terasa begitu lelah.

---

[Status]

HP: 100% (100)

SP: 56%

CP: 65

[Weapon]

Hunting Rifle (Ammo: 7)

[Skill Pasif]

Regenerasi HP (1 HP/4 menit)

Regenerasi SP (2% SP/menit)

---

"Aku masih punya stamina 56%, tapi kenapa aku merasa seolah sudah habis?" gumamnya sambil mengerutkan kening.

Sistemnya tiba-tiba merespons. 'Host bisa mengaktifkan Gamer Mode. Mode ini memungkinkan Host untuk tidak merasakan lelah, sakit, atau sensasi lain yang dapat mengganggu fokus. Namun, indra seperti rasa, penciuman, dan sentuhan juga akan hilang.'

Acon mendesah, berpikir. "Jadi, sebagai manusia biasa, aku sebenarnya terlihat sangat kuat. Aku bisa sembuh total dari luka fatal hanya dalam waktu kurang dari tujuh jam selama aku masih bernapas..." pikirnya, mencoba mencari sisi positif.

Tiba-tiba, sebuah ide terlintas di kepalanya. "Bisakah aku melihat status orang lain?" tanyanya dalam hati.

'Bisa, tapi Host hanya dapat melihat HP dan Level saja. Untuk detail lebih lanjut, diperlukan CP sesuai kekuatan target.' jawab Sistem.

Acon segera memilih untuk melihat status Darian. Sebuah panel muncul di hadapannya.

---

[Status: Darian]

Lvl: 13

HP: 100% (1.042)

SP: 93%

---

"Tunggu... kenapa HP dia bisa jauh lebih tinggi dari milikku? Padahal dia cuma Level 13?" gumam Acon, matanya terbelalak.

Sistem menjawab dengan nada datar. 'Karena manusia di dunia ini secara alami lebih tangguh daripada manusia di dunia asal Host sebelumnya.'

Acon terdiam sejenak sebelum menghela napas panjang. "Hahhh..." Ia mendesah, pasrah dengan kenyataan bahwa dunia ini jauh lebih keras daripada yang ia bayangkan.