Acon terbangun dengan cahaya matahari pagi yang menyelinap masuk melalui celah kecil di jendela kamar. Ia mengusap wajahnya, berusaha memastikan bahwa semuanya bukan hanya mimpi aneh. Pandangannya menyapu ruangan sederhana dengan dinding kayu yang kokoh, sebuah lentera tergantung di sisi dinding, dan senjata berburu miliknya bersandar di sudut ruangan.
"Dunia ini benar-benar nyata," gumamnya, sedikit tertegun. Ia menggerakkan tangannya ke depan, memanggil sistemnya, "Status."
Sebuah panel bercahaya muncul di depannya:
[Status]
HP: 100% (100)
SP: 100%
CP: 65
[Weapon]
Hunting Rifle (Ammo: 7)
[Skill Pasif]
Regenerasi HP (1 HP/4 menit)
Regenerasi SP (2% SP/menit)
Acon memandang senjata berburu yang bersandar di pojok ruangan. "Cukup melelahkan membawa benda itu sepanjang hari," ia bergumam sambil mendesah. "Apa ada cara agar aku bisa membawanya lebih mudah?" tanyanya, berharap sistem punya solusi.
'Host bisa menaruh senjata ke dalam slot senjata,' jawab suara sistem tanpa emosi, langsung di dalam pikirannya.
Acon terdiam sejenak, kemudian memutar matanya kesal. "Benarkah? Kenapa kau tidak bilang dari tadi?" suaranya meninggi sedikit.
'Host tidak bertanya,' balas sistem dengan nada datar, seolah menjelaskan hal yang paling jelas di dunia.
Acon menghela napas, menggelengkan kepala. "Tentu saja," gumamnya sarkastik. Ia berdiri, melangkah ke arah senjatanya, dan memutuskan untuk mencoba fitur tersebut. Dengan pikiran terfokus, ia memikirkan Weapon Slot seperti di game.
Dalam sekejap, senjata berburu itu menghilang, masuk ke dalam ruang yang tak terlihat. Acon menatap tangannya kosong, menggerakkan jari-jarinya untuk memastikan semuanya berjalan seperti yang dijelaskan. "Hah, ternyata memang bisa," katanya, sedikit terkesan.
Saat Acon sedang mencoba menyimpan senjatanya ke dalam slot senjata melalui panel sistem, suara ketukan pelan terdengar dari pintu. "Tok, tok, tok," diiringi suara seorang gadis, "Apakah Anda sudah bangun?"
Acon sedikit terkejut, buru-buru merapikan rambutnya yang kusut dan menjawab, "Ya, tunggu sebentar." Ia menutup panel status, melangkah ke pintu, dan membukanya perlahan. Di depan pintu berdiri seorang gadis muda, mungkin sekitar 16 tahun, anak perempuan dari pemilik penginapan, membawa ember kecil dengan kain handuk menggantung di tepiannya. Ia mengenakan pakaian sederhana, tetapi senyumnya cerah dan sopan.
"Apa Anda ingin seember air hangat? Hanya 1 koin perunggu," tawarnya dengan suara lembut.
Acon menatap ember itu, sedikit bingung. "Untuk apa ini?" tanyanya.
"Untuk membersihkan tubuh Anda, Tuan. Banyak tamu kami memanfaatkan ini di pagi hari," jawab gadis itu dengan ramah.
Acon merogoh kantongnya, mengeluarkan dua koin perunggu, dan menyerahkannya padanya. "Ini," katanya.
"Harganya cuma 1 koin, Tuan," gadis itu menolak dengan bingung, berusaha mengembalikan satu koin.
"Tidak apa-apa, kau boleh menyimpannya," kata Acon sambil tersenyum kecil.
Gadis itu tampak terkejut, tetapi kemudian membungkukkan sedikit tubuhnya dengan senang. "Terima kasih banyak, Tuan," katanya penuh rasa syukur sebelum melangkah pergi.
Acon membawa ember itu masuk ke dalam kamar dan menutup pintu. Ia menatap air hangat yang mengeluarkan sedikit uap, menghela napas lega. "Setidaknya, aku bisa merasa segar hari ini," gumamnya.
Ia mengambil kain handuk kecil yang disediakan, mencelupkannya ke dalam air hangat, dan mulai membersihkan tubuhnya. Sensasi hangat air yang menyentuh kulitnya membawa rasa nyaman setelah hari-hari melelahkan. "Dunia ini mungkin asing, tapi hal-hal kecil seperti ini cukup menyenangkan," pikirnya sambil melanjutkan rutinitas pagi.
Setelah membersihkan tubuh, Acon duduk di tepi ranjangnya. Ia membuka panel sistem dan memutuskan untuk mencatat spekulasi tentang dunia ini.
'Memanggil Buku tulis <1 CP> (Y/N)'
'Memanggil Pulpen <1 CP> (Y/N)'
"Ya," jawabnya singkat.
Dalam sekejap, sebuah buku tulis tebal dan pulpen muncul di depannya. Ia mengambil keduanya, merasa sedikit kagum pada kemudahan sistem cheat yang ia miliki. "Baiklah, mari kita mulai menyusun rencana," gumamnya.
Ia membuka buku itu dan mulai menulis sambil berbicara pelan, mencoba mengingat detail dari game yang menjadi dasar dunia ini. "Invasi iblis dimulai setelah sang hero mengikuti ujian masuk ke akademi Arkhelion... tapi aku tidak ingat tanggal pastinya. Hmm, kalau dari situasi kota, ini masih keadaan damai. Jam besar di balai kota, yang dalam game dibangun tiga tahun sebelum cerita utama dimulai, sudah ada. Jadi, kemungkinan waktu mulai game berkisar antara 1 hingga 3 tahun dari sekarang."
Ia menuliskan semua spekulasi itu dalam buku, tetapi akhirnya berhenti karena kurangnya informasi yang valid. "Aku butuh lebih banyak data," gumamnya, menutup buku itu dan menyimpannya dibawah tempat tidur, karena Slot Weapon tidak bisa dimasukkan selain senjata.
Lapar mulai menggerogoti perutnya. Acon memutuskan turun ke bawah untuk sarapan. Saat ia melangkah ke ruang utama penginapan, suasananya masih sepi. Hanya ada beberapa petualang yang duduk di sudut ruangan, berbicara pelan sambil menikmati sarapan mereka.
Acon berjalan ke meja pemesanan dan menyapa, "Permisi, Nyonya penginapan, bolehkah aku meminta sarapan?"
Wanita yang berdiri di balik meja mengangkat wajahnya, tersenyum lembut. "Nyonya? Hah, itu terlalu formal. Kau bisa memanggilku Evelyn saja. Tunggu sebentar, aku akan menyiapkan makananmu," katanya sambil berbalik ke dapur.
Beberapa menit kemudian, Evelyn kembali membawa nampan berisi roti gandum hangat dan semangkuk sup aromatik. "Ini dia, sarapanmu," katanya, meletakkan makanan itu di depan Acon.
"Terima kasih banyak, Evelyn," balas Acon sopan sambil mulai menyantap makanannya.
Sambil mengelap meja di dekatnya, Evelyn berbicara santai. "Kudengar ada seorang hero baru yang telah menarik pedang suci. Mereka bilang dia akan mendaftar di akademi Arkhelion. Usianya sama denganmu, sepertinya."
Acon yang sedang menikmati supnya langsung terkejut. Ia hampir tersedak, tapi dengan cepat menelan makanannya dan meminum air. "Hero?!" pikirnya dengan gemetar. "Theron Luminhart... protagonist utama dunia ini. Kalau dia sudah muncul, itu berarti para iblis akan segera bergerak!"
Berusaha tetap tenang, Acon bertanya dengan nada biasa, "Omong-omong, kapan pendaftaran ujian masuk akademi itu berakhir, Evelyn?"
"Pendaftarannya ditutup tiga hari lagi," jawab Evelyn sambil melanjutkan pekerjaannya.
"Tiga hari lagi?!" Acon hampir berteriak, matanya melebar mendengar waktu yang begitu singkat.
"Ya. Apa kau ingin mendaftar juga?" tanya Evelyn, meliriknya dengan penasaran.
Acon hanya menunduk, ragu-ragu menjawab, "Aku... aku belum tahu." Ia dengan cepat menghabiskan makanannya, lalu berdiri. "Terima kasih atas makanannya, Evelyn," katanya sebelum bergegas keluar dari penginapan.
Di luar, angin pagi yang dingin menyapu wajahnya. "Tiga hari... aku harus memutuskan apa yang akan kulakukan," gumamnya sambil melangkah pergi dengan pikiran yang dipenuhi rencana dan kekhawatiran.
Acon menghabiskan sepanjang hari menjelajahi ibu kota kerajaan. Ia berjalan dari gang-gang kumuh hingga ke daerah-daerah megah yang sebelumnya tak pernah bisa ia akses dalam game. Setiap langkah membuka lebih banyak wilayah di mapnya, dan meskipun lelah, ia merasa puas.
Saat malam tiba, Acon kembali ke penginapan dengan tubuh yang terasa berat. Setelah makan malam sederhana, ia naik ke kamarnya, menyalakan lentera kecil di sudut ruangan, dan membuka panel sistem untuk melihat map. Sebuah peta virtual muncul di hadapannya, menampilkan sebagian besar wilayah ibu kota yang kini telah terbuka.
Namun, saat ia memperbesar tampilan, rasa kagum itu berganti dengan kesadaran pahit. Di luar batas kota, dunia luas yang membentang tetap gelap—tak terjelajahi dan penuh misteri. "Masih banyak yang belum aku ketahui," gumamnya, menutup map tersebut. Ia merebahkan diri di atas kasur, kelelahan mengambil alih tubuhnya, dan tak lama kemudian ia tertidur.
Keesokan paginya, cahaya matahari pagi menembus jendela kamarnya. Acon terbangun dengan enggan, mengusap wajahnya sebelum bangkit dari tempat tidur. Setelah membersihkan diri dengan air hangat yang disediakan oleh anak Evelyn, yang seperti biasa dihargai 1 koin perunggu, ia merasa segar kembali.
Turun ke ruang utama penginapan, Acon mendapati meja pesanan sudah lebih ramai dibandingkan biasanya. Ia menghampiri Evelyn yang sedang melayani beberapa tamu. "Selamat pagi, Evelyn. Boleh aku pesan sarapan?" tanyanya dengan sopan.
Evelyn menoleh dan tersenyum hangat. "Tentu, tunggu sebentar." Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan sepiring roti panggang dan semangkuk bubur panas. "Ini dia. Selamat makan."
"Terima kasih," balas Acon sambil mulai makan. Suasana penginapan yang hangat membuatnya sedikit rileks, meskipun pikirannya masih dipenuhi rencana untuk hari itu.
Setelah selesai makan, ia berdiri dan berpamitan pada Evelyn. "Aku akan pergi ke balai kota untuk mengambil ID-ku."
Evelyn mengangguk. "Semoga urusanmu lancar, Acon."
Dengan langkah mantap, Acon berjalan keluar penginapan, menuju balai kota. Hari ini adalah hari penting. Kartu ID yang akan ia ambil adalah kunci untuk melanjutkan langkah berikutnya: mendaftar ke Akademi Arkhelion dan menemukan jawaban atas banyak misteri dunia ini.
Acon tiba di balai kota pagi itu. Ia langsung masuk dan melihat pria paruh baya yang sebelumnya membantunya mendaftar. Pria itu tengah sibuk menulis sesuatu di meja. Saat melihat Acon, ia tersenyum kecil.
"Ah, namamu Acon, kan?" tanyanya sambil mengangkat kertas catatannya.
"Ya," jawab Acon singkat, sedikit tergesa-gesa.
Pria itu mengangguk dan mengambil sebuah kartu dari laci mejanya. "Ini kartu ID-mu. Harganya 3 koin perak."
Acon merogoh tas kulit kecilnya dan mengambil tiga koin perak. Setelah memastikan jumlahnya, ia menyerahkan koin tersebut kepada pria itu. Dengan tangan yang sedikit bergetar, pria itu menyerahkan kartu ID tersebut kepada Acon. Kartu itu terasa dingin di tangannya, dengan ukiran nama dan informasi dasar miliknya yang tertulis rapi.
"Semoga keberuntungan menyertaimu, Nak," kata pria itu sambil kembali ke pekerjaannya.
Acon hanya mengangguk sebelum berbalik dan keluar dari balai kota. Di luar, ia menggenggam kartu ID-nya erat-erat sambil menatap ke langit. "Satu langkah selesai," gumamnya, lalu berjalan cepat menuju Akademi Arkhelion.
Sesampainya di akademi, Acon tertegun. Bangunan besar dan megah berdiri dengan kokoh di hadapannya. Dinding-dindingnya dihiasi ukiran artistik, menampilkan lambang-lambang kerajaan dan sejarah panjang akademi tersebut. Pilar-pilar besar menopang aula depan, dan bendera kerajaan berkibar dengan gagah di atasnya.
"Amazing...," gumam Acon. Dunia nyata ini begitu berbeda dibandingkan dengan game yang pernah ia mainkan. Melihat langsung bangunan itu membuatnya merasa kecil, tapi juga penuh harapan.
Kerumunan orang memadati area pendaftaran. Para calon siswa datang dari berbagai latar belakang. Bangsawan dengan pakaian mewah, anak-anak pedagang kaya yang membawa pelayan mereka, hingga rakyat jelata yang tampak sedikit canggung dengan pakaian sederhana mereka.
Acon memperhatikan sekeliling dengan seksama. Ia menyadari bahwa rakyat jelata hanya sedikit yang mencoba mendaftar. Mungkin biaya yang tinggi menjadi penghalang besar bagi mereka, memaksa mereka memilih menjadi petualang atau bekerja di tempat lain.
"Jadi ini dunia yang sebenarnya," pikir Acon sambil melangkah menuju meja pendaftaran. Perasaan campur aduk mengalir dalam dirinya—antara antusiasme untuk memulai sesuatu yang baru dan kecemasan akan apa yang menantinya di tempat ini.
Dengan langkah mantap, Acon memasuki gedung Akademi Arkhelion. Aura kemegahan di dalamnya terasa lebih mendominasi dibandingkan bagian luarnya. Dindingnya dihiasi dengan lukisan pahlawan legendaris, sementara siswa-siswa dari berbagai latar belakang berkumpul di aula utama, memamerkan bakat mereka. Ada yang memperlihatkan kemampuan sihir, latihan pedang, atau hanya sekadar berbincang dengan percaya diri.
Namun, perhatian Acon segera tertuju ke meja resepsionis, tempat antrean calon peserta ujian mulai menipis. Ia berjalan ke sana, tapi pandangan resepsionis, seorang wanita muda dengan riasan sempurna, segera menunjukkan penilaian terhadap dirinya. Pakaian Acon yang sederhana tampak terlalu kontras dengan mereka yang mengenakan jubah berkualitas tinggi atau baju baja mengilap.
"Apa kau sedang tersesat?" tanya wanita itu dengan nada dingin, meskipun senyumnya masih terpampang demi menjaga profesionalismenya.
"Maaf, aku sedang mencari tempat pendaftaran untuk mengikuti ujian masuk," jawab Acon sopan, mencoba menahan rasa risih.
Resepsionis memutar matanya sejenak sebelum menjawab, "Kalau begitu, kau berada di tempat yang tepat. Tapi, apa kau yakin bisa membayar biaya pendaftarannya? Atau mungkin... kau punya surat rekomendasi?" Nada angkuh itu begitu jelas terdengar.
"Berapa biayanya?" tanya Acon, meskipun hatinya sudah menebak jawabannya tidak akan murah.
"Untuk mengikuti ujian ini, kau perlu membayar 30 koin emas," katanya sambil menyilangkan tangan. "Dan jujur saja, jika kau tidak memiliki bakat, lebih baik gunakan uangmu untuk sesuatu yang lebih berguna. Aku hanya mencoba menyelamatkanmu dari kekecewaan."
Mendengar itu, Acon menarik napas dalam. Tanpa berkata-kata, ia membuka tas kulitnya dan mengeluarkan 30 koin emas. Saat ia menjatuhkan koin-koin itu ke meja, suara dentingannya langsung menarik perhatian beberapa orang di sekitar. Bahkan resepsionis tampak terkejut.
"Daftarkan aku," katanya dengan nada tegas.
Resepsionis menatapnya tajam. "Apa kau yakin? Uang ini tidak akan dikembalikan jika kau gagal."
"Ya," jawab Acon singkat, matanya penuh tekad.
"Baiklah." Dia menyerah, mengambil koin emas itu, dan mulai mencatat sesuatu di sebuah dokumen. "Sebutkan namamu, bakatmu, dan class-mu."
"Namaku Acon. Aku... belum tahu apa bakatku, dan mungkin class-ku Warrior," jawab Acon sedikit ragu.
Wanita itu mengangkat alis. "Belum tahu bakatmu? Dan kau bilang 'mungkin' class-mu Warrior? Apa kau serius mendaftar ujian ini?" Nada kesalnya semakin kentara. Namun, melihat tekad Acon yang tak tergoyahkan, ia hanya mendesah dan melanjutkan tugasnya. "Terserah. Aku sudah memperingatkanmu. Jangan salahkan aku kalau kau gagal."
Ia meminta kartu ID Acon, lalu mencatat informasi dari kartu itu ke dokumennya. Setelah selesai, ia mengembalikan kartu itu bersama secarik kertas. "Ini surat panggilan untuk ujian. Datanglah besok pagi dengan membawa kertas ini. Jika tidak, kau akan didiskualifikasi."
"Baik, terima kasih," ucap Acon sambil menerima surat itu.
Tanpa menunggu lebih lama, ia segera meninggalkan tempat itu. Ketegangan di dalam gedung itu akhirnya berganti dengan udara segar di luar. Dengan surat di tangannya, Acon melangkah kembali ke penginapan, pikirannya penuh dengan persiapan untuk ujian esok hari.
Malam telah larut di penginapan The Silver Mug. Suasana di lantai bawah mulai sepi, hanya terdengar suara samar gelas yang dicuci dan obrolan terakhir para petualang yang bersiap untuk istirahat. Acon selesai dengan makan malamnya dan naik ke kamar, membawa pikirannya yang penuh dengan rencana.
Di kamarnya yang sederhana namun cukup nyaman, Acon duduk di tempat tidur, menatap cahaya lentera yang temaram. Pikirannya kembali terfokus pada ujian yang akan ia hadapi besok. Ia mencoba mengingat setiap detail dari game yang pernah ia mainkan.
"Ujian pertama adalah ujian tertulis," gumamnya pelan, memulai analisisnya. "Di sini kita akan diuji tentang pengetahuan dunia, strategi, dan teori bertarung. Mudah untuk gamer seperti aku... asal pertanyaannya sama seperti di game."
Ia merebahkan tubuhnya sebentar, tapi pikirannya terus melayang. "Ujian kedua... duel satu lawan satu. Kita akan bertarung melawan peserta lain. Menang bukan segalanya, tapi menunjukkan kemampuan yang unik di sini adalah kuncinya. Dan terakhir..." ia terdiam sesaat, meresapi ingatan yang kembali jelas di benaknya.
"Ujian ketiga, ujian bertahan hidup di replika Hutan Abyssal," bisiknya, sambil mengingat peta yang pernah ia hafal di layar komputer. "Monster di sana berbahaya, bahkan di level terendahnya. Kita harus memburu mereka untuk mendapatkan batu sihir. Semakin kuat monstermu, semakin tinggi nilai yang kau dapatkan."
Acon tersenyum kecil. "Dalam game, aku selalu mendapatkan nilai tertinggi dengan memburu Black Shadow Wolf... tapi dunia ini jauh lebih nyata." Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan ketegangan dan antisipasi bercampur dalam dirinya.
Ia memeriksa senjatanya sekali lagi, memastikan semuanya siap. Namun, rasa kantuk akhirnya datang, memeluknya dengan lembut setelah semua pikirannya melelahkan dirinya sendiri. "Baiklah... hari esok adalah hari yang berat. Aku harus siap," gumamnya sebelum mematikan lentera.
Dalam kegelapan yang sunyi, Acon terlelap, sementara di luar jendela, malam terus berjalan, membawa waktu lebih dekat ke hari penuh tantangan yang menunggunya.