Pagi itu, sinar matahari menembus jendela kecil penginapan, memaksa Acon membuka matanya. Udara dingin yang menyusup dari sela-sela kayu jendela membuatnya menggigil sesaat sebelum ia beranjak dari ranjang sempitnya. Dengan kain lembut seharga satu koin perunggu yang disediakan pemilik penginapan, ia membersihkan tubuhnya menggunakan air hangat yang mengepul pelan di ember kayu. Sensasi hangat itu sedikit mengusir rasa lelah yang masih menggantung.
Setelah merapikan dirinya, Acon turun ke lantai bawah. Aroma roti panggang dan sup sayur menguar di udara, memancing rasa laparnya. "Sarapan seperti biasa?" tanya pelayan penginapan tanpa banyak basa-basi. Ia hanya mengangguk singkat, terlalu fokus memikirkan apa yang akan terjadi di Akademi Arkhelion hari ini.
Beberapa saat kemudian, ia keluar dari penginapan, melangkah cepat di jalan berbatu kota. Keramaian mulai terasa, suara pedagang yang menawarkan barang dagangan hingga hiruk-pikuk kereta kuda yang melintas. Udara pagi terasa segar, namun ada ketegangan yang tak bisa ia abaikan. Hari ini, ujian yang menentukan nasibnya di dunia ini akan dimulai.
Setelah tiba di Akademi Arkhelion, Acon menyerahkan surat panggilannya di meja resepsionis. Wanita di balik meja memeriksanya sekilas sebelum menunjuk ke arah lorong panjang. "Pergilah ke lapangan di belakang. Peserta lainnya sudah berkumpul di sana," katanya dingin.
Acon mengikuti arahannya dan tiba di lapangan luas yang dikelilingi oleh pohon-pohon tinggi. Para peserta berdiri dalam barisan, masing-masing membawa ekspresi gugup, beberapa tampak mencoba terlihat percaya diri. Di tengah kerumunan, Acon berdiri di kelompok rakyat biasa—di barisan, sebagian dari mereka datang melalui beasiswa. Suasananya tegang, seolah ada tekanan tak terlihat yang menekan dada setiap peserta.
Ketika suara langkah berat menggema, semua kepala segera berpaling. Seorang pria tegap dengan seragam hitam dan lambang Akademi di dadanya berjalan dengan tatapan tajam. Dialah pengawas ujian. Wajahnya keras seperti batu, dan aura yang ia pancarkan membuat semua orang menahan napas.
Setelah berhenti di depan barisan, pria itu berbicara dengan suara yang menggema di seluruh lapangan. "Baiklah," katanya, menatap tajam ke setiap peserta. "Kalian akan melalui tiga fase ujian. Yang pertama adalah ujian tertulis, yang kedua adalah duel antar peserta, dan yang ketiga adalah ujian bertahan hidup." Suaranya tegas, setiap kata terasa seperti palu yang menghantam semangat mereka.
Ia berhenti sejenak, membiarkan kalimatnya meresap sebelum melanjutkan. "Jika kalian merasa semua itu terlalu berat, kembalilah ke pelukan ibu kalian! Di sini, kami hanya menerima murid dengan tekad yang kuat. APA KALIAN MENGERTI?!"
Beberapa peserta menelan ludah, namun menjawab pelan, "Ya, Pak."
Pengawas itu menyipitkan matanya. "AKU TIDAK MENDENGAR!" bentaknya, suaranya seperti ledakan.
"YA, PAK!" jawab semua peserta serentak, suara mereka menggema, namun masih terdengar ada ketakutan di dalamnya.
Acon melirik ke kanan dan kiri. Beberapa peserta di barisannya terlihat gemetar. Tapi di dalam dirinya, Acon hanya bisa memikirkan satu hal—apa yang akan dia lakukan jika ujian ini berjalan tidak sesuai harapan?
"Setelah ini, papan pengumuman akan menampilkan kelas kalian masing-masing," ujar pengawas itu dengan nada tegas. "Pergilah ke ruangan yang telah ditentukan, dan persiapkan diri kalian!" Tanpa basa-basi, ia berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan para peserta yang masih tampak gugup.
Acon ikut berbaur dengan kerumunan peserta yang bergegas menuju aula utama Akademi. Di sana, sebuah papan besar telah menampilkan daftar nama dan kelas masing-masing peserta. Ia menyusuri nama-nama di papan itu hingga akhirnya menemukan namanya. "Ruangan 32a," gumamnya pelan sebelum beranjak mencari kelasnya.
Saat tiba di depan pintu kelas, Acon menghela napas, mencoba menenangkan pikirannya. Ia masuk dan melihat sekeliling. Ruangannya sederhana, dengan deretan meja kayu dan kursi yang sudah ditempati oleh beberapa peserta. Pandangannya menyapu ruangan, mencari seseorang. "Tidak ada si hero di sini," pikirnya. "Sepertinya aku tidak satu kelas dengannya."
Saat ia hendak duduk di salah satu kursi kosong, suara dari belakang membuatnya menoleh. "Lihat, siapa yang telah hadir?" Suara itu penuh semangat namun santai.
Seorang pria muda dengan rambut perak yang sedikit berantakan melangkah masuk ke kelas. Ia mengenakan jubah biru gelap dengan lambang petir di bahunya. Pria itu berjalan ke depan kelas dengan gaya santai yang tak sesuai dengan suasana tegang. "Namaku Thalion Stormsong. Kalian bisa panggil aku Thalion," katanya sambil tersenyum lebar.
Acon menatap pria itu dengan penuh perhatian. "Thalion Stormsong," gumamnya. "Seorang penyihir tingkat lima yang terkenal dengan penguasaan sihir petir dan angin. Meskipun sikapnya ceria, dia dikenal sangat taat pada peraturan. Semakin tinggi tingkatan seorang penyihir, semakin kuat dia..."
"Baiklah, kita akan mulai ujiannya," kata Thalion, menyela pikiran Acon. "Jangan lupa menulis nama kalian di kertas ujian." Dengan lambaian tangannya, tumpukan kertas ujian terangkat ke udara, lalu melayang ke meja masing-masing peserta menggunakan sihir angin.
Acon mengambil kertas yang mendarat di mejanya dan mulai membaca soal-soal ujian. Soal-soalnya kompleks, jauh berbeda dari pengalaman bermain game yang selama ini ia andalkan. Meski begitu, ia mencoba menjawab berdasarkan ingatan dan pengetahuannya dari berbagai misi dari game. Namun, semakin ia membaca, semakin ia merasa kesulitan. "Ini tidak semudah yang kupikirkan," gumamnya sambil mengernyit.
Setelah waktu habis, Thalion mengumpulkan semua kertas ujian dengan sihir yang sama. Para peserta kemudian diarahkan ke aula untuk menunggu hasil ujian mereka. Suasana aula dipenuhi bisik-bisik gelisah, dan beberapa peserta terlihat pucat.
Beberapa saat kemudian, sebuah papan besar menampilkan hasil ujian. Acon menyipitkan matanya untuk membaca angka-angka itu. Sekitar 16% peserta dinyatakan gagal. Ia memperhatikan bahwa kebanyakan dari mereka adalah anak-anak pedagang kaya, yang tampaknya terlalu bergantung pada nama besar keluarga mereka dibandingkan kemampuan.
Acon menatap hasil ujian yang tertera di papan pengumuman. Namanya muncul dengan kata "LULUS" di sampingnya. Ia menghela napas lega, merasa sedikit lebih tenang setelah berhasil melewati ujian tertulis yang sulit itu. Namun, pandangannya tak bisa lepas dari nama lain yang tertera di sana.
Di tengah kerumunan peserta, matanya menangkap sosok yang tak asing baginya. Theron Luminhart, sang hero, berdiri dengan tenang di antara para peserta lainnya. Ia memiliki sikap yang penuh percaya diri, seolah tidak ada yang bisa mengganggu fokusnya. Tapi yang lebih menarik perhatian Acon adalah perempuan di sampingnya.
"Althea Valorian," gumam Acon pelan, matanya terfokus pada sosok putri dari seorang raja yang terkenal dengan kekuatan suci yang dimilikinya. Acon tahu betul siapa dia—sang heroine utama, yang akan menemukan kekuatan suci yang tak terungkapkan selama perjalanan mereka. Kekuatan itu, suatu saat nanti, akan menjadi kunci untuk mengalahkan ancaman besar yang mengintai dunia ini. "Dia akan bergabung dengan Protagonis di tengah perjalanan, dan kekuatan suci mereka akan bersatu untuk membuat mereka lebih kuat," pikirnya, merasa terpesona namun juga waspada.
Namun, Acon tahu bahwa dirinya bukan berada di posisi yang sama dengan mereka. Mereka adalah bintang yang bersinar terang, sementara dia... dia hanya seorang biasa yang terlempar ke dunia ini tanpa persiapan.
Setelah selesai mengamati mereka, Acon berjalan menuju arena pertarungan yang terletak di luar gedung. Tempat duduk penonton mengelilingi arena, memberikan pandangan yang jelas ke tengah tempat itu. Suasana terasa semakin tegang saat beberapa pengawas telah hadir di sekitar arena, siap untuk mengawasi ujian kedua yang akan segera dimulai.
Para peserta mulai mengisi tempat duduk di sekitar arena, masing-masing dengan ekspresi yang menunjukkan campuran rasa cemas dan semangat. Acon mencari tempat duduk di bagian belakang, berusaha menenangkan diri. "Ini baru ujian kedua... aku harus siap," pikirnya, berusaha menenangkan degup jantung yang makin cepat.
Setengah jam kemudian, suara seorang pengawas yang duduk di tempat terpisah terdengar jelas. "Baiklah," katanya dengan suara keras, menarik perhatian seluruh peserta. "Ujian kedua akan segera dimulai. Para peserta, bersiaplah. Nama kalian akan dipanggil satu per satu, dan kalian harus maju ke arena. Kalian akan dianggap kalah jika tak sadarkan diri atau menyerah. Namun, penilaian ujian ini bukan berdasarkan menang atau kalah, tetapi berdasarkan kemampuan kalian untuk bertarung dan berusaha sebaik mungkin untuk menunjukkan keahlian kalian."
Setiap kata pengawas itu seakan menambah beban di pundak Acon. Ia bisa merasakan ketegangan yang melingkupi udara di sekitar arena. Seketika, sebuah pelindung besar muncul di antara arena dan tempat duduk penonton, membatasi jarak mereka. Di balik pelindung itu, Acon melihat wajah-wajah tegang dari peserta lain, masing-masing dengan harapan dan ketakutan yang sama.
"Aku... aku harus bisa," gumam Acon pelan, meremas tangan dengan tekad yang mulai tumbuh. Dunia ini mungkin bukan dunia yang ia kenal, tapi ia tidak akan menyerah begitu saja. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa ia juga bisa bertahan dan bersaing.
Suasana di arena semakin memanas dengan setiap pertarungan yang berlangsung. Setiap kali nama dipanggil, peserta maju dengan wajah tegang, siap untuk menguji batas kemampuan mereka. Di antara semua yang berlaga, ada satu nama yang selalu mencuri perhatian—Theron Luminhart, sang hero yang tak pernah gagal membuat orang terpana dengan kekuatan dan kepercayaan dirinya.
Setelah beberapa duel yang berlangsung sangat sengit, giliran Theron tiba.
"Theron Luminhart! Melawan Lioran Draycott!" pengawas dengan tegas memanggil nama-nama tersebut. Suara gemuruh penonton membahana saat keduanya maju ke tengah arena. Mereka berdiri berhadapan, masing-masing mempersiapkan diri untuk ujian kedua yang lebih brutal ini. Acon bisa merasakan ketegangan yang menyelimuti udara. Semua mata tertuju pada Theron, dan sepertinya setiap peserta tahu siapa yang akan keluar sebagai pemenang.
"Lioran Draycott... dia adalah petarung hebat," gumam Acon, mengamati dengan seksama. Namun, meskipun Lioran memiliki reputasi yang cukup baik, Acon bisa merasakan aura ketenangan yang mengelilingi Theron. "Sepertinya dia tahu persis apa yang dia lakukan."
"BERSIAP... MULAI!" teriak pengawas, dan pertarungan pun dimulai dengan kecepatan yang mengejutkan.
Lioran, yang tampak cukup percaya diri, langsung melancarkan serangan pertama dengan pedangnya, berusaha mendekati Theron. Namun, Theron dengan tenang menghindar, gerakannya begitu cepat, seolah-olah dia tahu setiap langkah Lioran sebelum itu terjadi. Acon mengamati dengan cermat, terkesima oleh kelincahan Theron.
Lioran mencoba mengimbangi dengan sihir petir, melepaskan sambaran kilat yang menyambar ke arah Theron. Namun, Theron hanya mengangkat tangan, dan sekejap kemudian, bola api besar meluncur keluar dari tangannya, langsung mengarah ke Lioran.
"Fire Ball!" Theron merapal mantra dengan tenang, bola api yang membesar dan bergerak dengan kecepatan luar biasa menghantam Lioran.
"Aku menyerah!" teriak Lioran dengan napas terengah-engah, merasakan betapa cemasnya dia menghadapi kekuatan besar Theron.
Seketika, pertandingan berakhir dalam hitungan detik. Theron berdiri dengan sikap yang sangat tenang, hampir tidak terlihat terpengaruh oleh pertempuran tersebut. Penonton pun langsung meledak dalam tepuk tangan, mengakui kehebatan sang hero.
"Tak mungkin aku bisa melakukan itu" pikir Acon, sedikit merasa tercengang. Meskipun sudah menduga, kehebatan Theron tetap membuatnya terkesan. "Apakah aku bisa bertahan di dunia ini?"
Namun, Acon segera mengalihkan pikirannya, tahu bahwa ia masih memiliki jalan yang panjang untuk mengejar mereka. Dan jika ada satu hal yang pasti—pertarungan berikutnya akan lebih sulit.
Tak berselang lama, suara pengawas menggema di seluruh arena, membuat Acon sedikit terkejut. "Acon Guend! Melawan Lyra Adrevore!" Suara itu menggetarkan, menggugah adrenalin yang tak terduga. "Lyra... salah satu heroine dalam game ini," gumam Acon dengan nada gugup, matanya terbeliak. "Dia berasal dari keluarga Adrevore, keluarga bangsawan yang berbeda dari yang lain. Mereka mengadopsi seni pedang bergaya timur yang dikenal sebagai Kesenian Arashi... ah, aku benar-benar harus menghadapi seorang ahli," pikirnya, tubuhnya sedikit gemetar meski mencoba untuk tetap tenang.
Langkahnya terasa berat, namun Acon memaksakan diri untuk berjalan menuju arena. Setiap detik yang berlalu semakin memperburuk rasa gugupnya. Suara langkah sepatu yang terantuk di tanah keras menggema di telinganya, menambah ketegangan. Saat memasuki arena, pandangannya langsung tertuju pada sosok Lyra, berdiri dengan penuh percaya diri, pedang terhunus di tangan, siap menghadapi siapapun yang datang menantangnya.
Acon menghela napas, berusaha menenangkan diri sejenak sebelum membuka statusnya.
[Status]
HP: 100% (100)
SP: 61%
CP: 63
[Weapon]
Hunting Rifle (Ammo: 7)
[Skill Pasif]
Regenerasi HP (1 HP/4 menit)
Regenerasi SP (2% SP/menit)
"Hunting Rifle tidak akan cukup untuk menang melawan Lyra," pikir Acon dengan cemas, merasakan jantungnya berdetak cepat. "Sistem, berikan aku sebuah pistol dan pedang pendek," pintanya dengan tegas, berharap bisa meningkatkan peluangnya.
'Memanggil pedang pendek <10 CP> (Y/N)'
'Memanggil Colt17 <20 CP> (Y/N)'
Acon menekan tombol 'Ya' tanpa ragu, dan dalam sekejap, sebuah pedang pendek muncul di tangan kanannya, sementara pistol Colt17 terwujud di tangan kirinya. Dengan senjata baru di tangannya, ia merasa sedikit lebih percaya diri, meskipun perasaan tegangnya belum hilang.
Di seberang arena, Lyra sudah siap, pedangnya berkilau tajam di bawah cahaya redup. "Bersiap... Mulai!" suara pengawas mengakhiri kebisuan.
Tanpa peringatan, Lyra melesat maju, tubuhnya seperti angin, bergerak cepat dengan ketangkasan yang luar biasa. Acon hampir tak sempat bernapas, namun segera mengaktifkan Gamer Mode, untuk memaksimalkan seluruh tenaganya. Ia mundur dengan cepat, merasakan tanah keras di bawah kakinya, dan dalam satu gerakan halus, menembakkan peluru ke arah Lyra.
Peluru itu melesat dengan kecepatan luar biasa, mengiris udara dengan suara mendesis. Lyra, yang terkejut dengan serangan mendadak, hanya memiliki sedikit waktu untuk bereaksi. Tepat saat peluru hampir mengenai tubuhnya, ia berbalik, melenting ke samping dengan kecepatan luar biasa, menghindari tembakan itu dengan sempurna.
"Apa itu?" gumam Lyra, jelas terkejut oleh serangan yang datang dengan cara yang tak biasa.
Namun, Acon tidak memberi waktu untuk berpikir lebih lama. Ia melanjutkan serangannya, menembakkan peluru demi peluru, suaranya menghentak udara dengan intensitas yang menegangkan. Peluru-peluru itu menyambar, dan beberapa di antaranya mengenai pergelangan tangan Lyra, meninggalkan goresan tajam yang membuatnya sedikit terhuyung. Sebuah rasa sakit tajam merambat di tubuh Lyra, meskipun itu tidak cukup untuk menghentikan kemajuannya.
Lyra memandang luka kecil di tangannya dengan ekspresi dingin, namun matanya kini berkilau dengan kemarahan dan rasa penasaran. Acon menyadari bahwa ini baru permulaan, dan meskipun ia berhasil memberi sedikit tekanan pada Lyra, ia tahu bahwa satu kesalahan bisa berakibat fatal.
Lyra bergerak dengan kecepatan luar biasa, memperkecil jarak di antara mereka dalam sekejap mata. Acon, yang masih terpaku oleh reaksi cepatnya sebelumnya, mencoba menyerang dengan pedang pendek di tangan kanannya. Namun, Lyra dengan mudah menghindar, gerakannya begitu gesit dan terlatih, seolah dia sudah memprediksi setiap gerakan Acon.
Acon merasakan betapa fatalnya kesalahan ini. "Sial... Ini buruk!" pikirnya dengan cepat, menyadari bahwa Lyra kini dalam posisi untuk menyerangnya balik, dan jarak di antara mereka sudah terlalu dekat. Pedang Lyra bersinar tajam di udara, siap menebas langsung ke leher Acon.
"Aku harus memblokirnya! Bagaimanapun, aku harus memblokirnya!" pikir Acon, rasa panik semakin menguasai dirinya. Setiap detik terasa lambat, dan dalam kondisi terdesak seperti ini, Acon merasakan instingnya menuntunnya untuk bertindak.
Tanpa benar-benar sadar apa yang ia lakukan, tangan kanannya bergerak secara otomatis, seolah ada kekuatan luar yang menggerakkannya. Pedang pendek itu bergerak ke posisi yang tepat, memblokir ujung pedang Lyra dalam hitungan milidetik. Acon terkejut, karena ia tidak pernah merencanakan gerakan itu—itu seolah keluar begitu saja dari tubuhnya.
Kedua pedang saling bersentuhan dengan suara tajam, dan meskipun Acon berhasil menangkis serangan itu, ia merasakan guncangan hebat dari benturan tersebut. Lyra mundur sejenak, sedikit terkejut dengan hasil pertemuan senjata, dan Acon segera memanfaatkan celah itu untuk mundur dan menjaga jarak. Pernafasannya terasa berat, dan darah berdesir di pembuluh-pembuluhnya.
Lyra berdiri tegak, bingung, matanya terfokus pada Acon dengan pandangan penuh keheranan. "Bagaimana dia bisa bergerak seperti itu?" gumamnya, seakan berusaha menganalisa apa yang baru saja terjadi.
Acon, yang masih merasa panik, bergegas berpikir cepat. "Tidak ada waktu untuk ragu," gumamnya, menatap tangan kirinya yang masih menggenggam pistol yang kini tak berguna dalam pertempuran jarak dekat ini. Tanpa berpikir panjang, ia mengarahkan pikirannya pada sistem.
"Berikan aku sebuah granat," bisiknya pelan, berharap sistem bisa memberinya senjata baru untuk menghadapi Lyra.
'Memanggil granat <5 CP> (Y/N)'
"Ya," jawab Acon dengan singkat, dan sebuah granat muncul di tangan kirinya, menggantikan pistol yang kini masuk ke dalam Weapon Slot. Senjata baru di tangannya membuatnya merasa sedikit lebih siap, meskipun rasa gugup masih membayangi setiap gerakannya.
Lyra, yang melihat Acon kini menggenggam granat, memperhatikan dengan curiga, siap untuk melangkah lebih hati-hati. Pertarungan ini semakin memanas, dan Acon tahu bahwa ia harus cerdik agar bisa bertahan lebih lama.
Lyra tampak bingung saat melihat senjata yang kini ada di tangan Acon, sebuah benda asing yang dibawa nya sangat aneh. Pikiran Lyra berputar cepat, menyadari bahwa ini bukan pertempuran biasa. Acon tampak berbeda, dan gerakan tangannya yang otomatis sebelumnya membuatnya semakin curiga.
Acon menarik pin granat dengan gesit, melepaskan tuas pengaman dengan tangan kirinya. Detik-detik itu terasa sangat panjang. Hatinya berdebar, otaknya bekerja keras untuk memastikan semuanya tepat waktu. Ia menunggu dua detik—sangat hati-hati—memastikan granat itu meledak saat tepat berada dalam jangkauan Lyra.
Lyra terus memerhatikan Acon dengan mata tajam, penuh kewaspadaan. Ia mulai bergerak pelan, mengira Acon sedang mencoba trik lain. Tapi Acon tetap tenang, mengamati gerakan Lyra, matanya memfokuskan pada jarak yang semakin menyempit. Waktu hampir habis.
Dengan kecepatan yang memadai, Acon melempar granat itu ke arah Lyra. Granat itu meluncur melalui udara, seperti bola api yang bergerak menuju tujuannya. Lyra, masih bingung dengan keputusan Acon, berusaha untuk menepis benda asing yang terbang ke arahnya. Saat granat itu mendekat, dalam jarak sekitar satu meter, Lyra siap untuk menepisnya—tapi Acon sudah merencanakan semuanya.
"Explosion!" kata Acon dengan suara yang penuh keyakinan, berpura-pura mengucapkan mantra peledak, meskipun di dalam dirinya, ada rasa cemas yang menyelinap.
Lyra, yang sudah siap menepisnya, terkejut dengan kata-kata Acon. Waktu terasa berhenti, dan ia berbalik dengan cepat, mencoba untuk menjauh secepat mungkin. Namun, terlambat. Granat itu meledak tepat di belakangnya, suara dahsyat BOOM! mengguncang arena, menggetarkan setiap sudut tanah dan dinding.
Lyra terlempar ke depan, tubuhnya terhuyung dan terjatuh dengan punggung yang terluka parah. Asap dan debu mengepul di sekitar arena, menyelimuti segalanya dalam kegelapan sementara. Suasana tiba-tiba hening, seluruh penonton terdiam, tak percaya bahwa seorang anggota keluarga Adrevore yang terkenal bisa kalah oleh seorang petarung rakyat jelata.
Acon berdiri dengan nafas terengah-engah, matanya tetap waspada meskipun kemenangan sudah di depan mata. Pengawas segera menghentikan pertandingan, dan petugas medis berlari ke arah Lyra, membawa tubuhnya yang tak sadarkan diri menuju ruang perawatan.
Acon yang masih terengah-engah, berjalan keluar dari arena. Hatinya berdegup kencang, tetapi ia tahu ini adalah kemenangan yang tak terduga. Tak jauh dari arena, ia membuka status Lyra, ingin memastikan bahwa ia tak membunuh wanita itu.
[Status Lyra]
HP: 179/1082
SP: 86%
Level: 21
Acon menghela napas lega, merasa sedikit terbebani. "Untunglah dia selamat... jika tidak, aku tak akan tahu apa yang akan dilakukan keluarga Adrevore padaku nanti," gumamnya, sedikit cemas akan dampak dari pertarungan ini.
Ia kembali ke tempat penonton, melanjutkan menonton pertandingan yang tersisa, meskipun pikirannya masih terfokus pada pertempuran yang baru saja ia hadapi.
Notifikasi tiba-tiba muncul di layar, mengejutkan Acon:
[Achievement Unlocks]
-Counter Attack
Melakukan Counter Attack dari serangan mematikan
New: Max HP naik menjadi 200%
New: Pasif - Menjadi kebal selama 5 detik setelah menerima damage total 180% Max HP (waktu dihitung setelah menerima damage)
-Draw Attention
Menarik perhatian 100 orang
+50 CP
Acon terkejut, matanya membelalak saat membaca pencapaian itu. "Kebal selama 5 detik setelah menerima 180% damage?!" teriaknya, merasa tak percaya dengan hadiah yang diberikan. Max HP-nya kini menjadi dua kali lipat, dan ia merasa seolah mendapatkan keuntungan besar dari kejadian tadi. Namun, ia masih bingung dengan salah satu pencapaian tersebut. "Counter Attack? Bagaimana aku bisa melakukannya?" gumam Acon, berusaha mencari tahu lebih lanjut.
"Apa kau tahu sesuatu, sistem?" lanjutnya, penasaran.
Sistem menjawab dengan tenang, seolah sudah menunggu pertanyaan ini.
'Host bisa melakukan Block dan Attack, dengan hanya memikirkannya, seperti anda menekan tombol Serang dan Blokir saat bermain game. Counter Attack dapat terjadi ketika melakukan Block di saat serangan musuh akan mengenai Host. Block dan Attack akan memakan SP Host berdasarkan seberapa kuat serangan musuh, atau seberapa kuat Host ingin menyerang.'
"SP-ku?" tanya Acon dengan kebingungan, merasa terkejut karena tidak sepenuhnya memahami mekanisme baru ini. Ia segera membuka statusnya untuk memeriksa kondisinya.
[Status]
HP: 200% (200)
SP: 11%
CP: 77
[Weapon]
Hunting Rifle (Ammo: 7)
Colt17 (Ammo: 16/23)
Short Sword
[Skill Pasif]
Regenerasi HP (1 HP/4 menit)
Regenerasi SP (2% SP/menit)
Last Stand
Melihat SP-nya yang hanya tersisa 11% membuatnya terkejut. "Apa serangan dari Lyra sekuat itu, hingga membuat SP ku turun sebanyak ini?" pikirnya, bingung dan sedikit khawatir. SP-nya terkuras habis begitu cepat, dan ia tak bisa menjelaskan sepenuhnya kenapa.
Merasa penasaran dan ingin mencoba sesuatu, Acon bertanya, "Apa yang terjadi jika aku menonaktifkan Gamer Mode?"
Tanpa menunggu jawaban, ia memutuskan untuk melakukannya. "Gamer Mode Non-aktif," bisiknya pelan, berharap dapat melihat apa yang akan terjadi.
Seketika tubuh Acon melemas total. Otot-ototnya keram, dan ia hampir tergelincir dari kursinya. "Apa-apaan ini?! Aku lumpuh, ya?!" serunya panik sambil mencoba menggerakkan tangannya yang malah gemetaran seperti daun kering.
Ia memaksakan diri untuk bangkit, tapi tubuhnya hanya merespons dengan bunyi kriuk-kriuk aneh. "Astaga, aku bukan robot karatan, kan?! Apa ini yang terjadi ketika SP mu sangat rendah?!"
Saat mencoba berdiri, tubuhnya malah oleng, dan ia langsung jatuh terduduk lagi. Mukanya merah, setengah kesal setengah malu. "Ini lebih parah dari lag saat main game," gerutunya.
"Catatan baru, jangan pernah Me Non-aktif Gamer Mode disaat SP mu rendah" katanya pada diri sendiri.
Sistem, seperti biasa, hanya diam, meninggalkan Acon sendirian dengan tubuhnya yang seperti jeli leleh.