Chereads / Different Game, Different World / Chapter 2 - Exploring New Worlds

Chapter 2 - Exploring New Worlds

Setelah beristirahat cukup di bawah bayang-bayang pepohonan, mereka akhirnya melanjutkan perjalanan menuju gerbang masuk kota. Suasana di sekitar gerbang terasa sibuk, dengan para pedagang, petualang, dan warga yang berlalu-lalang. Suara derak roda gerobak dan seruan penjaga gerbang menggema di udara, menciptakan atmosfer penuh kehidupan.

Ketika mereka tiba di depan gerbang, Darian berhenti dan menatap Acon dengan sorot mata yang serius namun ramah.

"Baiklah, mungkin kita harus berpisah di sini," ucap Darian. Ia merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah batu sihir yang bersinar redup. "Ini milikmu. Kau yang mengalahkan monster itu. Kau berhak mendapatkannya."

Acon menerima batu itu dengan ragu, tatapannya berpindah-pindah antara Darian dan batu di tangannya. "Terima kasih... untuk semuanya. Aku benar-benar bersyukur kalian membantuku. Semoga kita bisa bertemu lagi."

Rekka tersenyum lembut sambil melambaikan tangan. "Sampai jumpa lagi, Acon. Jangan lupa mampir ke guild petualang jika kau butuh bantuan."

Kael, yang sudah berjalan beberapa langkah ke depan, menoleh dan menambahkan dengan nada santai, "Kami biasanya ada di sana. Jangan ragu untuk mencari kami."

Satu per satu, mereka masuk ke dalam gerbang, meninggalkan Acon sendirian di depan. Sebelum sempat melangkah lebih jauh, seorang penjaga dengan baju zirah yang sedikit lusuh menghentikannya.

"Tunggu sebentar. Tunjukkan kartu identitasmu, anak muda," perintahnya dengan nada tegas namun tidak kasar.

Acon membeku sejenak, bingung. "Eh... Aku tidak punya," jawabnya gugup.

Penjaga itu mengangkat alis. "Tidak punya kartu identitas? Jadi kau bukan warga sini? Pendatang, ya?" Nada suaranya berubah menjadi sedikit curiga.

"Y-ya, begitulah..." Acon menjawab, sambil menggaruk belakang kepalanya.

Penjaga itu mendesah, lalu melipat kedua tangannya di dada. "Baiklah, ini sedikit merepotkan. Tapi jangan khawatir, kami tidak menolak pendatang begitu saja. Kau akan diberi surat keterangan sementara. Tapi dengar baik-baik—kau harus pergi ke Balai Kota dalam waktu tiga hari untuk mendaftarkan identitasmu secara resmi. Kalau tidak, kau akan dianggap seorang kriminal. Mengerti?"

Acon mengangguk cepat. "Ya, mengerti."

Penjaga itu mengeluarkan gulungan kertas dari sebuah tas kulit kecil di pinggangnya. Ia menuliskan sesuatu dengan pena bulu, sementara Acon memperhatikan dengan perasaan lega bercampur cemas. Setelah selesai, penjaga menyerahkan gulungan itu kepada Acon.

"Harganya 3 koin perak," katanya sambil mengulurkan tangan.

Acon, tanpa banyak berpikir, segera merogoh kantongnya dan menyerahkan tiga koin perak. Kilauan koin itu membuat penjaga tersenyum kecil sebelum ia membuka jalan.

"Baiklah, kau boleh masuk. Dan jangan lupa—tiga hari, ya. Jangan buat masalah," ujarnya sambil kembali ke posisinya.

Saat melangkah masuk ke kota, Acon terdiam sejenak. Pandangannya menyapu pemandangan di sekitarnya. Berbeda jauh dari layar monitor yang biasa ia tatap selama bermain game. Segalanya terasa lebih nyata—bangunan-bangunan batu dengan jendela kayu, hiruk pikuk pasar, dan aroma roti panggang yang menyusup dari kedai terdekat. "Ini... menakjubkan," gumamnya, nyaris tak percaya dengan apa yang dilihatnya.

Ia mengalihkan pandangan ke mini map di pojok kiri bawah pandangan matanya. Ada banyak titik kuning berkedip-kedip di sana. "Terlalu ramai," keluhnya. "Sistem, hapus titik kuning pada mini map."

'Titik kuning dihilangkan dari mini map,' jawab sistem dalam nada netral khasnya.

Acon menarik napas lega. Setidaknya itu membuat pandangannya lebih bersih. Ia menoleh ke kiri dan kanan, mencoba mengorientasikan diri. "Sistem, apa kau tahu di mana Balai Kota?" tanyanya.

'Membuka map,' jawab sistem. Sebuah panel muncul di hadapannya, menampilkan peta dengan area yang sudah ia jelajahi. Namun, sebagian besar layar hanya menampilkan ruang kosong.

'Host perlu menjelajahi tempat yang belum terdata untuk membuka seluruh tampilan map,' lanjut sistem.

"Jadi, aku harus mencari tempat itu sendiri?" gumam Acon, sedikit kesal. Ia melirik sekitar, berharap menemukan sesuatu yang bisa membantunya. Orang-orang berlalu-lalang dengan kesibukan mereka, dan Acon menyadari sesuatu. "Sistem, apakah orang lain bisa melihat panel ini?" tanyanya waswas.

'Tidak ada orang lain yang bisa melihat panel selain host,' sistem menjawab cepat.

Acon menghela napas lega. "Baguslah. Setidaknya aku tak perlu menjelaskan hal aneh ini kepada mereka," ucapnya, sambil mengusap tengkuknya.

Pandangan matanya tertuju pada jalan yang ramai, dan ia mendadak teringat sesuatu. "Aku masih ingat jalan menuju guild dari game. Mungkin aku akan pergi ke sana dulu," pikirnya. Dengan langkah mantap, ia mulai berjalan.

Sepanjang perjalanan, Acon terus terpana. Jalan-jalan yang dulu hanya berupa piksel kini terasa penuh kehidupan. Pedagang dengan suara lantang mempromosikan dagangannya, aroma daging panggang bercampur wangi bumbu rempah, dan suara derit gerobak kayu yang ditarik kuda memenuhi telinganya. Di antara kerumunan, ia melihat berbagai macam ras—dari demi-human dengan telinga tajam hingga dwarf bertubuh kecil namun gagah. Dunia ini terasa begitu kaya dan hidup, jauh lebih menawan daripada yang pernah ia bayangkan.

Setelah berjalan cukup lama, ia akhirnya sampai di depan sebuah bangunan besar dengan papan kayu yang menggantung di depannya. Papan itu bertuliskan "Guild Petualang" dengan ukiran indah. Bangunan ini tampak lebih megah dibandingkan yang ia lihat di game, dengan pintu kayu besar yang selalu terbuka dan suasana ramai dari dalamnya.

"Guild Petualang, ya?" gumam Acon, mengangkat bahu. "Sepertinya ini tempat yang tepat untuk memulai."

Tanpa ragu, ia melangkah masuk ke dalam guild, siap menghadapi langkah berikutnya di dunia baru ini.

Acon melangkah masuk ke dalam guild, suasana hangat namun riuh menyambutnya. Ruangan besar itu dipenuhi meja-meja tempat para petualang duduk, bercengkerama, atau membahas misi terbaru. Suara cangkir kayu beradu, tawa keras, dan denting koin menciptakan irama khas yang hanya dimiliki tempat seperti ini. Namun, langkahnya menarik perhatian. Banyak mata meliriknya, beberapa dengan rasa ingin tahu, sebagian lainnya dengan kecurigaan.

Ia mengabaikan tatapan-tatapan itu dan berjalan menuju meja resepsionis. Di balik meja, seorang wanita muda berdiri dengan senyum profesional. Rambut cokelatnya yang panjang dikepang rapi, dan matanya yang hijau berkilau menyambut siapa saja yang mendekat.

"Selamat datang di guild kami, nama saya Elara," sapa resepsionis itu dengan ramah. "Ada yang bisa saya bantu?"

Acon mengangguk, lalu mengeluarkan batu sihir dari Lightning Wolf dan meletakkannya di atas meja. Batu itu bersinar samar, memantulkan cahaya biru elektrik.

"Aku ingin menjual ini," ucapnya sederhana.

Guild yang tadinya riuh mendadak sunyi. Beberapa petualang menoleh, dan bisikan-bisikan mulai terdengar. Mata Elara membesar, terkejut melihat barang yang ada di hadapannya.

"Darimana kau mendapatkan ini?" tanyanya dengan nada serius, hampir mendesak.

"Pemberian kenalanku," jawab Acon santai, mencoba menghindari pembicaraan panjang.

"Hah? Serius? Dia memberikannya padamu begitu saja?" Elara menatapnya seolah dia sedang bercanda. Namun, setelah beberapa detik, dia menghela napas dan melanjutkan, "Sebenarnya, aku tidak peduli dari mana kau mendapatkan ini. Tapi... kau tahu ini apa, kan?"

Acon menggeleng.

Elara memegang batu sihir itu dengan hati-hati, hampir seperti menyentuh sesuatu yang rapuh. "Ini adalah batu sihir dari Lightning Wolf, monster langka yang sangat kuat. Batu ini memiliki nilai tinggi, tidak hanya sebagai barang koleksi, tapi juga untuk alat sihir tingkat lanjut."

Mendengar penjelasan itu, Acon tertegun. Ia tidak menyangka barang yang dibawanya ternyata begitu berharga.

"Jadi... berapa harganya?" tanyanya, mencoba tetap tenang.

Elara tersenyum tipis, lalu berkata, "Ini bisa kuhargai 50 keping koin emas."

Acon menatapnya, memastikan ia tidak salah dengar. Tapi melihat keseriusan di wajah Elara, ia yakin tawaran itu nyata. Tanpa ragu, ia mengangguk. "Baiklah, aku terima."

Elara menyerahkan sekantong koin emas kepadanya. Beratnya cukup untuk membuat Acon menyadari betapa banyak nilainya. Ini pertama kalinya ia memegang uang dalam jumlah besar di dunia ini.

Sebelum pergi, Acon bertanya, "Apa kau tahu di mana Balai Kota berada?"

Elara tersenyum ramah, menunjuk ke arah luar. "Balai Kota? Kau tinggal lurus saja dari sini. Ikuti jalan utama sampai ke alun-alun kota. Di sana kau akan melihat bangunan besar dengan menara jam. Itulah Balai Kota."

Acon mengangguk. "Terima kasih."

"Sebaliknya, aku yang harus berterima kasih," balas Elara sambil tersenyum manis. "Silakan kembali lagi ke guild kami."

Acon melangkah keluar dari guild dengan pikiran yang penuh. Kantong emas di tangannya mengingatkan bahwa dunia ini tidak hanya lebih keras, tapi juga menawarkan peluang yang luar biasa.

Acon berjalan mengikuti petunjuk Elara menuju alun-alun kota. Ketika ia tiba, pandangannya langsung tertuju pada bangunan terbesar yang menjulang tinggi di tengah keramaian. Gedung itu tampak megah dengan pilar-pilar besar dan arsitektur kuno yang berkilau di bawah cahaya matahari sore. Acon melangkah menuju pintu besar yang terbuka, memasuki ruangan yang luas dan penuh dengan meja serta kursi yang dipenuhi oleh dokumen-dokumen.

Begitu ia melangkah lebih jauh, seorang pria paruh baya yang duduk di meja depan menatapnya. Wajahnya tampak serius, namun ada kehangatan di matanya. "Ada yang bisa saya bantu?" tanyanya, suaranya rendah dan berwibawa.

"Aku ingin mendaftarkan diriku dan mendapatkan kartu ID," jawab Acon sambil mengeluarkan gulungan kertas yang diberikan oleh penjaga gerbang.

Pria itu memeriksa gulungan tersebut sebentar, kemudian mengangguk. "Baiklah, ikuti saya."

Acon mengikuti pria itu yang membawa dirinya ke sebuah ruangan yang lebih kecil. Di dalamnya, terdapat sebuah meja besar dengan bola sihir yang terletak di atas bantal lembut. Bola itu tampak berkilau, memancarkan cahaya samar yang membuat ruangan semakin terasa magis.

"Silahkan letakkan tanganmu di atas bola ini," kata pria itu sambil mencatat sesuatu di atas selembar kertas.

Acon mendekat, lalu meletakkan telapak tangannya dengan hati-hati di atas bola tersebut. Seketika, bola itu memancarkan cahaya lebih terang, dan di atas permukaannya muncul tulisan yang mengambang, seakan-akan bola itu sedang menampilkan informasi tentang dirinya.

Ras: Manusia

Umur: 19

Level: 1

[Skill]

...

"Level 1?" Pria itu terkesiap, alisnya sedikit terangkat. "Tanpa skill? Itu cukup langka." Ia terus menulis sesuatu di kertas sambil merenung.

Acon sedikit bingung dengan reaksi pria itu, tapi memilih untuk tidak bertanya lebih lanjut. "Siapa namamu?" tanya pria itu setelah beberapa detik.

"Acon," jawabnya singkat.

"Baiklah, Acon," pria itu berkata sambil menuliskan sesuatu di kertas. "Kartu ID-mu akan siap dalam dua hari. Kembali lagi ke sini untuk mengambilnya."

Acon mengangguk. "Terima kasih."

Dengan langkah mantap, Acon keluar dari ruangan itu, merasakan seolah beban yang dipikulnya sedikit berkurang. Ia baru saja mengurus identitas di dunia ini—sebuah langkah kecil, namun penting. Kini, dengan sekantong koin emas dan kartu ID yang akan datang, dunia baru yang luas terbentang di hadapannya.

Acon keluar dari gedung balai kota dengan langkah ringan, dan kembali melangkah menuju toko pakaian yang tadi ia lihat. Toko itu sederhana, dengan pintu kayu yang terbuat dari bahan keras dan jendela-jendela kecil yang memperlihatkan berbagai pakaian yang digantung di dalamnya. Begitu masuk, udara hangat dari perapian mengusir dingin yang sempat menyelimutinya saat berkeliling kota.

Pemilik toko, seorang pria paruh baya dengan rambut agak tipis, sedang menyusun beberapa pakaian di meja. Melihat Acon, ia menyambut dengan senyum ramah. "Selamat datang, ada yang bisa saya bantu?"

Acon mengamati beberapa tunik dan mantel yang tertata rapi di dinding. "Aku ingin mengganti bajuku," jawabnya sambil meraba pakaian yang dikenakannya, yang mulai terlihat kusam setelah perjalanan panjang. Ia memutuskan untuk membeli setelan yang lebih sesuai dengan kondisi di dunia ini: tunik, celana panjang, dan mantel sederhana.

"Baiklah, harga totalnya 1 koin silver dan 5 koin perunggu," kata pria itu sambil menunjukkan pakaian yang dipilih Acon.

Acon mengeluarkan dua koin silver dari kantongnya dan menyerahkannya kepada pemilik toko. "Ini dia," katanya sambil menerima pakaian yang baru.

Pemilik toko menerima uang itu dan memberikan kembaliannya. "Ini kembalianmu, 5 koin perunggu. Terima kasih telah membeli di sini, semoga pakaian itu cocok untukmu." Pria itu tersenyum hangat, terlihat puas dengan transaksi itu.

Acon mengambil kembalian dan pakaian barunya. "Terima kasih," jawabnya sambil keluar dari toko.

Di luar toko, Acon menatap koin yang kini ada di tangannya. "Setiap koin akan dikali sepuluh untuk setiap tingkatan-nya..." gumamnya pelan, mencoba mencerna cara sistem ekonomi di dunia ini berfungsi. Setelah ini, ia harus memikirkan langkah selanjutnya dalam petualangannya

Hari mulai meredup dengan nuansa senja yang menyelimuti kota. Acon memutuskan untuk mencari penginapan setelah perjalanan panjang seharian. Ia akhirnya menemukan sebuah tempat yang tampaknya cukup nyaman, The Silver Mug, sebuah penginapan sederhana yang terlihat ramai dengan petualang-petualang yang baru saja menyelesaikan tugas mereka.

Begitu masuk, Acon bisa mendengar suara gelak tawa dan percakapan dari meja-meja yang penuh dengan orang-orang. Sebagian besar tampaknya menikmati bir dan makanan setelah hari yang panjang. Lampu-lampu minyak yang tergantung di langit-langit memancarkan cahaya hangat, memberikan kesan nyaman meski ruangannya penuh. Acon berjalan menuju meja pemesanan di sisi ruangan, di mana seorang wanita dewasa dengan senyum ramah sedang melayani para tamu.

"Selamat malam, ada yang bisa aku bantu, anak muda?" tanya wanita itu dengan suara yang ramah.

Acon, merasa sedikit lelah, mengangguk. "Aku ingin memesan kamar," jawabnya singkat.

Wanita itu mengangguk dan menjelaskan, "1 malam seharga 4 koin perunggu. Jika kamu ingin menambah sarapan dan makan malam, itu 3 koin perunggu lagi. Jadi totalnya 7 koin perunggu per malam. Bagaimana?"

Acon berpikir sejenak, menimbang-nimbang. "Aku pesan satu kamar untuk 10 malam, ditambah makan," jawabnya, ingin memastikan ia bisa mengistirahatkan diri dengan baik selama beberapa hari.

Wanita itu mulai menghitung dengan jari-jari tangannya. Acon menatapnya dengan sedikit rasa heran, "Apa pendidikan di dunia ini buruk, sehingga orang dewasa perlu menghitung angka dua digit cukup lama?" gumamnya dalam hati.

"Totalnya 7 koin silver," jawab wanita itu setelah beberapa saat, akhirnya selesai menghitung.

Acon mengeluarkan satu keping koin emas yang ia dapatkan setelah menjual batu sihir Lightning Wolf dan menyerahkannya pada wanita itu. "Ini," katanya singkat.

Wanita itu menerima koin emas itu dan mengeluarkan kembalian, serta kunci kamar. "Silakan tulis namamu di sini," katanya, menyerahkan sebuah buku kecil dan pena. Acon menulis namanya di sana tanpa banyak berpikir.

"Ini kembalianmu dan kunci kamarmu," lanjut wanita itu, memberikan 3 koin silver kembali dan kunci. "Kamar kamu ada di lantai dua, nomor 3."

Acon menatap kunci itu sebentar, merasa lega karena akhirnya bisa beristirahat dengan baik. "Bisakah aku mendapatkan makan malam sekarang?" tanyanya, perutnya yang keroncongan semakin mengingatkannya pada kebutuhan itu.

"Baiklah, silakan duduk, makananmu akan segera datang," jawab wanita itu dengan senyum ramah.

Tak lama setelah itu, seorang gadis muda datang membawa makanan hangat dan secangkir air. "Ini dia," katanya sambil menaruh hidangan di atas meja. Acon mengangguk dan tersenyum. "Terima kasih," jawabnya pelan, kemudian mulai makan dengan lahap.

Setelah menyelesaikan makanannya, Acon merasa sedikit lebih baik, walaupun tubuhnya masih lelah. Ia beranjak dan menuju lantai dua, mencari kamar yang telah dipesannya. Kamar itu sederhana namun nyaman, dengan tempat tidur besar yang mengundang untuk segera berbaring. Acon menutup pintu, melepas mantel dan pakaian luar, lalu merebahkan tubuhnya ke ranjang dengan cepat.

"Apa ini mimpi?" gumamnya pelan, matanya mulai terasa berat. "Tapi semua ini terasa nyata bagiku. Baiklah, kita pikirkan itu besok pagi."

Dengan satu gerakan, ia mematikan lentera yang menggantung di samping tempat tidur, dan dalam sekejap, tubuhnya tenggelam dalam kelelahan, melupakan dunia sejenak.