Nafas Alpha Wolf menggoyangkan dedaunan pohon di sekitarnya. Geramannya berhasil membuat semua tulang dalam tubuh ikut bergetar. Makhluk setinggi lebih dari dua meter itu melangkahkan kakinya. Langkahnya pasti dan berat hingga tanah terasa ikut bergetar. Apa yang makhluk itu lakukan disini? Berdasarkan catatan di rumah para tetua seharusnya Alpha Wolf tinggal lebih dalam lagi, di daerah dataran tinggi, memimpin kawanannya. Tubuhku semakin bergetar. Kalau begitu monster yang lebih mengerikan seperti apa yang memaksa Alpha Wolf turun hingga kesini. Dahan pohon mati yang patah diinjang Alpha Wolf mengembalikan inderaku. Pandanganku kembali fokus pada serigala kolosal yang memamerkan jajaran taringnya yang tajam.
Lututku lemas, tanganku berkeringat deras, kepalaku seakan-akan menjadi semakin ringan. Aku bisa mendengar keras dan cepatnya nafasku. Satu-satunya suara yang lebih kencang adalah detak jantungku. Apa yang bisa kulakukan dalam kondisi ini? Apa monster ini bisa kulawan? Tentu tidak! Apakah aku bisa berlari cukup kencang untuk kabur dari monster ini? Mungkin iya, tapi untuk berapa lama aku bisa lari sebelum terkejar? Oh! Mungkin aku bisa coba panah mata serigala ini agar aku punya kesempatan lebih besar melarikan diri! Namun sayangnya serigala itu belum berada di jarak tembak busurku. Lagipula sepertinya Alpha Wolf cukup cekatan untuk menghindari lesatan anak panah.
Aku kehabisan pilihan. Apakah waktuku di dunia ini sudah habis? Selama ini kehidupanku sederhana dan terasa membosankan. Tetapi ternyata aku belum siap untuk meninggalkan dunia ini. Kemanakah para pahlawan? Seharusnya mereka yang ada disini menghadapi mimpi buruk ini!
"Oiiiink!"
Saat pikiranku sedang tidak karuan, terdengar suara teriakan nyaring. Ternyata sama sepertiku, Alpha Wolf juga melupakan sosok Wild Boar di depannya. Tanpa peringatan Wild Boar tersebut berlari kencang, menyeruduk Alpha Wolf dengan gadingnya yang tidak terlalu panjang. Binatang yang terpojok itu memutuskan untuk mencoba memberikan perlawanan terakhir kepada monster yang berukurang lima kali lipat tubuhnya.
Pada saat itu aku terkejut dan tidak bisa bereaksi hingga Alpha Wolf mengeluarkan lolongan yang memekakan telingaku. Instingku muncul ke permukaan. Seketika aku membalikan badan dan mengambil langkah yang lebar, mencoba menjauhi kedua monster itu. Untung saja kakiku tidak selip, jika tidak bisa saja aku terjerembab dan sulit untuk bangkit lagi. Aku paksakan lututku yang lemas untuk terus mendorong tubuhku berlari secepat mungkin. Semoga saja Alpha Wolf sibuk menghadapi Wild Boar dan melupakanku.
Akan tetapi momen tersebut tidak berlangsung lama. Dari belakangku terdengar suara hentakan yang keras diikuti suara benda tajam yang menusuk sesuatu yang berat dan basah. Bisa kubayangkan bahwa itu adalah suara gigi Alpha Wolf yang menancap pada leher Wild Boar. Detik selanjutnya terdengar suara benda jatuh yang cukup keras lalu teriakan kemenangan yang tentu berasal dari monster serigala. Selanjutnya, langkah kaki yang keras mengikuti.
Kucoba untuk berlari lebih kencang karena nyawaku bergantung pada kecepatan itu. Aku menolehkan kepalaku untuk melihat seberapa dekat Alpha Wolf berada di belakangku. Cukup jauh, tetapi jarak itu akan dapat dihilangkan hanya dalam beberapa saat lagi. Keputusanku untuk menoleh itu salah. Hampir saja aku menabrak pohon besar yang berada di jalur lariku. Untung saja badanku cukup kecil sehingga aku bisa berbelok dan menyelinap di antara dua pohon besar lainnya.
BRAAAKK!!
Terdengar suara dari pohon yang baru saja kulewati. Apa yang kulihat hampir sulit untuk dipercaya. Entah karena keajaiban apa, Alpha Wolf tersebut tersangkut di antara dua pohon. Langkah ku terhenti. Jantungku berdetak kencang, keringat bercucuran dan kepalaku berdenyut keras. Namun demikian, suatu ide mulai muncul dalam benakku. Ide yang bodoh. Benar-benar bodoh.
Monster serigala itu berupaya sekeras mungkin melepaskan dirinya dari jeratan pohon. Sedikit demi sedikit mulai terlihat retakan pada dahan pohon yang besar itu. Kesempatanku semakin kecil. Tanpa panjang lebar aku berlari menuju Alpha Wolf, sambil kucabut pedang pendekku. Yang ku incar adalah leher Alpha Wolf yang mencuat dari antara pohon-pohon. Ketika dia menengok ke atas untuk melepaskan diri, aku ayunkan pedangku sekuat mungkin secara diagonal, mencoba memotong leher sang monster.
THUMP!
Bilah pedangku bertemu bulu serigala itu. Tapi luka yang ditimbulkan tidaklah dalam. Bahkan tidak cukup untuk menyentuh otot lehernya, hanya merobek bulu dan kulit luarnya saja.
Tolol! Bodoh! Ceroboh! Aku memaki diriku sendiri dan mengutuk kemalasanku untuk mengasa pedangku secara rutin. Mungkin aku terlalu terbiasa menggunakan busur sehingga mengesampikan peralatanku yang lain.
Mata Alpha Wolf langsung mengarah padaku dan rahangnya berusaha mengigitku. Untung aku terjatuh secara tidak sengaja sehingga lepas dari bahaya. Aku mulai merangkak beberapa langkah dan kemudian berlari untuk menjauhi tempat itu, sambil berdoa pohon itu dapat menahan Alpha Wolf selamanya. Tentunya harapan tersebut hampa, karena retakan pada dahan pohon semakin besar.
Mulutku terasa sangat kering ketika aku membalikan tubuhku untuk melihat lagi kondisi Alpha Wolf. Aku merasa aku ingin berteriak dengan seluruh tubuhku, namun tidak ada suara yang keluar. Mataku mulai buram dan air mataku mengalir dengan deras. Akan tetapi hal yang mengejutkan terjadi. Tanganku mengambil busur dan anak panah. Aku mengambil kuda-kudaku, membidik ke arah mata serigala dari mimpi buruk itu dan kulepaskan anak panah. Semua hal itu terjadi dalam waktu kurang dari tiga detik.
PLOOOOSH!!
Anak panah masuk ke dalam mata kiri serigala dan diikuti raungan yang sangat menyakitkan telinga. Tidak mungkin tembakan itu membunuh Alpha Wolf. Benar saja, meskipun bercucuran darah, Alpha Wolf mengangkat kembali kepalanya dan menatapku dengan tajam. Namun demikian, tubuhnya sudah tidak lagi meronta dengan keras dan hanya menggeram dengan berat.
Meskipun pikiranku masih belum bisa mencerna semuanya dengan baik, tubuhku langsung bereaksi. Satu detakan jantung berikutnya, aku sudah berlari secepat mungkin untuk keluar dari hutan menuju padang rumput untuk kembali ke desaku. Aku terus berlari tanpa melihat ke arah manapun. Badanku membawaku menuju arah padang rumput dan aku mengikutinya. Entah berapa lama aku telah berlari dan entah darimana tenaga itu datang. Badanku menjerit tetapi terus kupaksakan selangkah demi selangkah, hingga akhirnya aku melihat gerbang desa dari kejauhan. Barulah aku berani berhenti dan melihat ke arah hutan. Tidak ada yang mengikutiku.
Secara refleks aku tertawa. Sangat keras. Seluruh perasaanku campur aduk, dari lega, takut, senang, sedih. Semuanya. Kemudian tubuhku gemetar dengan hebat dan kepalaku berputar. Rasa mual menerjangku secara mendadak dan semua isi perutku keluar, meskipun isinya hanya roti dan air saja.
Aku masih hidup. Itu saja yang saat ini paling penting. Nanti saja aku baru cek kembali apakah tubuhku terluka. Setelah tubuh dan jiwaku lebih tenang, aku mulai menyeret langkahku menuju gerbang desa.
"Aku harus peringatkan para Tetua…" ujarku pada diriku sendiri.