Akhirnya aku tiba di depan pintu kabinku. Rasanya sudah lama sekali terakhir kali aku melihat daun pintu kabin ini, padahal baru saja beberapa jam lalu aku pergi. Kejadian yang menimpaku di hutan sebegitu mengerikannya sehingga memengaruhi persepsiku akan waktu. Kubuka pintu kabin dan yang langsung kucari adalah kursi meja makanku. Setelah duduk, seketika tubuhku menjadi rileks. Entah karena energiku yang memang sudah habis atau adanya rasa tenang ada di rumah sendiri. Mungkin keduanya.
Di atas meja makan di hadapanku, tergeletak sisa roti yang kumakan saat sarapan. Perutku mengeluarkan geraman yang kencang tanda tubuhku menginginkan makanan setelah semua aktivitas fisik dan mental yang kulalui. Kuraih potongan roti tersebut dan aku koyak potongan besar roti itu dengan gigiku. Rasa roti yang cukup tawar tersebut sebetulnya nikmat dan tubuhku memang membutuhkannya, akan tetapi aku tidak bisa menelannya. Ketika kucoba paksakan rasa mual yang hebat muncul dan terpaksa kukeluarkan lagi roti itu dari mulutku. Hal itu menyisakan rasa pahit di lidahku. Percobaan pertama tadi cukup membuatku menyerah dalam mencoba menyantap makan siangku hari ini. Untungnya, aku masih bisa menikmati air yang kuminum dengan cepat. Rasa segar air itu mampu menguapkan rasa dahaga yang ternyata selama ini kurasakan.
Setelah duduk cukup lama, aku memutuskan untuk membersihkan diriku di kamar mandi. Aku mulai dengan mencuci mukaku yang dipenuhi butiran garam hasil keringatku yang mengering. Telapak tanganku yang lecet, aku coba bersihkan secara perlahan agar air tidak menyengatku dengan kuat. Ketika aku membasuh kaki, terlihat ada beberapa luka goresan dan telapak kakiku sedikit melepuh. Tetapi luka-luka ini tidak ada apa-apanya dibandingkan fakta bahwa aku masih berhasil kembali dengan selamat setelah menghadapi serigala raksasa tersebut. Setelah mengeringkan diriku, aku langsung melangkahkan kaki ke arah kamarku.
Kasurku cukup kecil, hanya cukup untuk satu orang, dan memang itulah yang kubutuhkan. Segera aku jatuhkan diri sehingga kepalaku tepat berada pada bantal. Pada saat yang sama kelopak mataku tiba-tiba berat seperti ditarik oleh bongkahan besi yang tidak terlihat. Nafasku mulai semakin pelan namun teratur. Tanpa ada perlawanan, kupejamkan mataku dan langsung tertidur.
...
...
...
Seharusnya sudah kuduga, tidak mungkin aku bisa beristirahat begitu saja tanpa dihantui mimpi buruk. Di mimpi itu aku terus berlari sekuat tenaga, namun kedua kakiku terasa sedang melangkah di atas lumpur yang dalam. Pundakku seakan-akan ditimpa bongkahan batu besar. Sekuat apapun aku mencoba berlari, aku tidak pernah berhasil bergerak cepat dan seakan-akan hanya berhasil berlari di tempat. Secara insting, aku terus menengok ke belakang, setengah berharap tidak ada apapun yang mencoba mengejarku, terutama ketika aku tidak bisa berlari dengan wajar. Aku sangat terkejut ketika memang tidak ada siapapun atau makhluk apapun yang mengejarku. Di belakangku hanya ada hamparan rumput yang tidak berujung.
Bodohnya diriku ini yang langsung merasa lega.
Ketika kembali memutarkan kepalaku ke depan, yang kulihat adalah gerbang desa Gwyndralis. Gerbang tersebut terbuka lebar, namun salah satu gerbangnya terlepas dan gerbang lainnya terkoyak. Tepat di depan gerbang tersebut, berdiri serigala besar bermata merah dengan tanduk yang tajam. Dari rahangnya, terlihat adanya cucuran darah yang berasal dari suatu benda. Kucoba picingkan mataku dan baru terlihat bahwa benda itu adalah potongan tangan yang menjuntai keluar dari sela-sela gigi taring Alpha Wolf.
Badanku langsung menegang. Secara naluriah, tangan kiriku langsung mencoba menjangkau punggungku untuk mengambil busur dan panah. Akan tetapi, tanganku hanya menggapai kehampaan. Busur dan panahku tidak ada disana. Saat aku sudah pulih dari guncangan tidak adanya peralatan andalanku, baru kusadari bahwa tangan kananku memegang sebilah pedang. Namun, pedang tersebut berkarat dan ditutupi lemak dan tanah yang mengering. Sangat jelas pedang ini tidak bisa membunuh makhluk apapun, termasuk Slime.
Saat kualihkan pandanganku dari pedang itu dan kembali menatap Alpha Wolf, monster itu sudah melaju dengan kencang dan seketika jarak antara diriku dengan Alpha Wolf hanya tinggal satu langkah. Makhluk tersebut membuka rahangnya dan memamerkan giginya yang tajam mengarah kepada kepalaku. Sedetik kemudian bau nafas serigala itu menyeruak dan…
CHOMP!
Aku terbangun. Keringat menjalar di seluruh tubuhku bagaikan tetesan air hujan yang mengalir dari atap rumah menuju tanah. Nafasku terengah-engah dan kepalaku berdenyut dengan hebat. Jantungku berdegup kencang hingga hanya suara itulah yang bisa kudengar.
"Itu hanya mimpi…" lirihku tanpa tenaga.
Kuberanikan diri untuk bangkit dari tempat tidurku dan menatap ke jendela. Matahari masih berada cukup tinggi dan hari sangat terik. Berapa lama aku tertidur? Sepertinya hanya hitungan menit. Paling lama hanya satu jam.
Tok.. tok.. tok…
Terdengar irama ketukan dari pintu kabinku.
Dengan penuh upaya, aku melangkah menuju pintu untuk melihat siapa yang datang ke kabin ini. Ketika kubukakan pintu, terlihat pemilik toko berdiri tegak dengan raut muka yang tidak ramah. "oh tidak… aku tidak membawa hasil apa-apa dari perburuanku… pasti dia akan marah" ujarku dalam hati.
Alih-alih pemilik toko tersebut berkata, "Apakah kamu baik-baik saja? Tidak biasanya dirimu tidak datang ke tokoku pada sore hari untuk menyetorkan apa yang kamu peroleh." Raut pria tersebut melembut dan menunjukan ekspresi khawatir yang nyata. "Apakah terjadi sesuatu?"
Aku terhenyuh. Hampir saja aku langsung menceritakan kejadian yang sebenarnya kepada pemilik toko, namun nyatanya yang bisa kukatakan hanyalah "Maaf paman... aku tidak bisa membawakan apa-apa kemarin" sambil menundukan kepala. "Aku kurang beruntung dan badanku pun tidak terasa baik-baik saja. Mungkin aku juga keracunan"
"Yah, penjaga juga mengatakan hal yang sama padaku. Dia melihat dirimu pulang dengan lemas sambil memegang perutmu." Pemilik toko kemudian menyodorkan sesuatu padaku dan berkata, "Minumlah madu ini. Badanmu akan pulih dengan lebih cepat!"
Dengan rasa bersalah karena telah berbohong aku ambil madu itu. "Terima kasih paman. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi."
"Sudahlah ambil saja dan pastikan dirimu segera pulih! Istirahatlah lagi seharian seperti yang kamu lakukan kemarin" jawabnya.
Mendengar jawaban itu aku jadi sedikit penasaran. "Memangnya berapa lama aku istirahat?"
Pria paruh baya itu tertawa kencang "Hahahahaha! Kamu tidur seharian. Jika tidak mengeluarkan suara-suara aneh, pasti kukira dirimu sudah mati."
Tetapi pria itu tiba-tiba memasang muka serius "Oh ya, jika kamu sudah pulih, jangan berburu di hutan. Para Tetua melarang perburuan di hutan karena khawatir populasi Wild Boar menjadi terlalu sedikit..." Pemilik toko berdiam sejenak lalu melanjutkan, "Akan tetapi aku merasa ada hal lain yang menyebabkan keputusan itu. Tetapi, tidak ada gunanya kita meragukan kebijaksanaan para Tetua. Setelah kamu pulih, fokuslah pada berburu Rabbit atau Slime dan cari tanaman obat di sekitar padang rumput."
Tanpa pilihan lain aku hanya bisa mengiyakan ucapan pria itu.
Tidak lama, pemilik toko pamit untuk kembali bekerja, "Jagalah dirimu dan jangan terlalu memaksakan diri. Kamu memang masih muda, tapi bukan berarti kamu tidak bisa sakit atau kelelahan! Jangan malu-malu untuk memanggilku jika kamu butuh bantuan lagi."
"Terima kasih paman. Akan kuingat itu" jawabku sambil melihat pemilik toko berjalan kembali ke arah tokonya.
Grrrrrr...
Suara perutku yang kosong. Tidak heran karena ternyata aku tidur seharian penuh. Aku simpan madu pemberian paman di meja dan aku potong rotiku yang untungnya belum membusuk. Aku oleskan madu dalam jumlah yang besar dan langsung kuserang roti lapis madu itu. Rasanya sangat manis dan menenangkan. Satu gigitan besar diikuti oleh runtutan gigitan lainnya hingga tanpa perlawanan roti itu tidak bersisa.
Dengan perut yang kenyang aku melangkah ke tempat peralatanku. Tanpa pikir panjang aku ambil pedang pendekku yang masih berlumuran darah. Aku langsung mencuci bilahnya kemudian kugesekan dengan segenap tenaga menghadapi batu asahan hingga bersuara keras. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan fatal hanya karena kemalasanku.
Sambil terus mengasah pedang, aku mengumpulkan pikiranku, merefleksikan kembali apa saja yang telah terjadi kemarin. "Besok akan kutemui para Tetua dan mendapatkan jawaban tentang hilangnya para pahlawan."