Di sebuah bangku kecil di taman bermain, seorang laki-laki sedang duduk memegang sebotol beer Dengan diterangi sinar bulan, menghisap sebatang rokok menurutnya akan membuatnya lebih baik. Namun hal tersebut tidak sesuai dengan harapannya. Saat ini merupakan saat tersulitnya, dia bernama Rangga. Seorang Penulis naskah. Dia awalnya bercita-cita menjadi seorang actor, namun karena kurang bakatnya dia beralih menjadi penulis. Seorang penulis yang terkenal, yang namun saat ini istrinya berselingkuh dengan asistennya sendiri. Karyanya yang sejaklama ia curahkan dicuri oleh penulis lain. Saat ini di pukul tiga pagi, entah kenapa dia ingin keluar menenangkan pikirannya. "Jika memang tuhan itu ada, kenapa hal ini bisa terjadi padaku?" "Apakah aku merupakan seorang pembunuh, sampai kau berikan kehidupan seperti ini padaku?" " Apakah aku tidak cukup baik sebagai manusia?" " Ayo jawab Tuhan!??" Rangga meminum beernya lagi kemudian mendesah. Merebahkan tubuhnya, matanya memandang bulan. Ketika rangga melihat bulan, tiba tiba melihat setitik cahaya ungu, semakin lama dia melihatnya semakin besar cahayanya. dengan cepatnya cahaya itu menuju ke arah wajahnya. Rangga terkejut dan tanpa sadar jatuh dari kursi taman.
Membuka matanya dia melihat disebuah ruangan putih tidak ada apapun disana. Kemudian terlintas kenangan-kenangan yang muncul di depannya seperti layar film. Terlihat ada saat dia memenangkan penulis terbaik, ada saat dia menikahi istrinya, ada saat dia menjadi anak-anak yang bermain dengan bahagianya bersama orang tuanya.
Rangga teringat akan kenangan masa lalu saat bersama orang tuanya. Dia merupakan seorang yang keras kepala, selama karirnya jarang memperhatikan kedua orang tuanya. Sampai pada saat kedua orang tuanya sakit dan meninggal barulah ia sadar akan arti sebuah kehilangan.
"Aku akan memberikanmu kesempatan kedua" seru terdengar sebuah suara
Rangga terkejut dengan apa yang dia dengar, suara yang jernih tapi tidak diketahui asal dari suara itu. Tidak lama kemudian matanya kembali silau dengan cahaya putih dan kemudian dia perlahan membuka matanya.
Dilihatnya sebuah langit-langit kamar berwarna putih yang catnya sedikit usang. Dia melihat di sekitar kamar yang sangat familiar. "ini kamarku yang dulu", Bagaimana ya bisa disini, seharusnya rumah ini sudah dijual. Dia pun cepat-cepat berdiri dan melihat ke cermin yang digantung dikamarnya. "Ini sungguhan? Saya kembali". Sebagai seorang penulis dia tentu saja seiring membaca novel novel fantasi yang bertema tentang seseorang yang kembali ke masa lalunya.
Seolah tidak percaya akan hal yang terjadi padanya, dia melihat kedua tangannya yang halus, wajah remaja, rambut pendek, dan mata yang melihat jelas tanpa kacamata. Wajah yang miliki saat dia Masa SMA.
"Plak!!" "Plak!" Rangga menampar kedua pipinya
"Sakit…Ini berarti bukan mimpi, ini semua nyata!", setelah mengkonfirmasi hal tersebut. Dia kemudia melihat pintu dan keluar dengan cepat, kemudian melihat seseorang yang sedang berdiri mencuci piring.
"Ibu"
Seseorang itu menoleh dan mengangkat alisnya melihat rangga. Rangga kemudian berlari ke arahnya dan langsung memeluknya.
"Wah.. kenapa nak? Wanita terkejut dengan pelukan tiba-tiba anaknya
"Apa yang terjadi?"
"Tidak ada, semua baik-baik saja" dengan nada menahan tangis, rangga memeluk ibunya dengan hangat.
Setelah itu mereka duduk bersama, Ibu rangga menyiapkan makanan untuk anaknya.
Rangga dengan lahapnya memakan semua masakan ibunya. Dia sangat rindu masakan ibunya. mengingat saat-saat dia sendiri di apartemen mewahnya namun saat ini merupakan momen seratus kali lebih bahagia. Mereka pun mengobrol dengan riang di meja makan.
Rangga kembali ke kamarnya dan mulai duduk di sebuah kursi. Mengambil sebuah buku harian yang sering dia tulis, dia membaca untuk mengingat lagi kenangan kenangan masa lalunya. Kemudian mengambil sebuah kertas dan mulai menulis hal-hal penting yang akan terjadi di masa depan.
Setelah itu dia kemudian kembali berbaring di tempat tidurnya, " Jadi besok merupakan hari kelulusanku di SMA". Rangga pun tertidur.
Esok paginya, rangga berpakaian sekolah rapi dan mulai membuka pintu kamarnya. Melihat di meja makan sudah ramai dengan orang-orang yang dikenalnya sebagai keluarga. Ayah dan adik perempuannya ikut bergabung dimeja makan selain ada ibunya. Menurut ibunya kemarin ayahnya dan adiknya terlambat pulang karena mereka berkunjung ke luar kota mengunjungi kakeknya.
Ibunya melihat rangga yang keluar dari kamarnya. "Rangga, ayo makan nak"
Rangga mengangguk dan mulai makan bersama dengan keluarganya.
Rangga berangakat menuju sekolah dan menjalani perayaan kelulusannya. Rangga bukan seorang yang menonjol dimasa SMAnya. Rangga juga tidak memiliki banyak teman, bisa dibilang dia merupakan seseorang yang pendiam. Tidak ada seseorang yang bisa disebut sahabat yang dia punya di masa SMA. Sehingga tidak ada hal yang istimewa di masa sekolahnya.
Setelah hari kelulusannya, Rangga memiliki rencana didalam pikirannya. Pertama dia perlu memperbaiki keadaan keluarganya. Impiannya memang menjadi seorang aktor namun tetap saja dia perlu menjalani profesinya tanpa rasa khawatir terhadap keluarganya. Mendapatkan banyak uang merupakan hal utama saat ini. Dia memiliki banyak ingatan mengenai saham-saham, lokasi perumahan, yang harganya akan naik. Tapi dia tidak memiliki uang untuk berinvestasi saat ini. Dia perlu mendapatkan banyak uang terlebih dahulu.
Rangga kemudian mencari kafe internet terdekat dari sekolahnya. Kemudian memesan tempat, rangga mulai menulis cerita. Dengan ide-ide cerita yang dia punya dari kehidupan sebelumnya, dia menulis sebuah cerita. Dia memilih menulis di internet kafe karena keluarganya tidak mampu membelikan sebuah komputer.
Rangga menghabiskan banyak waktu di internet kafe sampai dia menulis sebanyak tiga volume cerita. Karena hari sudah sore, dia memutuskan untuk melanjutkan esok hari. Namun sebelum itu dia berencana mengirim naskah cerita ini ke sebuah perusahaan yang dikenalnya. Dia mengirim naskahnya ke email perusahaan tersebut serta menyertakan nomor handphonenya.
"Sekarang tinggal menunggu hasilnya", sambil merenggangkan punggungnya. Sudah lama dia tidak melakukan pekerjaannya sebagai penulis dikehidupan ini.
Beberapa hari kemudian, di sebuah ruangan seseorang perempuan berusia kurang lebih 30 tahun, sedang duduk meja kerjanya. Mengerutkan kening sambil tangannya memegang pelipisnya. Terlihat suasana hatinya sedang buruk. Banyak naskah cerita yang masuk diperusahaannya namun tidak ada yang sesuai dengan keinginannya.
"Apakah cuma ini naskah yang kita punya?"
Seseorang yang berdiri disebelahnya dengan gugup menjawab "iya Nona Dewi" laki laki itu berkeringat dingin menundukkan kepalanya.
Dewi seorang CEO yang terkenal akan temperamennya yang tegas. Dia tidak segan segan dalam memecat karyawannya.
Dewi memandang staff dengan tatapan menghina.
"Sebuah perusahaan besar 149 entertainment yang menepati 10 besar perusahaan produksi film tidak ada naskah yang masuk? Hanya naskah naskah sampah seperti ini?"
Staff yang berdiri hanya terdiam tidak berani untuk berkata-kata.
"Apakah tidak ada lagi naskah yang masuk ke perusahaan kita?"
"Hemmm.. sebenarnya banyak naskah cerita yang masuk tapi kita menyaringnya dan mengesampingkan naskah dari penulis yang tidak dikenal" jawab staff
"Bawakan semua, kita tidak punya waktu lagi. Walaupun kita harus membaca naskah itu satu persatu kita harus menemukan naskah yang cocok untuk proyek Sang Yu selanjutnya"
"Baik nona" kata staff itu
Dewi memeriksa tumpukan naskah dengan perasaan cemas. Keningnya terus berkerut saat halaman demi halaman dibuka tanpa menemukan sesuatu yang membuatnya tertarik. Namun, ketika matanya menangkap sebuah judul, "Another Star", tangannya terhenti. Rasa penasaran mendorongnya untuk membaca kalimat pertama, lalu halaman berikutnya. Perlahan, ekspresi seriusnya berubah menjadi takjub. Cerita itu, tentang seorang wanita yang jatuh cinta dengan alien abadi yang telah menyaksikan peradaban manusia sejak zaman purba, begitu memikatnya. Tiap paragraf terasa hidup, tiap dialog terasa nyata. Untuk pertama kalinya hari itu, Dewi merasa ia telah menemukan sesuatu yang bisa disebut mahakarya.
Dewi segera membalik halaman terakhir naskah untuk melihat nama penulisnya. "NOAH..." gumamnya pelan, lalu langsung menoleh ke stafnya yang masih berdiri di sisi ruangan.
"Siapa penulis ini? Apa kalian sudah mengeceknya?" tanya Dewi dengan nada tegas, menunjukkan naskah di tangannya.
Staf itu tampak bingung. "Penulis baru, Nona. Sepertinya belum pernah mengirimkan naskah ke kita sebelumnya."
Dewi memijat pelipisnya, mencoba menenangkan kecemasan yang mulai melanda. "Kalian bahkan tidak memeriksa identitasnya dengan benar? Ini potensi besar, paham? Hubungi timmu sekarang juga!"
Staf itu langsung meraih ponselnya, tetapi Dewi tak mau menunggu lebih lama. Ia mengambil telepon kantor di meja dan langsung menelepon bawahannya.
"Ini Dewi. Saya ingin identitas penulis naskah 'Another Star' dicek sekarang juga. Nama penulisnya NOAH. Cari tahu semua yang bisa kalian temukan, dan cepat!" ucapnya tajam sebelum menutup telepon tanpa menunggu jawaban.
Matanya kembali tertuju pada naskah di tangannya. Ada rasa tak sabar sekaligus keraguan, seolah naskah ini terlalu bagus untuk datang dari seorang penulis tak dikenal.
Setelah beberapa jam di luar, Rangga akhirnya pulang ke rumah dengan langkah lelah. Sepanjang perjalanan, pikirannya masih terfokus pada naskah yang baru saja dia kirimkan, namun rasa letih yang menghimpit tubuhnya membuatnya tak kuasa untuk berpikir lebih jauh. Begitu memasuki rumah, ia disambut oleh ayah dan ibunya yang sedang duduk di ruang tamu.
"Rangga, kamu baru pulang? Kamu kelihatan lelah," ujar ibunya dengan nada penuh perhatian.
Rangga mengangguk, tersenyum lemah. "Iya, Ma, aku baru saja selesai di luar. Tapi aku baik-baik saja."
Ia menyapa ayahnya, yang kemudian mengundangnya untuk duduk dan makan bersama. Meja makan sudah terisi dengan hidangan yang sederhana namun terasa hangat. Rangga menikmati setiap suapan, merasakan kenyamanan yang jarang ia rasakan di dunia yang penuh tekanan dan kesibukan. Ia merasa seolah kembali ke masa lalu, ke saat-saat sederhana bersama keluarganya yang penuh kasih.
Setelah makan, ia membantu membersihkan meja dan kemudian bergegas ke kamarnya, kelelahan yang semakin mendorongnya untuk tidur. Ia merebahkan tubuh di kasur, menatap langit-langit kamar yang kini terasa begitu familiar. Dengan napas yang berat, Rangga akhirnya terlelap, membiarkan tubuhnya meresapi ketenangan yang sudah lama hilang.
Tidak dia sadari ponselnya ada nomor yang tidak dikenal terus menghubunginya…
----------------------------------------------------------------------------------------------