Setelah diantar oleh Rohi, Rangga melangkah masuk ke ruangan tempat David dan Dewi sudah menunggu.
"Akhirnya kamu tiba, Rangga. Dengan ini, kita bisa mulai," kata David, menyambutnya dengan nada lega.
"Maaf terlambat," ucap Rangga sambil menundukkan kepala, lalu dengan cepat mengambil tempat di sebelah Dewi.
"Ah... apa yang membuatmu terlambat?" Dewi bertanya heran.
"Tidak ada hal besar, hanya saja aku tersesat saat mencari tempat ini," jawab Rangga dengan suara datar.
"Oh, baiklah," kata Dewi, meski ada rasa curiga yang menggelitik hatinya. Rambut Rangga yang sedikit berantakan seolah menyimpan cerita lain, namun ia memilih untuk mengesampingkan rasa penasarannya untuk sementara.
Audisi pun dimulai. Satu per satu peserta masuk ke ruangan, menampilkan akting mereka di depan dewan juri. Waktu berlalu, dan perlahan Dewi serta David mulai memahami standar penilaian Rangga yang sangat tinggi. Banyak peserta gugur karena tidak memenuhi ekspektasinya.
"Nampaknya kita belum bisa menemukan kandidat yang cocok untuk peran Raka," kata David, terdengar sedikit putus asa.
"Iya, tampaknya begitu. Peran Raka memang sangat penting dalam drama ini. Walaupun bukan pemeran utama, Raka adalah karakter pendamping yang mampu menghidupkan cerita," tambah Dewi.
"Kita lihat saja sampai akhir," Rangga menimpali singkat, tetap dengan ekspresi datarnya.
Tiba giliran peserta berikutnya. Seorang pria masuk ke ruangan dengan langkah percaya diri.
"Halo, perkenalkan nama saya Prazz. Saya ingin berperan sebagai Raka," katanya.
Namun, saat ia melirik ke arah meja juri, raut wajahnya berubah masam. Sesosok yang tampak familiar duduk di sana. "Kenapa pengemis itu ada di sini?" pikir Prazz, kebingungan.
"Baiklah, Prazz. Silakan mulai aktingnya," kata Dewi, ramah.
Namun sebelum Prazz sempat memulai, suara Rangga memotong, tenang tapi penuh dengan nada meremehkan.
"Tunggu dulu. Aku kira kita tidak perlu mencasting orang ini. Menurutku, dia tidak cocok untuk memainkan peran di naskahku."
David dan Dewi langsung menoleh, terkejut dengan sikap angkuh Rangga yang tak biasa.
"Oh? Kenapa kamu bisa berkata seperti itu?" tanya Dewi, mencoba memahami.
Prazz yang mendengar percakapan ini hanya bisa menunduk. Dalam hatinya, ia merasa hancur. "Penulis naskah? Orang itu pengemis naskah dari Another Star? Bagaimana mungkin?!" pikirnya. Seketika ia sadar telah menendang batu besar.
Another Star adalah mahakarya yang diincar banyak aktor. Kini kesempatan untuk ikut dalam proyek ini lenyap karena kesombongannya sendiri. Siapa sangka, ia telah menghina sang penulis naskah secara langsung.
"Aku hanya tidak ingin aktor seperti dia memainkan peran di naskahku," Rangga menegaskan.
"Tapi ini keputusan yang tidak adil. Kita harus tetap mengujinya terlebih dahulu," David menyela dengan nada protes.
"Aku setuju..." kata Dewi, namun langkahnya terhenti ketika seorang staf mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
"Apa!?" Dewi memandang Prazz dengan tatapan penuh amarah. Lalu, dengan tegas ia berkata, "Tuan Prazz, saya pikir Anda tidak perlu melanjutkan audisi ini. Anda tidak layak untuk memainkan peran ini, dan untuk selanjutnya, Anda tidak akan dilibatkan dalam proyek apa pun di 149 Entertainment."
Prazz tak mampu berkata-kata. Ia hanya bisa menunduk, menyadari betapa besar kesalahan yang telah ia perbuat.
Setelah keluar dari ruangan audisi, Prazz berjalan dengan langkah berat. Wajahnya muram, namun dalam dadanya bergemuruh amarah yang sulit dibendung. "Hanya seorang penulis, tapi sombong sekali dia. Apa yang membuat dia merasa bisa merendahkanku seperti ini?" pikirnya dengan penuh kebencian.
Ia berhenti di depan gedung audisi, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Tapi, amarahnya semakin membakar saat ia mengingat wajah Rangga yang dingin dan sikap meremehkannya. Kebencian mulai tumbuh, berakar kuat dalam hatinya.
"Baiklah, Rangga. Kau akan menyesali hari ini. Aku akan menghancurkanmu," gumamnya pelan, tapi penuh tekad.
Ia merogoh saku dan mengeluarkan ponsel. Dengan cepat, ia mencari nama di daftar kontak dan menelepon seseorang.
"Halo, aku butuh bantuanmu," katanya, suaranya terdengar tegas. "Cari tahu segalanya tentang penulis Another Star. Aku ingin tahu semua, dari karier hingga kehidupan pribadinya."
"Aku tidak peduli soal uang. Beri aku informasi secepatnya. Aku akan membayarmu lebih dari cukup," jawabnya, penuh desakan.
Setelah menutup telepon, Prazz berdiri diam sejenak, pandangannya menerawang. Kebencian dalam dirinya kini berubah menjadi sebuah rencana. Ia tahu ini bukan sekadar pembalasan, tapi juga cara untuk mengembalikan harga dirinya yang menurutnya telah diinjak-injak.
"Kita lihat, Rangga. Kau mungkin hebat di atas kertas, tapi aku akan menunjukkan kalau dunia nyata jauh lebih kejam," katanya sambil tersenyum tipis, menyiratkan niat yang tak bersahabat.
Di dalam ruangan kantor, Dewi menjelaskan kepada David tentang apa yang baru saja terjadi antara Rangga dan Prazz. Dewi mengungkapkan bagaimana Prazz, dengan sikap sombongnya, menghina dan memancing emosi Rangga di depan banyak orang. Namun, Rangga memilih untuk tetap tenang demi menjaga profesionalisme dan nama baik proyek mereka. Mendengar hal itu, David sepenuhnya mendukung sikap Rangga. Ia bahkan menyatakan ketidaksukaannya terhadap Prazz, menegaskan bahwa proyek Another Star jauh lebih penting daripada mempertahankan seorang aktor bermasalah.
David mempersilakan Adrian untuk mulai berakting. Adrian, seorang pria muda dengan wajah penuh semangat, berdiri di tengah ruangan. Dengan sopan, ia mengangguk kepada Dewi, David, dan Rangga sebelum mulai mempersiapkan diri.
David membuka naskah dan memberikan instruksi.
"Coba kamu peragakan adegan 17," katanya.
Adrian menerima naskah itu dengan anggukan dan senyuman kecil. Dia memejamkan mata sejenak, menarik napas panjang, lalu membiarkan dirinya masuk ke dalam karakter Raka.
Adrian menggerakkan tubuhnya seolah mencari sesuatu, lalu terkejut ketika melihat Ibunya, yang tergeletak di depan matanya. Ia terjatuh ke lutut, kedua tangannya gemetar saat menyentuh tubuh imajiner Ibu Raka yang berlumuran darah.
"Ibu! Jangan tinggalkan aku!" serunya dengan suara serak dan penuh emosi.
Ekspresi wajah Adrian berubah total. Matanya membelalak, kemudian perlahan memerah, menunjukkan rasa ngeri dan kehilangan mendalam. Bibirnya gemetar saat ia mencoba berbicara, tetapi suaranya pecah, menunjukkan bahwa karakternya sedang berjuang melawan air mata.
Ia menunduk, meletakkan kedua tangannya di dada Ibu Raka seolah mencoba menghentikan pendarahan. Dengan suara lirih, penuh kepedihan, ia berbisik,
"Ibu, Kau tidak boleh pergi, Ibu! Kumohon... Bangunlah... Aku tidak bisa tanpamu..."
Adrian mengangkat kepalanya ke atas, menatap ke arah imajiner langit-langit, matanya dipenuhi air mata yang seakan siap tumpah. Napasnya berat, dan bahunya bergetar seiring tangis tertahan yang perlahan berubah menjadi isakan keras.
Dia lalu menggenggam tangan Ibunya dengan kuat, mendekatkannya ke dadanya, seperti mencoba merasakan detak kehidupan yang sudah tidak ada. Tubuhnya membungkuk, hampir menutupi Ibu Raka sepenuhnya, menunjukkan bahwa Raka telah tenggelam dalam duka yang mendalam.
Setelah beberapa detik yang terasa sunyi, Adrian perlahan bangkit dengan ekspresi nanar, seperti telah kehilangan sebagian dari jiwanya. Dia menatap ke depan, memberikan tatapan penuh luka kepada orang-orang yang seharusnya membantu Ibunya.
"Kenapa kalian tidak melakukan apa-apa...? Kenapa?! Dia... Dia butuh kita!" serunya, dengan nada suara yang semakin tinggi.
Rangga, yang sejak awal menonton dengan tangan terlipat, mengangguk kecil.
"Tidak buruk," katanya datar, tetapi senyuman tipis di sudut bibirnya menunjukkan bahwa ia sebenarnya cukup terkesan.
David dan Dewi saling bertukar pandang. Dewi, yang awalnya terlihat skeptis, kini mengangguk pelan seolah mengakui kualitas Adrian. David tersenyum kecil, kemudian mencatat sesuatu di buku catatannya.
Adrian, yang menyadari bahwa ia mendapat respons positif, membungkuk sopan dengan wajah lega. Meskipun tidak ada pujian langsung, kalimat pendek dari Rangga adalah validasi besar bagi seorang aktor pemula seperti dia.