Chereads / KeMasa Lalu Hanya Sebagai Aktor / Chapter 2 - Keluarga

Chapter 2 - Keluarga

Pagi itu, Rangga terbangun oleh dering ponsel yang tak henti-hentinya berbunyi. Dengan setengah mengantuk, ia meraih ponselnya dan melihat sederet panggilan tak terjawab dari nomor yang tidak dikenal. Ada juga pesan singkat yang membuat matanya langsung terbuka lebar: "Halo, saya Dewi dari 149 Entertainment. Kami sangat tertarik dengan naskah Anda, 'Another Star.' Bisakah kita bertemu hari ini? Ini sangat penting." Setelah memastikan bahwa ini bukan mimpi, Rangga segera membalas pesan itu dan mengatur pertemuan di sebuah kafe yang cukup nyaman di pusat kota. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai kemungkinan, tapi ia tetap berusaha menjaga sikap tenang. Di kafe itu, Dewi sudah menunggu. Begitu melihat Rangga melangkah mendekat, matanya langsung terpaku. "Ini benar-benar Noah?" pikirnya. Di hadapannya berdiri seorang pria muda, jauh lebih muda dari bayangannya. Dengan ragu, Dewi berdiri dan mengulurkan tangan. "Anda... Noah, penulis 'Another Star'?" tanyanya, masih mencoba memproses apa yang dilihatnya. Rangga tersenyum kecil, merasa sedikit canggung. "Ya, saya Noah. Terima kasih telah menghubungi saya." Mereka pun duduk, dan pertemuan itu dimulai. Dewi, yang awalnya yakin bahwa "Noah" adalah nama pena dari seorang penulis terkenal yang sedang menyamar, mulai merasa skeptis. "Saya tidak menyangka bahwa penulis sehebat Anda... sejujurnya, terlihat sangat muda," ungkap Dewi, mencoba menyelidik. Rangga tersenyum santai. "Saya memang adalah Noah." Keraguan Dewi perlahan memudar ketika mereka mulai membahas cerita "Another Star." Cara Rangga menjelaskan ide-ide ceritanya, detail tentang karakter, hingga pembangunan dunia dalam novelnya menunjukkan kedalaman dan bakat yang tidak biasa. Dalam hati, Dewi mulai berpikir bahwa mungkin dia telah menemukan penulis yang benar-benar istimewa, meski wajahnya sulit dipercaya.

Dewi menatap Rangga dengan penuh percaya diri, lalu mengeluarkan berkas kontrak dari tasnya. Di atas meja, ia membukanya dengan gerakan tegas, menunjukkan pasal-pasal dan angka yang mencengangkan. "Kami menawarkan kontrak eksklusif sebesar 1 juta Zenny untuk hak penuh atas naskah Anda, 'Another Star,'" ujar Dewi dengan nada profesional. "Kontrak ini termasuk royalti tambahan jika cerita ini diadaptasi menjadi film atau drama." Rangga mengamati dokumen itu dengan tenang, tanpa menunjukkan sedikit pun antusiasme. Ia menatap Dewi, membuat wanita itu sedikit bingung dengan reaksinya yang begitu datar. "Maaf, tapi saya tidak bisa menerima kontrak eksklusif," jawab Rangga, suaranya tegas namun santai. Dewi tertegun, merasa heran. "Kenapa? Bukankah ini tawaran yang sangat menguntungkan? Anda hanya perlu fokus menulis, dan semua keuntungan dari karya ini akan terjamin. Apa yang membuat Anda menolak?" Rangga tersenyum tipis, lalu menatap ke arah jendela kafe. "Saya punya tujuan lain, Nona Dewi. Saya menulis bukan untuk menjadi penulis, bagi saya menulis hanya hobi saja. Jadi, saya lebih nyaman dengan kontrak yang lebih fleksibel." Jawaban itu membuat Dewi semakin penasaran. Ada sesuatu yang misterius dari pemuda ini. Bagaimana mungkin seseorang menolak 1 juta Zenny—jumlah yang setara dengan 100 juta Rupiah? Ia berusaha membaca ekspresi Rangga, namun pemuda itu tetap tenang dan sulit ditebak. "Baiklah, kalau begitu, apa yang Anda inginkan?" tanya Dewi, mencoba menahan rasa frustrasinya. "Saya ingin kontrak independen," jawab Dewi memandang Rangga dengan mata penuh pertimbangan. Penawaran ini jauh lebih sederhana, tapi ada sesuatu dalam nada suaranya yang menunjukkan bahwa ia serius. Akhirnya, setelah beberapa saat berpikir, Dewi mengangguk. "Baik. Saya akan menyusun ulang kontraknya sesuai keinginan Anda , setiap episode akan dihargai 200 ribu Zenny. Tapi saya harap Anda bisa memenuhi ekspektasi kami dengan naskah yang luar biasa." Rangga tersenyum tipis. "Tentu saja." Dewi menutup berkasnya, masih merasa bingung dengan pemuda di depannya. Ada sesuatu yang ia tidak pahami tentang Rangga.

Setelah tanda tangan kontrak selesai, Dewi langsung memanggil salah satu staff kepercayaannya. "Kirimkan dana awal untuk naskah 'Another Star' sekarang juga. Pastikan selesai dalam lima menit," ujarnya tegas.

Staff itu mengangguk cepat, lalu bergegas menuju meja kerjanya di sudut ruangan kafe. Tak lama kemudian, ponsel Rangga bergetar, menampilkan notifikasi: "Dana 200 ribu Zenny telah masuk ke rekening Anda."

Rangga melirik layar ponselnya sejenak, lalu tersenyum tipis. "Terima kasih atas kepercayaan Anda, Nona Dewi," ucapnya sambil berdiri. Ia membenahi ranselnya yang sederhana dan merapikan jaketnya.

Dewi menatap Rangga, masih dengan rasa penasaran yang bercampur kagum. "Terima kasih kembali, Noah. Saya menunggu episode berikutnya secepat mungkin," katanya, meskipun sebenarnya ia berharap bisa mengenal pemuda ini lebih jauh.

Rangga mengangguk sopan. "Tentu. Saya akan segera mengirimkan episode baru," jawabnya. Setelah itu, ia melangkah keluar dari kafe, meninggalkan Dewi yang duduk termenung.

Di luar, Rangga memandang layar ponselnya sekali lagi, memastikan saldo rekeningnya bertambah. Senyum kecil kembali terukir di wajahnya. Dalam pikirannya, langkah pertama menuju rencana besar sudah dimulai. "Satu langkah kecil untuk mencapai tujuan"

Setelah selesai membeli laptop dan beberapa barang untuk keluarganya, Rangga pulang dengan membawa beberapa kantong belanjaan. Saat tiba di rumah, ia disambut oleh adiknya yang berlari kecil dengan gembira. "Mas Rangga bawa apa saja?" tanya adiknya penuh antusias. Rangga tersenyum hangat sambil menyerahkan mainan sederhana yang baru dibelinya.

Ibunya keluar dari dapur dengan ekspresi bingung. "Kamu beli apa, Nak? Kok banyak sekali?" tanyanya. Rangga hanya menjawab singkat, "Ini untuk kebutuhan kita, Bu."

Setelah selesai membagikan barang-barang yang dibelinya untuk ayah, ibu, dan adiknya, Rangga berniat menceritakan kabar baik tentang naskahnya yang diterima oleh Dewi. Namun, sebelum sempat memulai ceritanya, ayahnya memanggil.

"Rangga, sini sebentar," panggil ayahnya dengan suara rendah tapi serius.

Rangga mengikuti ayahnya keluar rumah. Mereka duduk di bangku kayu tua yang berada di teras depan rumah. Angin malam berhembus lembut, membawa keheningan yang terasa begitu berat.

Ayahnya menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Nak, kamu sekarang sudah lulus SMA. Ayah tahu, sebagai orang tua, seharusnya aku bisa menyekolahkanmu ke jenjang yang lebih tinggi. Tapi keadaan kita tidak memungkinkan."

Rangga hanya diam, menatap lurus ke depan. Ia tahu topik ini akan muncul cepat atau lambat, tetapi mendengar nada penuh rasa bersalah dari ayahnya membuat hatinya terasa sakit. Jika ini terjadi di kehidupan sebelumnya dia pasti sudah marah dan membentak ayahnya. Tapi berkat pengalamannya dikehidupan sebelumnya dia tahu bagaimana ayahnya yang berjuang keras demi Rangga sampai saat dia menemukan buku tabungan ayahnya yang berisi catatan tentang ketidakmampuan ayahnya untuk menyekolahkannya sehingga ayahnya berniat untuk menabung dan memberikan padanya untuk modal bisnis rangga dimasa depan. Hal ini lah penyebab ayahnya sakit akibat terlalu bekerja keras, sampai-sampai ayahnya mengambil sampai tiga pekerjaan sampingan demi keluarganya. Tapi itu tidak akan terjadi dikehidupan rangga saat ini. Kali ini aka berbeda, dia yang akan melindungi keluarganya.

"Ayah minta maaf, Rangga. Kalau saja keadaan kita lebih baik, Ayah pasti ingin melihatmu jadi seseorang yang sukses, punya gelar, dan pekerjaan bagus," lanjut ayahnya dengan suara sedikit bergetar.

Rangga menunduk sejenak, menggenggam tangan ayahnya yang kasar dan penuh bekas kerja keras. "Ayah, tidak perlu minta maaf. Saya tahu Ayah sudah melakukan yang terbaik untuk keluarga kita. Jangan terlalu memikirkannya. Saya akan mencari cara untuk mengurangi membebani Ayah," ucap Rangga dengan suara mantap.

Ayahnya menatap Rangga dengan mata berkaca-kaca dan menunduk diam. Masih terlihat rasa penyesalan dalam raut wajahnya.

Rangga tersenyum tipis. "Ayah, percayalah. Saya sudah mulai menemukan jalan saya. Saya akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Ayah, Ibu, dan adik saya. Kita akan melewati semua ini bersama-sama."

Percakapan itu berakhir dengan keheningan penuh pengertian. Meskipun kata-kata Rangga menguatkan hati ayahnya, di dalam dirinya, ia menyimpan tekad besar untuk membuktikan bahwa ia bisa meraih impiannya, tanpa membuat keluarganya merasa bersalah. Malam itu, Rangga kembali ke kamarnya dengan hati penuh semangat untuk memulai langkah kecil menuju masa depannya.