Langit di atas mereka berubah muram, dihiasi awan gelap yang menggumpal seperti tinta hitam yang tumpah. Hembusan angin membawa aroma hujan dan debu, menciptakan suasana yang mencekam. Reyna dan Lian berjalan tanpa henti, mengikuti jejak samar yang mengarah ke lembah tersembunyi.
"Reyna," kata Lian tiba-tiba, memecah keheningan. "Apa yang sebenarnya kau lihat di sana? Di dalam Kristal Bintang?"
Reyna terdiam sejenak, tatapannya kosong seolah mencoba mencari kata yang tepat. "Aku melihat... masa lalu dan masa depan. Tapi semuanya masih kabur. Aku hanya tahu satu hal pasti: kita harus terus maju."
Lian mengangguk, tetapi ekspresinya tetap serius. Dia menyadari bahwa perjalanan ini membawa mereka lebih dalam ke wilayah yang tidak diketahui, di mana setiap langkah bisa menjadi perangkap.
Mereka tiba di sebuah tebing yang curam, dengan jurang yang dalam menganga di depan mereka. Di seberang jurang, sebuah jembatan tua bergantung dengan tali yang terlihat rapuh. Di balik jembatan, sebuah pintu batu besar berdiri kokoh, dihiasi ukiran naga yang memancarkan aura kuno.
"Itu dia," bisik Reyna. "Pintu Takdir."
Lian menghela napas panjang. "Dan kita harus melewati jembatan itu. Tentu saja."
Mereka melangkah mendekat. Saat Reyna menginjak papan pertama, suara kayu berderak mengisi udara. Dia berhenti, menahan napas.
"Kau yakin ini aman?" tanya Lian, jelas tidak nyaman dengan situasinya.
"Tidak," jawab Reyna singkat, sebelum melangkah lebih jauh.
Setiap langkah terasa seperti ujian keberanian. Angin bertiup kencang, menggoyang jembatan dengan liar. Reyna menggenggam tali dengan erat, sementara Lian, yang lebih besar dan berat, bergerak dengan hati-hati di belakangnya.
Namun, di tengah perjalanan, suara gemuruh terdengar dari bawah jurang. Lian berhenti sejenak, matanya menyipit, mencoba melihat apa yang terjadi.
"Reyna, cepat! Sesuatu mendekat!" serunya.
Reyna menoleh, melihat bayangan besar yang muncul dari kedalaman. Seekor makhluk gelap dengan sayap besar melesat ke udara, matanya bersinar merah seperti bara api.
"Makhluk kegelapan!" Lian menghunus pedangnya, bersiap melindungi Reyna.
Makhluk itu mengeluarkan raungan memekakkan telinga, lalu menyelam ke arah mereka. Reyna dan Lian melompat mundur, kayu jembatan berderak keras di bawah kaki mereka.
"Lian, kita tidak punya waktu!" Reyna berteriak, mencoba berlari lebih cepat.
Makhluk itu menyerang, cakarnya menghantam tali jembatan, membuat struktur rapuh itu hampir runtuh. Reyna berhasil mencapai ujung jembatan, tetapi Lian terjebak di tengah.
"Lian!" Reyna berteriak, tangannya terulur.
"Terus maju!" balas Lian, melawan makhluk itu dengan ayunan pedangnya. Percikan cahaya biru keluar setiap kali pedang bertemu dengan tubuh makhluk itu.
Reyna merasa hatinya tersayat, tetapi dia tahu Lian benar. Dengan berat hati, dia berlari menuju pintu batu. Saat dia mendekat, pintu itu mulai bersinar, seolah merespons kehadirannya.
"Reyna!" suara Lian terdengar di belakangnya, diikuti oleh raungan makhluk kegelapan.
Reyna menoleh, melihat Lian terlempar ke tanah, sementara makhluk itu bersiap menyerang lagi. Tanpa berpikir panjang, Reyna mengangkat tangannya, dan simbol di dadanya mulai bersinar terang.
Cahaya putih yang kuat meledak dari tubuhnya, menyelimuti area sekitar. Makhluk itu melenguh kesakitan dan terbang mundur, menghilang ke dalam kegelapan jurang.
Lian bangkit perlahan, wajahnya penuh keheranan. "Reyna... apa yang baru saja kau lakukan?"
"Aku tidak tahu," jawab Reyna, suaranya gemetar. "Tapi aku tahu ini hanya permulaan."
Pintu batu di depan mereka terbuka dengan sendirinya, mengungkapkan koridor gelap yang memancarkan aura misterius.
"Kita harus masuk," kata Reyna. "Ini adalah jalan menuju takdir kita."
Lian mengangguk, mengikuti Reyna masuk ke dalam kegelapan, dengan hanya cahaya kecil dari simbol di dada Reyna yang menerangi jalan mereka.
Langkah Reyna bergema di sepanjang lorong batu yang lembap. Dinding-dindingnya dipenuhi ukiran naga dan simbol-simbol kuno yang bersinar lembut. Cahaya dari simbol di dadanya menjadi satu-satunya penerang dalam kegelapan ini. Di belakangnya, Lian mengikuti dengan cermat, tatapannya penuh kewaspadaan.
"Tempat ini..." Reyna bergumam sambil menelusuri ukiran di dinding dengan ujung jarinya. "Seperti... berbicara kepadaku."
"Berbicara?" tanya Lian, skeptis.
"Ya," jawab Reyna. "Seolah-olah mereka memberitahuku sesuatu. Seperti kisah yang belum selesai."
Lian hanya mengangguk. Dia tidak merasakan apa pun selain aura dingin yang menusuk. Namun, dia tidak ingin mengganggu Reyna. Jika ada satu hal yang dia pelajari selama perjalanan ini, itu adalah mempercayai insting gadis itu.
Mereka melanjutkan perjalanan hingga lorong terbuka ke sebuah ruangan besar. Pilar-pilar menjulang tinggi menopang langit-langit yang hampir tak terlihat, dan di tengah ruangan, sebuah kolam kecil berisi air yang berkilauan seperti bintang malam.
Reyna melangkah mendekati kolam itu, terpikat oleh keindahannya. "Lian, lihat ini..."
Namun, sebelum dia bisa menyentuh airnya, suara berat menggema di seluruh ruangan.
"Siapa yang berani menginjakkan kaki di tanah para naga?"
Reyna dan Lian serempak memutar tubuh. Dari bayang-bayang pilar, sesosok makhluk muncul. Seekor naga besar dengan sisik berwarna perak, matanya memancarkan sinar yang menembus jiwa.
"R-Reyna," Lian berbisik, tangannya refleks mencengkeram gagang pedangnya. "Apa kita sebaiknya mundur?"
Reyna menelan ludah. Ketakutannya nyata, tapi ada sesuatu yang lain dalam dirinya, sesuatu yang memaksanya untuk berdiri teguh.
"Kami tidak datang untuk bertarung," kata Reyna dengan suara gemetar tetapi tegas. "Kami hanya mencari jawaban."
Naga itu mendekat, setiap langkahnya membuat lantai bergetar. "Jawaban? Banyak yang datang mencari jawaban, tapi mereka tidak pernah siap untuk mendengar kebenaran."
"Aku siap," kata Reyna, meskipun hatinya berdebar kencang.
Naga itu mendekatkan wajahnya ke Reyna, napasnya yang hangat mengalir seperti badai. "Kebenaran bukanlah sesuatu yang mudah diterima, anak manusia. Bahkan mereka yang memiliki cahaya di dalam hati mereka sering kali tidak siap."
Cahaya di dada Reyna berdenyut, seolah merespons kehadiran naga tersebut.
"Lalu uji aku," kata Reyna. "Jika aku gagal, aku akan pergi. Tapi jika aku berhasil... aku ingin tahu kenapa aku dipilih."
Mata naga itu menyipit, dan setelah beberapa detik hening, dia mengangguk. "Baiklah. Ujian pertama adalah keberanian. Untuk melangkah ke dalam kegelapan tanpa tahu apa yang menunggu di sana."
"Sudah kami lakukan," sela Lian dengan nada tajam. "Kami meninggalkan segalanya dan menghadapi hal-hal yang tidak dapat dibayangkan."
Naga itu menoleh ke arah Lian, dan kilatan marah terlihat di matanya. "Keberanian bukan sekadar tindakan, manusia sombong. Keberanian adalah pilihan untuk tetap melangkah meskipun hati dipenuhi keraguan."
Lian terdiam, tetapi Reyna melangkah maju. "Aku mengerti," katanya. "Apa yang harus aku lakukan?"
Naga itu membuka sayapnya, menciptakan angin kencang yang hampir membuat mereka terjatuh. "Masuklah ke dalam kolam. Jika keberanianmu cukup besar, kau akan menemukan kebenaran di dalamnya. Jika tidak... kau akan hilang selamanya."
Reyna menatap kolam itu. Airnya yang berkilauan sekarang tampak seperti pusaran tanpa dasar. Dia merasakan ketakutan menjalari tubuhnya, tetapi dia mengingat semua yang telah dia lalui, semua yang dia perjuangkan.
"Aku akan melakukannya," katanya akhirnya, melangkah ke tepi kolam.
"Reyna, tunggu!" Lian mencoba menahannya. "Ini bisa jadi jebakan!"
"Tidak," Reyna memotongnya. "Aku harus melakukannya, Lian. Untuk kita. Untuk semua yang telah kita korbankan."
Sebelum Lian bisa berkata lagi, Reyna melangkah masuk ke dalam air. Pusaran itu segera menariknya ke dalam, dan dalam sekejap, dia menghilang.
Lian berteriak memanggilnya, tetapi naga itu menghalangi jalannya. "Dia harus melewati ini sendiri."
Reyna merasa tubuhnya melayang di dalam kegelapan yang dingin. Air kolam yang tadinya berkilauan kini terasa seperti kabut yang pekat, menghapus semua inderanya kecuali denyut cahaya di dadanya. Dia tidak tahu apakah dia sedang tenggelam atau terbang.
Di kejauhan, sebuah suara berbisik. "Beranikan dirimu, Reyna..."
"Siapa itu?" Reyna memanggil, tapi suaranya terdengar lemah, seolah tenggelam dalam kehampaan.
Tiba-tiba, cahaya kecil muncul di kejauhan, berkedip seperti bintang di malam hari. Reyna merasakan dorongan kuat untuk menggapainya. Dengan tekad yang muncul entah dari mana, dia mulai melangkah, meskipun tanah di bawahnya seperti tidak ada.
Namun, setiap langkah yang dia ambil diikuti oleh bayangan dari masa lalunya. Suara-suara familiar memenuhi udara: tangisan ibunya, tawa adiknya, dan jeritan dari desa yang terbakar.
"Kenapa kau kembali ke sini?" suara lain, lebih dalam, terdengar. "Bukankah kau sudah cukup menderita?"
Reyna berhenti, tubuhnya gemetar. "Aku... Aku tidak ingin kembali. Aku ingin maju."
Bayangan itu membentuk sosok manusia, wajahnya buram tetapi matanya bersinar dengan kebencian. "Maju? Kau bahkan tidak bisa menyelamatkan mereka yang mencintaimu. Apa yang membuatmu berpikir kau bisa menyelamatkan dunia?"
Perasaan ragu mulai merayap ke dalam hatinya, tetapi kemudian cahaya di dadanya berdenyut lebih terang, memberikan kehangatan yang menenangkan.
"Tidak," kata Reyna, suaranya tegas. "Aku mungkin gagal di masa lalu, tetapi itu tidak berarti aku akan menyerah sekarang."
Sosok bayangan itu menghilang, dan langkah Reyna menjadi lebih ringan. Cahaya kecil di depan semakin besar, seperti pintu menuju dunia lain.
Ketika dia mendekatinya, sosok naga perak yang dilihatnya sebelumnya muncul, tetapi kali ini dalam bentuk transparan, seperti bayangan.
"Keberanian bukan hanya melawan ketakutan," kata naga itu. "Tapi juga menerima dirimu sendiri, baik kekuatan maupun kelemahanmu."
"Aku menerimanya," jawab Reyna, meskipun air matanya mengalir. "Aku tidak sempurna, tetapi aku akan terus berjuang."
Naga itu mengangguk, dan cahaya di dadanya menyala sangat terang, menelan seluruh kegelapan.
Di dunia nyata, Lian masih berdiri di depan kolam, menatap permukaannya yang tenang. "Reyna..." gumamnya dengan cemas.
Tiba-tiba, air kolam itu memancarkan cahaya yang menyilaukan, memaksa Lian untuk menutup matanya. Ketika dia membuka matanya lagi, Reyna muncul dari dalam kolam, tubuhnya bersinar seperti bintang.
"Apa yang terjadi?" tanya Lian dengan kagum.
Reyna menatapnya, senyum kecil terukir di wajahnya. "Aku menemukan keberanianku."
Namun, sebelum mereka sempat beristirahat, dinding gua mulai bergetar, dan suara gemuruh terdengar dari kejauhan. Naga perak itu muncul kembali, kali ini dengan wujud yang nyata, matanya bersinar tajam.
"Ujianmu belum selesai, anak manusia," katanya. "Keberanianmu adalah awal. Sekarang, hadapi kebenaran."