Dalam diam yang menguasai malam, Reyna dan Lian melangkah ke dalam hutan yang lebat, tempat pepohonan menjulang tinggi seperti penjaga tua yang diam. Udara dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk, memberi nuansa mistis yang mencekam. Hutan ini disebut Hutan Kekekalan, tempat di mana waktu dikatakan berhenti dan jiwa-jiwa yang tersesat tidak pernah kembali.
"Kau yakin jalan ini benar?" Lian bertanya dengan nada hati-hati, matanya menyapu kegelapan yang menyembunyikan bahaya.
"Ini satu-satunya petunjuk yang diberikan oleh naga itu," jawab Reyna, memegang erat liontin yang bersinar lembut di tangannya. "Jika kita ingin membuka pintu ke dunia mereka, kita harus menemukan Mata Kekekalan."
Lian menghela napas, menyesuaikan pegangannya pada pedang peraknya. "Semoga kita tidak menjadi legenda berikutnya yang tersesat di sini."
Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di sebuah sungai kecil yang memotong hutan. Airnya tampak jernih, namun permukaannya memantulkan gambaran yang aneh—bukan sekadar bayangan mereka, tetapi sosok-sosok yang tampak seperti versi lain dari diri mereka.
"Itu aku… tapi berbeda," gumam Reyna, menatap pantulan yang menunjukkan dirinya mengenakan baju zirah berwarna keemasan, dengan mata penuh keyakinan.
"Ini adalah salah satu ilusi Hutan Kekekalan," kata Lian, menariknya mundur. "Kau tidak bisa terlalu lama menatapnya, atau kau akan terjebak dalam gambaran yang ingin kau percayai."
Namun, sebelum mereka dapat melangkah pergi, sosok dalam air itu berbicara. "Kau mencari Mata Kekekalan, Reyna. Namun, apakah kau siap membayar harga yang harus kau bayar?"
Reyna tertegun. "Harga apa?"
"Pengorbanan hati," jawab pantulan itu.
Pertemuan dengan Penjaga
Saat mereka melanjutkan perjalanan, suara gemerisik terdengar di antara pepohonan. Dari balik bayang-bayang, muncul sosok makhluk berwujud setengah manusia setengah burung, dengan bulu hitam legam dan mata merah menyala.
"Aku adalah Penjaga Kekekalan," suara makhluk itu menggema. "Hanya mereka yang berhati murni yang dapat melangkah lebih jauh."
Reyna berdiri tegap, menatap makhluk itu tanpa gentar. "Kami tidak mencari keabadian. Kami hanya mencari jalan untuk menghentikan kehancuran dunia kami."
Penjaga itu mengangguk perlahan. "Keabadian bukanlah hadiah, tetapi beban. Untuk melangkah lebih jauh, kau harus menunjukkan bahwa hatimu layak."
Seketika, makhluk itu menyerang. Gerakannya cepat, seperti kilat yang memotong udara. Reyna menghindar, sementara Lian mengayunkan pedangnya untuk menahan serangan itu. Namun, setiap kali mereka mencoba menyerang balik, Penjaga itu menghilang dalam kabut hitam.
"Reyna!" seru Lian, terdesak. "Ini bukan tentang kekuatan. Kau harus membuktikan sesuatu padanya!"
Reyna mengingat perkataan sang naga dan pantulan di sungai. Dia memejamkan mata, membiarkan hatinya terbuka. Dalam pikirannya, dia memikirkan keluarganya, desanya, dan semua yang dia cintai.
"Aku tidak mencari kekuasaan," katanya dengan suara mantap. "Aku hanya ingin menyelamatkan dunia ini, untuk orang-orang yang kuperjuangkan."
Kabut hitam berhenti. Penjaga itu berdiri diam, menatapnya dengan pandangan yang tajam. "Kau telah lulus ujian pertama. Namun, perjalananmu baru dimulai."
Kuil Mata Kekekalan
Setelah melewati ujian, mereka tiba di sebuah kuil kuno yang tersembunyi di dalam hutan. Pilar-pilar batu besar menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga yang tampak hidup. Di tengah ruangan, sebuah bola kristal bersinar, dikelilingi oleh lingkaran simbol kuno.
"Inilah Mata Kekekalan," kata Lian dengan kagum. "Tapi bagaimana cara menggunakannya?"
Reyna mendekat, merasakan energi yang memancar dari bola itu. Tiba-tiba, suara sang naga bergema di pikirannya.
"Kau harus mengungkapkan kebenaran terdalam dari hatimu. Mata Kekekalan hanya akan merespons kejujuran yang tulus."
Reyna menutup mata, membiarkan pikirannya terbuka. Dia mengingat semua perjuangan yang telah dia lalui, rasa takut, harapan, dan cinta yang mendorongnya untuk melangkah sejauh ini.
"Aku ingin melindungi dunia ini," katanya dengan tegas. "Tidak peduli seberapa besar harga yang harus kubayar."
Bola kristal mulai bersinar lebih terang, memancarkan cahaya yang memenuhi ruangan. Namun, bersamaan dengan itu, bayangan besar muncul dari lingkaran simbol—sosok gelap yang menyerupai naga, tetapi dengan mata yang dipenuhi kebencian.
"Ini adalah ujian terakhir," kata Lian dengan tegang, mengangkat pedangnya.
Reyna menggenggam liontinnya erat-erat. "Bersiaplah, Lian. Kita tidak boleh kalah."
Cahaya dari Mata Kekekalan perlahan memudar, menyisakan bayangan gelap berbentuk naga yang kini menguasai ruangan. Sosok itu mengeluarkan raungan memekakkan telinga, getarannya membuat lantai kuil bergetar hebat. Reyna dan Lian bersiaga, menyadari bahwa mereka berada di tengah ujian paling berbahaya yang pernah mereka hadapi.
"Naga itu... apakah ini representasi kegelapan dalam hatimu?" Lian bertanya, pandangannya tidak lepas dari makhluk besar itu.
Reyna menggenggam liontinnya erat-erat. "Aku tidak tahu, tapi jika ini ujian, maka kita harus melewatinya. Apa pun yang terjadi."
Bayangan naga itu tidak menyerang secara langsung. Sebaliknya, ia mulai berbicara dengan suara yang menggema, penuh kemarahan dan tipu daya.
"Kau percaya bisa mengubah takdir dunia dengan cinta?" suaranya mencemooh. "Cinta adalah kelemahan. Dunia ini dibangun di atas kekuatan dan kehancuran, bukan kasih sayang yang rapuh."
Reyna melangkah maju, mencoba menguasai rasa takutnya. "Cinta adalah alasan kita berjuang! Jika kekuatanmu hanya menghancurkan, maka kau tidak akan pernah mengerti nilai sebenarnya dari kehidupan."
Bayangan naga itu tertawa keras, getarannya memecahkan beberapa pilar di sekeliling mereka. "Buktikan ucapanmu, manusia lemah. Tunjukkan apakah hatimu benar-benar sekuat itu!"
Pertarungan Melawan Bayangan
Naga bayangan itu menyerang dengan kekuatan dahsyat. Sebuah semburan energi gelap menghantam lantai, hampir membuat Reyna dan Lian terpental. Lian dengan cepat mengangkat pedangnya, memantulkan sebagian besar serangan, tetapi dampaknya tetap mengguncang mereka.
"Lian, kita tidak bisa melawan ini dengan kekuatan saja!" teriak Reyna, mencari cara untuk melawan makhluk itu.
"Tapi bagaimana caranya? Serangannya terlalu cepat!" balas Lian, menahan semburan lain dengan tubuhnya.
Reyna menyadari bahwa ini bukan hanya tentang kekuatan fisik. Dia mengingat apa yang dikatakan oleh sang naga sebelumnya, bahwa hanya kejujuran dan keberanian hatinya yang dapat membuka jalan.
Dia menutup mata, memusatkan pikirannya pada perasaan terdalamnya. Bayangan keluarganya, desanya, dan semua orang yang dia cintai muncul dalam benaknya.
"Ini bukan tentang aku," katanya pelan, namun penuh keyakinan. "Ini tentang semua yang ingin kulindungi."
Liontin di tangannya mulai bersinar, kali ini lebih terang dari sebelumnya. Cahaya itu perlahan membentuk perisai di sekelilingnya, melindunginya dari serangan naga bayangan.
"Naga ini bukan musuhmu, Reyna," suara sang naga kembali bergema di kepalanya. "Ia adalah bagian dari dirimu sendiri—ketakutan, keraguan, dan kebencian yang harus kau kalahkan."
Menghadapi Diri Sendiri
Reyna membuka matanya, kini penuh dengan keyakinan. Dia melangkah maju, langsung menghadap naga bayangan itu tanpa rasa takut.
"Aku tidak akan melarikan diri dari diriku sendiri," katanya dengan tegas. "Kegelapan ini adalah bagian dariku, tetapi aku akan menguasainya, bukan sebaliknya."
Naga bayangan itu meraung, menyerang dengan semburan terakhirnya. Namun, cahaya dari liontin Reyna membentuk dinding pelindung, memantulkan serangan itu kembali ke naga bayangan.
Reyna kemudian mengulurkan tangannya ke arah naga itu. "Aku menerima keberadaanmu, tetapi kau tidak akan menguasai hidupku."
Naga bayangan itu berhenti. Mata merahnya perlahan berubah menjadi lembut, tubuhnya mulai memudar menjadi serpihan cahaya.
"Kau telah membuktikan hatimu," suara naga bayangan itu berkata pelan. "Aku adalah ketakutanmu, tapi juga kekuatanmu. Kini, kau layak melangkah lebih jauh."
Pintu Menuju Dunia Baru
Setelah naga bayangan itu lenyap, ruangan kuil berubah. Dinding-dindingnya bersinar, menampilkan ukiran-ukiran kuno yang menggambarkan naga dan manusia hidup berdampingan. Di tengah ruangan, sebuah portal berwarna emas muncul, berputar perlahan seperti pusaran cahaya.
Lian, yang kini terluka ringan, tersenyum lelah. "Kau berhasil, Reyna. Tapi aku rasa ini baru permulaan."
Reyna mengangguk, menyeka air mata yang tak disadarinya telah mengalir. "Ya, dan kita harus siap untuk apa pun yang ada di balik pintu itu."
Mereka berdua melangkah mendekati portal. Hembusan angin hangat menyambut mereka, seolah-olah dunia di balik portal menunggu kedatangan mereka.
"Ini adalah pilihan kita," kata Reyna pelan, menggenggam tangan Lian. "Apa pun yang terjadi, kita akan melakukannya bersama."
Dengan keberanian yang membara di hati mereka, Reyna dan Lian melangkah masuk ke dalam cahaya, menuju takdir yang telah menunggu mereka sejak awal perjalanan ini.
Kuil sunyi setelah naga bayangan lenyap, meninggalkan gema suara langkah Reyna dan Lian yang terdengar seperti dentuman di ruang hampa. Di depan mereka, portal berwarna emas terus berputar, seperti menantang mereka untuk maju.
"Apakah ini akhir, atau justru awal dari sesuatu yang lebih besar?" gumam Lian, menatap cahaya yang berkedip-kedip.
Reyna merasakan aliran energi aneh dari portal itu. "Tidak ada yang tahu. Tapi yang pasti, kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang."
Namun sebelum mereka sempat melangkah lebih dekat, suara geraman berat menghentikan mereka. Udara di sekeliling menjadi dingin, seperti kehampaan itu sendiri sedang bernafas. Dari balik bayangan kuil, sebuah makhluk lain muncul, jauh lebih besar dan lebih nyata dibanding naga bayangan sebelumnya.
Makhluk itu memiliki sisik gelap yang bersinar seperti logam, sayap raksasa yang meliputi ruangan, dan mata emas yang berkilau dengan kebencian. Itu adalah naga sejati, bukan bayangan, tetapi sesuatu yang lahir dari inti kegelapan.
"Jadi ini ujian terakhir," bisik Reyna, meski tubuhnya gemetar.
Naga itu tidak berbicara, tetapi gerakannya cukup untuk menyampaikan niatnya. Sayapnya mengepak sekali, menciptakan angin badai yang hampir merobohkan mereka berdua.
"Reyna, ini berbeda. Kita tidak bisa menghadapinya seperti sebelumnya!" seru Lian, bersiap dengan pedangnya.
"Tapi kita harus mencoba," jawab Reyna, menggenggam liontinnya erat. Cahaya liontin itu meredup, seolah-olah merespon kehadiran makhluk yang lebih kuat ini.
Naga itu maju perlahan, setiap langkahnya mengguncang lantai kuil. Raungan melengking keluar dari mulutnya, suara yang terasa seperti ribuan jiwa yang menjerit bersamaan.
Bersambung...
4oYou said:Bab 19: Perlawanan Terakhir(bersambung)ChatGPT said:ChatGPT
Bab 19: Perlawanan Terakhir (bersambung)
Angin dingin menerpa wajah Reyna saat naga raksasa itu mengaum, getarannya mengguncang setiap sudut kuil. Mata emas makhluk itu bersinar dengan kebencian, membakar keberanian siapa pun yang berani menatapnya terlalu lama. Reyna menggenggam liontinnya erat, namun cahayanya mulai redup, seperti kehabisan kekuatan.
Lian berdiri di sampingnya, pedang terhunus dengan tangan bergetar. "Reyna, makhluk ini berbeda. Energinya... tak seperti yang pernah kita hadapi."
Reyna menarik napas dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang. "Tapi kita tidak punya pilihan lain. Portal itu mungkin jalan satu-satunya."
Naga itu bergerak maju dengan gerakan yang anggun namun penuh ancaman, sisiknya memantulkan kilauan gelap. Raungan lainnya menggema, menciptakan retakan di dinding-dinding kuil kuno.
Tanpa aba-aba, makhluk itu menyerang, mengayunkan cakar raksasanya ke arah mereka. Lian melompat ke samping, menarik Reyna bersamanya tepat sebelum lantai di bawah mereka hancur berkeping-keping.
"Lari bukan pilihan," desis Lian sambil bangkit berdiri. Ia melangkah maju, tatapannya tajam. "Aku akan menahannya. Kau temukan cara untuk membuka portal itu."
"Tidak!" Reyna memprotes. "Aku tidak akan meninggalkanmu!"
Naga itu kembali mengaum, kali ini menyemburkan api hitam dari mulutnya. Api itu terasa lebih seperti energi gelap, menyerap cahaya di sekitarnya.
Reyna dan Lian berguling ke arah berlawanan untuk menghindarinya. Sambil berlari, Reyna meraih liontin di lehernya, mencoba memanggil kekuatan naga Sejuta Cinta. Namun, tak ada respons.
"Kenapa sekarang diam?!" Reyna hampir menangis frustrasi.
Naga itu mendekat, menggeram dengan suara rendah yang membuat bulu kuduk mereka berdiri. Lian menyerang dengan pedangnya, berusaha menusuk sisik tebal naga itu. Namun, pedangnya terpental seperti mengenai baja.
"Tak mungkin!" seru Lian, matanya membelalak.
Reyna tiba-tiba teringat sesuatu yang pernah dikatakan oleh Master Eldrin: "Kekuatan sejati bukan datang dari senjata, tapi dari hati yang percaya."
Dia menutup matanya sejenak, mengabaikan kekacauan di sekitarnya, dan memfokuskan pikirannya pada satu hal: cinta yang membuatnya bertahan sejauh ini. Ingatannya melayang pada keluarganya, orang-orang yang ia cintai, dan bahkan Lian, yang kini berdiri mempertaruhkan nyawanya.
Liontin di tangannya mulai berdenyut pelan. Cahaya lembut muncul dari dalamnya, semakin terang seiring dengan keyakinan yang tumbuh di hati Reyna.
"Reyna! Apa yang kau lakukan?!" teriak Lian ketika naga itu bersiap untuk menyerang lagi.
Reyna membuka matanya, kini dipenuhi dengan keberanian baru. "Percayalah padaku, Lian!"
Dia mengangkat liontin itu tinggi-tinggi, dan cahaya memancar dari dalamnya, membanjiri ruangan dengan kehangatan yang luar biasa. Naga itu berhenti, seolah terkejut.
Namun, makhluk itu tak menyerah begitu saja. Dengan gerakan cepat, ia meluncur ke arah Reyna, mencoba merebut liontin tersebut.