Chereads / Naga Sejuta Cinta / Chapter 17 - Cahaya yang Memanggil

Chapter 17 - Cahaya yang Memanggil

Suara angin malam melintasi perkemahan kecil di tengah hutan lebat. Api unggun yang mulai meredup memancarkan cahaya hangat, namun hati Reyna tetap tidak tenang. Pandangannya tertuju pada kegelapan di sekeliling mereka, pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang jalan yang masih harus mereka tempuh. Lian duduk di seberangnya, sibuk mengasah pedangnya, sementara Naga Hitam tampak diam, seperti sedang merenung.

"Apa kau merasakannya?" bisik Reyna tiba-tiba, memecah kesunyian.

Lian mengangkat alis. "Merasa apa?"

Reyna menunjuk ke arah langit. "Itu."

Di atas mereka, di tengah malam yang pekat, sebuah titik cahaya kecil mulai muncul. Awalnya tampak seperti bintang biasa, tapi cahayanya semakin terang dan bergerak perlahan menuju mereka. Naga Hitam mengangkat kepalanya, matanya bersinar redup, memperhatikan fenomena itu dengan seksama.

"Itu bukan bintang," gumam Reyna, suaranya terdengar hampir seperti desahan kagum.

Naga Hitam mengangguk perlahan. "Kau benar. Itu adalah Panggilan."

"Panggilan?" Lian berhenti mengasah pedangnya, matanya menyipit ke arah cahaya yang semakin mendekat. "Panggilan dari siapa?"

"Dari kekuatan yang lebih besar dari kita," jawab Naga Hitam. "Ini adalah ujian bagi mereka yang dianggap layak."

Reyna merasakan jantungnya berdegup lebih kencang. Cahaya itu kini begitu dekat hingga menyinari seluruh area di sekitar mereka, memancarkan aura hangat yang aneh. Lingkaran cahaya keemasan mulai terbentuk di tanah, melingkupi mereka bertiga.

"Apa yang sedang terjadi?" tanya Reyna dengan nada cemas.

"Bersiaplah," kata Naga Hitam dengan nada tegas. "Ini bukan sesuatu yang bisa kita hindari."

Sebelum Reyna bisa menjawab, tanah di bawah mereka bergetar hebat. Dalam sekejap, cahaya itu membungkus mereka sepenuhnya, membawa mereka ke dalam dimensi yang asing. Reyna membuka matanya perlahan dan terkejut melihat sekelilingnya.

Mereka kini berada di ruang yang tampak seperti gua raksasa, namun dinding-dindingnya berkilauan dengan kristal bercahaya. Di tengah gua, sebuah altar berdiri kokoh, dengan simbol naga yang bersinar terang di atasnya.

"Di mana kita?" tanya Reyna dengan suara bergetar.

"Di tempat di mana takdir ditentukan," jawab Naga Hitam, suaranya menggema di dalam gua.

Reyna mendekati altar itu, rasa ingin tahu yang mendalam mendorongnya maju. Simbol naga di altar tampak hidup, memancarkan cahaya yang bergerak seperti napas. Tiba-tiba, suara lembut namun kuat terdengar, menggetarkan ruang di sekitar mereka.

"Reyna, kau telah dipilih oleh takdir," kata suara itu. "Kau adalah jembatan antara dua dunia, manusia dan naga. Apakah kau siap menerima kebenaran?"

Reyna memandang altar itu dengan mata membelalak. "Kebenaran apa?"

"Rahasia tentang asal usulmu, dan alasan mengapa kau memiliki hubungan dengan Naga Sejuta Cinta."

Reyna merasa tubuhnya menjadi ringan, seolah-olah dia ditarik ke dalam pusaran cahaya. Dalam sekejap, dia melihat bayangan masa lalu—kenangan yang selama ini tersembunyi dalam pikirannya. Dia melihat dirinya sebagai seorang anak kecil, bermain di ladang bunga bersama ibunya. Kemudian, bayangan itu berganti menjadi malam penuh bintang, ketika ibunya memeluknya erat dan berbisik di telinganya.

"Kau istimewa, Reyna. Kau memiliki kekuatan untuk menyatukan dunia ini. Jangan pernah lupakan itu."

Air mata mengalir di pipi Reyna. Dia kini mengerti bahwa dirinya adalah bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Namun, sebelum dia bisa mencerna semuanya, suara lembut itu kembali terdengar.

"Namun, jalanmu masih panjang, dan ujian terbesar belum tiba. Apakah kau bersedia menghadapi kegelapan demi menyelamatkan cahaya?"

Reyna menggenggam erat tangannya. "Aku bersedia."

Cahaya di sekitar altar meredup perlahan, membawa Reyna kembali ke gua. Lian menghampirinya, wajahnya penuh kekhawatiran.

"Apa yang kau lihat?" tanya Lian.

Reyna menatapnya dengan mata penuh keyakinan. "Aku tahu apa yang harus kulakukan. Kita harus menemukan inti dari Naga Sejuta Cinta sebelum kekuatan gelap menemukannya lebih dulu."

Namun, sebelum mereka bisa bergerak lebih jauh, tanah di bawah mereka kembali bergetar. Dari bayangan di ujung gua, sosok gelap muncul—sosok yang tampaknya telah menunggu mereka.

Sosok itu tertawa dingin. "Selamat datang, Reyna. Aku sudah menunggu."

Lian segera mengangkat pedangnya, siap untuk bertarung, namun Naga Hitam menghentikannya. "Tidak. Ini bukan pertarungan yang bisa dimenangkan dengan senjata."

Reyna melangkah maju, menatap sosok itu dengan penuh keberanian. "Siapa kau?"

Sosok itu tertawa lagi. "Aku adalah bayangan dari apa yang akan kau hadapi. Dan aku di sini untuk menguji apakah kau benar-benar layak."

Seketika, ruang di sekitar mereka berubah menjadi medan perang yang gelap. Bayangan itu melayang di atas mereka, mengeluarkan kekuatan yang membuat Reyna terhuyung.

"Buktikan bahwa kau memiliki keberanian, Reyna. Hanya dengan begitu kau bisa melangkah ke tahap berikutnya," kata bayangan itu sambil meluncurkan serangan berupa semburan energi hitam.

Reyna merasa tubuhnya hampir runtuh, namun dia tidak menyerah. Dengan bantuan Naga Hitam dan Lian, dia menemukan kekuatan dalam dirinya untuk melawan.

Langit malam bergemuruh, seolah alam semesta sedang mengguncang keseimbangannya. Reyna berdiri di tepi jurang yang curam, dikelilingi oleh angin kencang dan suara gemuruh dari lembah di bawahnya. Di kejauhan, sebuah cahaya terang memancar dari balik gunung, memanggil dengan kehangatan dan kekuatan yang tak terbantahkan.

"Reyna," suara Lian terdengar dari belakang. "Apakah ini yang kau cari? Cahaya itu... terasa berbeda."

Reyna menoleh dengan pandangan tajam. "Itu bukan hanya cahaya. Itu adalah jawaban. Aku bisa merasakannya."

Naga Hitam berdiri diam di sampingnya, matanya yang tajam menembus gelap. "Namun, jawaban selalu datang dengan harga, Reyna. Kau yakin ingin melangkah ke sana?"

Reyna mengangguk tanpa ragu. "Aku telah melalui terlalu banyak untuk mundur sekarang. Jika cahaya itu dapat memberi kita petunjuk tentang bagaimana melawan kekuatan gelap, maka aku tidak akan berpaling."

Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Reyna melangkah maju, menyusuri jalan berbatu yang menurun tajam. Lian mengikuti di belakangnya, pedangnya tergenggam erat, siap menghadapi apa pun yang mungkin menunggu mereka. Naga Hitam tetap di belakang, mengawasi dengan waspada.

Mereka mendekati lembah itu, dan cahaya yang sebelumnya tampak jauh kini terasa begitu dekat hingga menyilaukan. Namun, cahaya itu bukan sekadar terang biasa. Ada sesuatu yang aneh—seolah cahaya itu memiliki kehidupan sendiri.

"Berhenti!" seru Naga Hitam tiba-tiba.

Reyna dan Lian segera berhenti, menoleh ke arahnya.

"Lihat tanah di depan," kata Naga Hitam. "Cahaya itu mungkin memanggil, tapi itu bukan tanpa jebakan."

Reyna memandang tanah di hadapannya, dan seketika menyadari apa yang dimaksud. Lingkaran-lingkaran berkilauan tersembunyi di bawah cahaya itu, membentuk pola seperti perangkap.

"Itu adalah segel kuno," ujar Naga Hitam. "Jika kau menginjaknya, kau akan terjebak dalam ilusi yang tak berujung."

Reyna menghela napas, mencoba memahami situasi. "Bagaimana kita melewatinya?"

"Dengan kehendak," jawab Naga Hitam. "Hanya mereka yang hati dan pikirannya selaras dengan cahaya yang dapat melangkah tanpa terluka."

Lian mendengus pelan. "Tentu saja, selalu ada teka-teki. Jadi, siapa yang akan maju lebih dulu?"

Reyna menatap cahaya itu dengan tekad. "Aku akan pergi. Ini panggilanku."

Dia melangkah ke depan, mengabaikan rasa takut yang mencoba merayap ke dalam hatinya. Saat kakinya menyentuh lingkaran pertama, udara di sekitarnya bergetar, dan seketika, dunia di hadapannya berubah.

Reyna kini berdiri di tengah ruang kosong, dikelilingi oleh bayangan dirinya sendiri. Masing-masing bayangan menatapnya dengan pandangan yang menuduh, mencerminkan ketakutan dan keraguannya.

"Apakah kau cukup kuat, Reyna?" tanya salah satu bayangan.

"Berapa banyak yang akan kau korbankan demi tujuanmu?" desak yang lain.

Reyna menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu apa yang telah kulakukan, dan aku tahu apa yang harus kulakukan. Aku tidak akan mundur."

Dengan setiap kata yang diucapkannya, bayangan itu memudar satu per satu, hingga akhirnya hanya tersisa cahaya di depannya. Ketika dia melangkah keluar dari ilusi itu, dia kembali ke dunia nyata, dengan Lian dan Naga Hitam menunggu di sana.

"Kau berhasil," kata Lian dengan nada kagum.

"Ini baru permulaan," ujar Reyna sambil melangkah lebih dekat ke cahaya utama di tengah lembah itu.

Ketika mereka mencapai sumber cahaya, mereka menemukan sebuah altar besar yang terbuat dari kristal murni. Di atasnya, sebuah bola cahaya mengambang, memancarkan energi yang membuat udara di sekitarnya terasa berat.

"Ini adalah inti dari Panggilan," bisik Naga Hitam. "Energi yang dapat mengubah segalanya, jika kau tahu bagaimana menggunakannya."

Reyna mendekati altar itu perlahan, namun sebelum dia bisa menyentuh bola cahaya itu, suara gemuruh terdengar dari belakang mereka.

"Jadi, kalian akhirnya tiba di sini."

Reyna berbalik dan melihat sosok berjubah hitam muncul dari kegelapan. Matanya bersinar merah, dan senyumnya dipenuhi dengan ancaman.

"Kau," desis Reyna, mengenali sosok itu sebagai salah satu pelayan kegelapan yang sebelumnya menyerangnya.

"Cahaya itu bukan untukmu, Reyna," kata sosok itu dengan nada dingin. "Serahkan, atau hadapi konsekuensinya."

Reyna mengangkat dagunya dengan keberanian. "Kalau begitu, kau harus melalui kami terlebih dahulu."

Pertempuran pun dimulai. Lian dengan pedangnya, Reyna dengan kekuatan yang baru ditemukan, dan Naga Hitam dengan napas api yang mematikan, bekerja bersama melawan ancaman ini. Namun, lawan mereka lebih tangguh dari yang mereka bayangkan, dan cahaya dari bola itu mulai meredup, seolah dipengaruhi oleh pertempuran tersebut.

"Kita tidak bisa membiarkan cahaya itu padam!" teriak Reyna.

Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, Reyna meraih bola cahaya itu dan membiarkannya menyatu dengan dirinya. Sebuah ledakan energi terjadi, menerangi lembah itu dengan kilauan emas yang luar biasa.

Ketika debu mereda, sosok berjubah hitam itu lenyap, dan Reyna berdiri dengan napas terengah-engah, tubuhnya dikelilingi aura cahaya yang baru.

"Kau telah berubah," bisik Lian, matanya melebar.

Naga Hitam mengangguk perlahan. "Ini baru permulaan. Cahaya itu sekarang adalah bagian dari dirimu, Reyna. Namun, dengan kekuatan ini datang tanggung jawab yang lebih besar."

Reyna mengepalkan tangannya, merasakan energi yang mengalir di dalamnya. Dia tahu bahwa perjalanan ini belum selesai.

Dalam diam yang menguasai malam, Reyna dan Lian melangkah ke dalam hutan yang lebat, tempat pepohonan menjulang tinggi seperti penjaga tua yang diam. Udara dipenuhi dengan aroma tanah basah dan dedaunan yang membusuk, memberi nuansa mistis yang mencekam. Hutan ini disebut Hutan Kekekalan, tempat di mana waktu dikatakan berhenti dan jiwa-jiwa yang tersesat tidak pernah kembali.

"Kau yakin jalan ini benar?" Lian bertanya dengan nada hati-hati, matanya menyapu kegelapan yang menyembunyikan bahaya.

"Ini satu-satunya petunjuk yang diberikan oleh naga itu," jawab Reyna, memegang erat liontin yang bersinar lembut di tangannya. "Jika kita ingin membuka pintu ke dunia mereka, kita harus menemukan Mata Kekekalan."

Lian menghela napas, menyesuaikan pegangannya pada pedang peraknya. "Semoga kita tidak menjadi legenda berikutnya yang tersesat di sini."

Setelah beberapa saat berjalan, mereka tiba di sebuah sungai kecil yang memotong hutan. Airnya tampak jernih, namun permukaannya memantulkan gambaran yang aneh—bukan sekadar bayangan mereka, tetapi sosok-sosok yang tampak seperti versi lain dari diri mereka.

"Itu aku… tapi berbeda," gumam Reyna, menatap pantulan yang menunjukkan dirinya mengenakan baju zirah berwarna keemasan, dengan mata penuh keyakinan.

"Ini adalah salah satu ilusi Hutan Kekekalan," kata Lian, menariknya mundur. "Kau tidak bisa terlalu lama menatapnya, atau kau akan terjebak dalam gambaran yang ingin kau percayai."

Namun, sebelum mereka dapat melangkah pergi, sosok dalam air itu berbicara. "Kau mencari Mata Kekekalan, Reyna. Namun, apakah kau siap membayar harga yang harus kau bayar?"

Reyna tertegun. "Harga apa?"

"Pengorbanan hati," jawab pantulan itu.

Pertemuan dengan Penjaga

Saat mereka melanjutkan perjalanan, suara gemerisik terdengar di antara pepohonan. Dari balik bayang-bayang, muncul sosok makhluk berwujud setengah manusia setengah burung, dengan bulu hitam legam dan mata merah menyala.

"Aku adalah Penjaga Kekekalan," suara makhluk itu menggema. "Hanya mereka yang berhati murni yang dapat melangkah lebih jauh."

Reyna berdiri tegap, menatap makhluk itu tanpa gentar. "Kami tidak mencari keabadian. Kami hanya mencari jalan untuk menghentikan kehancuran dunia kami."

Penjaga itu mengangguk perlahan. "Keabadian bukanlah hadiah, tetapi beban. Untuk melangkah lebih jauh, kau harus menunjukkan bahwa hatimu layak."

Seketika, makhluk itu menyerang. Gerakannya cepat, seperti kilat yang memotong udara. Reyna menghindar, sementara Lian mengayunkan pedangnya untuk menahan serangan itu. Namun, setiap kali mereka mencoba menyerang balik, Penjaga itu menghilang dalam kabut hitam.

"Reyna!" seru Lian, terdesak. "Ini bukan tentang kekuatan. Kau harus membuktikan sesuatu padanya!"

Reyna mengingat perkataan sang naga dan pantulan di sungai. Dia memejamkan mata, membiarkan hatinya terbuka. Dalam pikirannya, dia memikirkan keluarganya, desanya, dan semua yang dia cintai.

"Aku tidak mencari kekuasaan," katanya dengan suara mantap. "Aku hanya ingin menyelamatkan dunia ini, untuk orang-orang yang kuperjuangkan."

Kabut hitam berhenti. Penjaga itu berdiri diam, menatapnya dengan pandangan yang tajam. "Kau telah lulus ujian pertama. Namun, perjalananmu baru dimulai."

Kuil Mata Kekekalan

Setelah melewati ujian, mereka tiba di sebuah kuil kuno yang tersembunyi di dalam hutan. Pilar-pilar batu besar menjulang tinggi, dihiasi ukiran naga yang tampak hidup. Di tengah ruangan, sebuah bola kristal bersinar, dikelilingi oleh lingkaran simbol kuno.

"Inilah Mata Kekekalan," kata Lian dengan kagum. "Tapi bagaimana cara menggunakannya?"

Reyna mendekat, merasakan energi yang memancar dari bola itu. Tiba-tiba, suara sang naga bergema di pikirannya.

"Kau harus mengungkapkan kebenaran terdalam dari hatimu. Mata Kekekalan hanya akan merespons kejujuran yang tulus."

Reyna menutup mata, membiarkan pikirannya terbuka. Dia mengingat semua perjuangan yang telah dia lalui, rasa takut, harapan, dan cinta yang mendorongnya untuk melangkah sejauh ini.

"Aku ingin melindungi dunia ini," katanya dengan tegas. "Tidak peduli seberapa besar harga yang harus kubayar."

Bola kristal mulai bersinar lebih terang, memancarkan cahaya yang memenuhi ruangan. Namun, bersamaan dengan itu, bayangan besar muncul dari lingkaran simbol—sosok gelap yang menyerupai naga, tetapi dengan mata yang dipenuhi kebencian.

"Ini adalah ujian terakhir," kata Lian dengan tegang, mengangkat pedangnya.

Reyna menggenggam liontinnya erat-erat. "Bersiaplah, Lian. Kita tidak boleh kalah."