Udara malam terasa menusuk saat Reyna, Lian, dan Naga Hitam berhasil keluar dari reruntuhan gua. Nafas mereka terengah, dan keringat bercampur debu memenuhi wajah. Langit di atas mereka penuh dengan bintang, tetapi terasa dingin dan asing, seolah dunia telah berubah selama mereka di dalam kegelapan.
"Apa itu tadi?" Lian bertanya, matanya memandang ke gua yang telah runtuh sepenuhnya.
"Sebuah peringatan," jawab Naga Hitam, suaranya rendah tetapi sarat makna. "Bayangan yang kalian dengar adalah sisa dari kehancuran yang dulu menimpa kami. Ada kekuatan yang lebih besar di luar sana, dan kalian telah menarik perhatiannya."
Reyna menatap naga itu dengan bingung. "Kekuatan apa yang kau maksud? Bukankah kita sudah melewati ancaman di dalam gua?"
Naga Hitam menundukkan kepalanya, matanya yang kini biru cemerlang memandang jauh ke arah cakrawala. "Tidak semua kegelapan berasal dari bayangan. Ada kegelapan yang tumbuh dari hati makhluk, rasa iri, dendam, dan keserakahan. Dan aku yakin... kegelapan itu sedang menuju kalian."
Reyna menggenggam bola kristalnya lebih erat. Pancaran cahaya dari benda itu menjadi satu-satunya yang membuatnya merasa aman. "Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan sekarang?"
Lian, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kita tidak bisa terus melarikan diri. Kalau ada sesuatu yang mengejar kita, kita harus menemukan caranya untuk melawan balik."
"Bukan hanya melawan," potong Naga Hitam. "Kalian harus menemukan inti dari masalah ini. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar bayangan gua atau monster di jalan. Jawabannya ada pada Naga Sejuta Cinta."
Reyna terkejut. Nama itu telah lama menjadi legenda, tetapi kini ia disebutkan dengan nada serius yang membuat bulu kuduknya meremang. "Kau tahu di mana Naga Sejuta Cinta berada?"
"Tidak secara pasti," jawab Naga Hitam. "Tapi aku tahu jejak yang bisa mengarah ke sana. Dan kalian harus memulai perjalanan kalian sebelum kegelapan itu mendahului kalian."
Mereka berdiskusi panjang malam itu, hingga akhirnya setuju untuk mengikuti petunjuk yang diberikan Naga Hitam. Jejak pertama ada di Lembah Angin Berbisik, sebuah tempat yang disebut-sebut sebagai gerbang menuju dunia lain.
Perjalanan ke Lembah Angin Berbisik
Pagi berikutnya, mereka memulai perjalanan dengan semangat bercampur ketegangan. Medan yang mereka lewati semakin sulit, dengan bukit-bukit terjal dan hutan yang penuh dengan jebakan alami.
Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan seorang pengembara tua bernama Elros, yang membawa tongkat kayu dengan ukiran naga di ujungnya. Ia memandangi Reyna dengan tatapan penuh arti.
"Kau membawa cahaya, tetapi cahaya itu juga bisa membakar," katanya.
Reyna mengernyit. "Apa maksudmu?"
Elros hanya tersenyum samar. "Naga Sejuta Cinta tidak hanya memberikan kekuatan, tetapi juga ujian. Hanya mereka yang hatinya benar-benar murni yang bisa bertahan. Jika tidak, kau akan menjadi bagian dari kegelapan itu sendiri."
Kata-kata Elros terus terngiang di kepala Reyna saat mereka melanjutkan perjalanan. Ia merasa ada beban yang semakin berat di pundaknya, bukan hanya tentang keluarganya, tetapi juga tentang dirinya sendiri.
Ketika mereka akhirnya mencapai Lembah Angin Berbisik, mereka disambut oleh pemandangan yang memukau sekaligus menakutkan. Angin yang berhembus melalui lembah menghasilkan suara seperti bisikan, membuat siapa pun yang mendengarnya merasa seolah sedang diawasi.
"Ini tempatnya," kata Naga Hitam. "Jejak pertama menuju Naga Sejuta Cinta ada di sini. Tapi kalian harus berhati-hati. Banyak yang mencoba melewati lembah ini, tetapi tidak pernah kembali."
Reyna menelan ludah, merasakan jantungnya berdebar. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi ia juga tahu bahwa ia tidak bisa mundur sekarang.
"Baiklah," katanya akhirnya. "Kita mulai."
Malam itu, di bawah langit penuh bintang yang seolah diam-diam mengawasi mereka, Reyna, Lian, dan Naga Hitam beristirahat di tepi reruntuhan gua. Udara dingin membawa kesunyian, tetapi hati mereka tak pernah lebih berisik. Keputusan besar telah diambil, dan perjalanan baru telah dimulai.
Namun, di dalam pikirannya, Reyna bertanya-tanya: apa sebenarnya yang menanti mereka di Lembah Angin Berbisik? Seberapa besar bahaya yang harus dihadapi demi mendapatkan jawaban tentang Naga Sejuta Cinta?
Sementara itu, Lian duduk dengan pandangan jauh ke arah cakrawala. Ada ketegangan di wajahnya, sesuatu yang tak pernah ia ungkapkan. Naga Hitam menatapnya dalam diam, seolah mengetahui rahasia yang ingin ia sembunyikan.
"Kau harus bersiap, Lian," kata Naga Hitam tiba-tiba.
Lian menoleh cepat, sedikit terkejut. "Maksudmu?"
"Kegelapan yang akan kita hadapi bukan hanya datang dari luar," kata Naga Hitam, suaranya rendah tapi sarat makna. "Terkadang, ia berasal dari dalam diri kita sendiri."
Mata Lian membulat, tetapi ia tidak menjawab. Sebaliknya, ia bangkit dan menjauh sedikit dari kelompok itu, meninggalkan Reyna yang menatap punggungnya dengan rasa penasaran yang bercampur cemas.
"Dia menyimpan sesuatu," gumam Reyna.
Naga Hitam mengangguk. "Semua orang memiliki bayangan dalam hati mereka. Pertanyaannya hanya, apakah mereka akan melawannya atau menyerah padanya?"
Reyna tidak menjawab. Ia tahu, perjalanan ini bukan hanya tentang menemukan Naga Sejuta Cinta. Ini adalah perjalanan untuk menemukan kebenaran—tentang dunia, tentang orang-orang di sekitarnya, dan mungkin, tentang dirinya sendiri.
Reyna memandangi bola kristal di tangannya. Cahaya lembut yang memancar dari dalamnya terasa hangat, tetapi semakin lama ia menatap, semakin ia merasakan sesuatu yang asing. Seolah bola kristal itu menyimpan lebih dari sekadar jawaban—mungkin juga rahasia yang tak ia inginkan.
Malam itu terasa lebih panjang dari biasanya. Angin yang berhembus membawa suara lirih, seperti bisikan-bisikan dari tempat yang jauh. Naga Hitam duduk diam, tubuhnya melingkar di sekitar api unggun yang kecil. Reyna dan Lian duduk tak jauh darinya, tetapi suasana di antara mereka terasa canggung.
"Apakah kita benar-benar tahu apa yang kita kejar?" Reyna akhirnya bertanya, memecah keheningan.
Lian, yang sejak tadi sibuk mengasah pisaunya, menghentikan gerakannya. Ia menatap Reyna dengan mata penuh kelelahan, tetapi di balik itu ada sesuatu yang sulit ditebak—mungkin keraguan, mungkin juga ketakutan.
"Kita tahu cukup banyak," jawab Lian, suaranya berat. "Jika kita tidak melanjutkan perjalanan ini, tidak hanya keluargamu yang dalam bahaya. Dunia akan berubah—dan tidak menjadi lebih baik."
Reyna menunduk, memandangi pantulan dirinya di bola kristal. "Tapi apakah aku benar-benar cukup kuat untuk ini? Aku hanya seorang gadis desa. Bahkan sampai sekarang, aku tidak yakin kenapa Naga Sejuta Cinta memilihku."
Naga Hitam membuka matanya, yang bersinar seperti bintang di malam gelap. "Bukan kau yang memilih jalan ini, Reyna. Jalan ini yang memilihmu. Kadang, kekuatan tidak datang dari keyakinan diri, tetapi dari keberanian untuk terus melangkah meski kau merasa lemah."
Reyna terdiam, mencerna kata-kata itu.
Di sudut lain, Lian berdiri, menatap gua yang telah runtuh di belakang mereka. Pikirannya melayang ke masa lalu—ke sebuah bayangan yang selalu menghantui langkahnya. Ia tahu bahwa perjalanan ini bukan hanya tentang melindungi Reyna atau menemukan Naga Sejuta Cinta. Ada sesuatu yang lebih dalam, lebih pribadi.
"Ada sesuatu yang ingin kukatakan," kata Lian tiba-tiba, memecah keheningan.
Reyna dan Naga Hitam menoleh bersamaan.
Lian menarik napas panjang. "Aku pernah mengejar naga, bukan karena keberanian, tetapi karena kebencian. Aku kehilangan seseorang yang sangat berarti bagiku karena seekor naga. Dan sekarang..." Suaranya tertahan, seolah kata-kata itu terlalu berat untuk diucapkan.
"Dan sekarang kau takut kehilangan lagi," sambung Naga Hitam, tatapannya tajam.
Lian tidak menjawab, tetapi tatapannya yang suram sudah cukup sebagai jawaban.
Reyna merasakan hatinya mencelos. Ia tidak pernah berpikir bahwa Lian, dengan sikapnya yang tegas dan dingin, menyimpan luka yang begitu dalam. Tiba-tiba, ia merasa bahwa perjalanan ini tidak hanya tentang dirinya. Mereka semua membawa beban masing-masing, dan jalan di depan mereka tidak hanya akan menguji kekuatan, tetapi juga hati mereka.
"Bagaimana kalau kita gagal?" tanya Reyna, suaranya hampir berbisik.
Naga Hitam mengangkat kepalanya. "Kegagalan bukanlah akhir. Kegelapan hanya bisa menang jika kita berhenti berjuang."
Malam itu, mereka tidur dengan pikiran yang berat, tetapi semangat untuk melanjutkan perjalanan perlahan tumbuh kembali.
Api unggun yang kecil berpendar lemah, memantulkan bayangan bergetar di wajah Reyna, Lian, dan Naga Hitam. Keheningan melingkupi mereka, hanya dipecahkan oleh suara angin yang berdesir lembut. Suasana terasa berbeda malam itu—lebih gelap, lebih berat.
Reyna memandangi bola kristal di tangannya. Cahaya biru lembut yang memancar dari dalamnya memberikan rasa hangat, tetapi juga membawa kekhawatiran. "Apa yang sebenarnya ada di dalam benda ini?" pikirnya, berkali-kali mengajukan pertanyaan yang tak terjawab.
"Reyna." Suara Lian memecah lamunannya.
Reyna menoleh, menatap Lian yang duduk di seberangnya. Wajah pria itu terlihat tegang, matanya menatap jauh ke arah kegelapan.
"Kau tahu, perjalanan ini tidak akan semakin mudah."
Reyna mengangguk pelan. Ia tahu. Semua yang mereka lalui sudah cukup membuktikan bahwa mereka menghadapi sesuatu yang jauh lebih besar dari diri mereka sendiri.
"Tapi yang tidak kutahu," lanjut Lian, suaranya semakin dalam, "adalah apa yang membuatmu tetap bertahan. Kenapa kau terus melangkah, meskipun kau tahu risikonya?"
Reyna terdiam, merenung sejenak sebelum menjawab. "Aku tidak punya pilihan. Jika aku menyerah, keluargaku akan hancur. Desa kami... semuanya akan hilang." Ia menatap bola kristal di tangannya. "Dan entah bagaimana, aku merasa ini adalah takdirku. Seolah bola kristal ini memanggilku."
Naga Hitam, yang sejak tadi diam, mengangkat kepalanya. "Takdir adalah pedang bermata dua," katanya dengan suara berat. "Ia bisa menjadi jalan yang membawa terang, atau menghancurkanmu sepenuhnya."
Reyna menggenggam bola kristal itu lebih erat. "Aku tidak akan membiarkan diriku hancur. Tidak selagi aku masih bisa melawan."
Lian tersenyum tipis mendengar jawabannya. "Kau lebih kuat daripada yang kau sadari, Reyna."
Namun, sebelum percakapan mereka berlanjut, tanah di bawah mereka tiba-tiba bergetar. Reyna hampir kehilangan keseimbangan, sementara Naga Hitam berdiri dengan cepat, sayapnya mengembang seolah bersiap menghadapi serangan.
"Apa yang terjadi?" seru Reyna panik.
Lian mencabut pisaunya, pandangannya berkeliling dengan waspada. "Kita tidak sendirian di sini."
Dari balik kegelapan, terdengar suara mengerikan—suara napas berat, disertai langkah kaki besar yang mendekat. Reyna merasakan jantungnya berdegup kencang.
"Mundur!" perintah Naga Hitam.
Reyna dan Lian mengikuti perintah itu, bergerak mundur mendekati tebing di belakang mereka. Saat itulah makhluk itu muncul dari balik bayangan—seekor monster raksasa dengan mata merah menyala dan kulit bersisik hitam pekat.
"Serangan bayangan," bisik Naga Hitam dengan nada tegang. "Makhluk ini bukan kebetulan. Ia dikirim untuk menghentikan kita."
Reyna merasakan tubuhnya gemetar, tetapi ia menolak untuk menyerah pada rasa takut. Ia menatap bola kristal di tangannya, berharap benda itu memberikan petunjuk. "Apa yang harus kita lakukan?" tanyanya.
Lian maju selangkah, pisaunya berkilau di bawah cahaya api unggun. "Kita harus melawannya. Tidak ada jalan lain."
Naga Hitam mengangguk. "Tapi kau harus berhati-hati. Makhluk ini tidak bisa dilawan hanya dengan kekuatan fisik. Ia adalah kegelapan itu sendiri."
Pertempuran pun dimulai. Lian menyerang lebih dulu, bergerak cepat dengan pisaunya. Namun, serangan itu tidak berpengaruh. Monster itu hanya menggeram, menyapu dengan cakarnya dan hampir menjatuhkan Lian.
Naga Hitam melompat, menghembuskan api yang membara, tetapi bahkan itu hanya membuat makhluk itu mundur beberapa langkah. Reyna, yang berdiri di belakang, merasa putus asa. Apa yang bisa ia lakukan?
Kemudian, sesuatu di dalam bola kristal itu berkilauan, seolah merespons emosinya. Cahaya biru yang lembut berubah menjadi lebih terang, lebih panas. Reyna merasakan kekuatan yang aneh mengalir melalui tubuhnya.
"Gunakan bola kristalnya!" teriak Naga Hitam.
Reyna mengangkat bola itu tinggi-tinggi. Cahaya biru meledak dari dalamnya, menerangi area sekitar mereka. Monster itu meraung kesakitan, terhuyung mundur, tetapi tidak sepenuhnya kalah.
"Ini belum cukup," kata Reyna, suaranya bergetar.
"Kita harus melakukannya bersama-sama," kata Lian sambil bangkit dari tanah. "Reyna, aku butuh kekuatanmu untuk mengarahkan bola kristal itu. Dan Naga Hitam, kau harus menyerang dengan semua yang kau miliki."
Mereka bertiga bersiap. Reyna menatap monster itu dengan tekad yang baru, bola kristal di tangannya bersinar semakin terang. Lian berdiri di sampingnya, siap melindunginya jika diperlukan. Dan Naga Hitam mengepakkan sayapnya, bersiap memberikan serangan terakhir.
Dengan satu serangan terpadu, cahaya, api, dan keberanian mereka bersatu, menghantam monster itu dengan kekuatan yang luar biasa.
Raungan terakhir monster itu menggema di udara, sebelum akhirnya tubuhnya hancur menjadi serpihan bayangan yang lenyap dalam kegelapan.
Namun, ketika semuanya tampak tenang, Reyna jatuh terduduk, napasnya terengah-engah. Bola kristal di tangannya kembali redup, tetapi ada sesuatu yang berbeda—cahaya di dalamnya terasa lebih hangat, seolah memberikan rasa aman.
"Apa itu tadi?" tanya Reyna, suaranya lemah.
Naga Hitam menatapnya dengan serius. "Itu adalah awal dari ujian yang lebih besar. Kegelapan tahu kita sedang mendekat. Dan mereka tidak akan membiarkan kita mencapai tujuan kita tanpa perlawanan."
Reyna menatap bola kristal itu dengan pandangan penuh tekad. Ia tahu, perjalanan ini masih panjang, dan bahaya yang lebih besar menanti mereka. Tetapi malam itu, di tengah kelelahan dan ketakutan, ia merasa bahwa mereka telah menemukan sesuatu—sebuah kekuatan yang hanya bisa muncul ketika mereka bersatu.