Udara di dalam gua terasa berat, seperti mengandung sesuatu yang tidak terlihat tapi jelas dirasakan. Reyna melangkah hati-hati, setiap langkah bergema di dinding gua. Cahaya merah samar yang memancar dari dalam membawa hawa panas, tetapi tidak menyengat. Ada keheningan yang tidak wajar, seperti gua ini telah menunggu kehadirannya selama ribuan tahun.
Tiba-tiba, dari balik bayangan, muncul simbol-simbol aneh yang terukir di dinding. Cahaya merah memantul pada simbol itu, membuatnya tampak hidup. Reyna menghentikan langkahnya, memperhatikan pola-pola yang menyerupai naga, bunga, dan api.
"Ini bukan sekadar ukiran," gumamnya. "Ini adalah pesan."
Dia mendekat, menyentuh salah satu simbol. Seketika, ingatan asing membanjiri pikirannya—suara-suara, tangisan, dan raungan naga terdengar di benaknya. Dia terhuyung, mencoba tetap berdiri saat sebuah suara bergema di dalam gua.
"Kau telah tiba, pewaris hati yang murni."
Reyna terdiam, matanya terbelalak. "Siapa itu? Apa yang kau maksud?"
Cahaya merah di dalam gua tiba-tiba berubah menjadi lebih terang, dan dari kedalaman muncul sosok naga besar dengan sisik berkilauan seperti berlian. Matanya bersinar lembut, tetapi ada kekuatan yang tak terbantahkan dalam tatapannya.
"Aku adalah penjaga pintu antara kehidupan dan kematian," kata naga itu dengan suara yang menggetarkan dinding gua. "Dan kau, Reyna, telah dipilih untuk menjalani takdirmu."
Reyna mundur selangkah, tubuhnya bergetar. "Aku? Kenapa aku? Aku hanya seorang gadis biasa dari desa kecil."
Naga itu menundukkan kepalanya, seolah menatap langsung ke dalam jiwanya. "Kau memiliki hati yang murni, keberanian untuk mencintai tanpa syarat, dan tekad untuk melindungi apa yang kau sayangi. Semua itu adalah kunci untuk mengubah takdir yang telah tertulis."
Kata-kata itu membuat Reyna terdiam. Ia memikirkan keluarganya, desanya, dan Lian yang mungkin masih bertarung dengan makhluk di luar sana. Apa yang dia miliki memang hanyalah tekad untuk melindungi mereka.
"Tapi aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan," bisiknya pelan.
Naga itu tersenyum, meski dengan ukuran tubuhnya, senyuman itu lebih menyerupai kilauan kecil di sisiknya. "Jawaban tidak akan datang dengan sendirinya. Kau harus menemukannya melalui perjalananmu."
Reyna menatap naga itu dengan penuh tekad. "Kalau begitu, ajari aku. Beri aku petunjuk."
Naga itu membuka sayapnya, menghasilkan angin yang membuat debu-debu di gua beterbangan. "Kekuatan cinta sejati tidak bisa diajarkan. Itu adalah sesuatu yang harus kau pahami sendiri. Namun, aku bisa memberimu pengetahuan untuk melangkah lebih jauh."
Dari sisiknya yang bercahaya, naga itu mengeluarkan seberkas cahaya kecil. Cahaya itu melayang di udara, menuju ke arah Reyna. Saat cahaya itu menyentuh dadanya, Reyna merasakan energi hangat menyebar ke seluruh tubuhnya.
"Ini adalah kunci untuk membuka jalan berikutnya," kata naga itu. "Tapi ingat, setiap langkah yang kau ambil akan membawa konsekuensi. Dan tidak semua yang kau temui akan menjadi teman."
Tiba-tiba, suara langkah kaki bergema dari luar gua. Reyna menoleh cepat, jantungnya berdegup kencang. Dari bayangan muncul Lian, dengan darah mengalir di lengannya tetapi masih berdiri tegak.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya, napasnya terengah-engah.
Reyna mengangguk, tetapi matanya masih tertuju pada naga besar itu. Lian mengikuti tatapannya, wajahnya berubah serius saat melihat sosok yang berdiri di hadapan mereka.
"Naga penjaga," gumamnya dengan nada penuh kewaspadaan.
Naga itu memandang Lian dengan pandangan tajam. "Kau datang membawa dendam di hatimu, pemburu naga."
Lian mengepalkan tangan, tetapi Reyna memotong sebelum dia sempat bicara. "Dia bukan musuh. Kami ada di sini bersama."
Naga itu terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Jika begitu, perjalanan kalian harus dilanjutkan bersama. Tapi ketahuilah, jalan yang kalian tempuh akan dipenuhi bayangan masa lalu dan pilihan yang sulit."
Reyna menatap Lian, matanya penuh kekhawatiran. "Apa yang terjadi di luar sana?"
Lian menggeleng. "Makhluk itu mundur, tapi aku tidak yakin untuk berapa lama. Kita harus segera keluar dari sini."
Naga itu melipat sayapnya, kembali menjadi siluet yang memudar ke dalam kegelapan. Namun sebelum lenyap, dia meninggalkan satu pesan terakhir:
"Di luar gua ini, kalian akan menemukan persimpangan yang menguji segalanya—kepercayaan, pengorbanan, dan kebenaran."
Cahaya merah di dalam gua meredup, menyisakan hanya keheningan. Reyna dan Lian saling pandang, memahami bahwa mereka baru saja melangkah ke dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari diri mereka sendiri.
"Persimpangan," gumam Reyna. "Apa maksudnya?"
Lian menatap jalan keluar dari gua. "Hanya ada satu cara untuk mengetahuinya. Kita harus terus maju."
Dengan berat hati dan keberanian yang mulai tumbuh, Reyna mengikuti Lian keluar dari gua, meninggalkan cahaya merah dan naga penjaga di belakang mereka. Tapi di dalam dirinya, dia tahu bahwa langkah mereka berikutnya akan menentukan segalanya.
Udara malam menyelimuti hutan dengan dingin yang menusuk tulang. Namun, di tengah kegelapan itu, ada cahaya yang tidak biasa—terang, tetapi lembut. Reyna dan Lian berjalan perlahan menuju sumbernya, dikelilingi oleh pepohonan yang seolah bergerak mengikuti langkah mereka.
"Ini aneh," bisik Reyna, suaranya hampir tenggelam oleh suara dedaunan yang bergesekan. "Cahaya itu... sepertinya memanggilku."
Lian mengangguk tanpa berkata apa-apa. Tangan kirinya menggenggam pedang, sementara matanya terus mengawasi sekeliling, waspada terhadap bahaya.
Cahaya itu semakin dekat. Akhirnya, mereka tiba di sebuah tanah lapang yang dikelilingi lingkaran pohon raksasa. Di tengahnya, sebuah kristal bercahaya berdiri, memancarkan sinar putih keperakan yang menenangkan namun misterius.
"Kristal Bintang," kata Lian, suaranya penuh kehati-hatian. "Aku pernah mendengar tentang ini, tapi tidak pernah melihatnya secara langsung."
Reyna melangkah mendekat, matanya terpaku pada cahaya yang memancar dari kristal itu. "Apa yang kau tahu tentang ini?" tanyanya tanpa menoleh.
Lian ragu sejenak sebelum menjawab, "Mereka mengatakan bahwa Kristal Bintang adalah jembatan antara dunia manusia dan makhluk mitos. Hanya mereka yang memiliki tujuan murni yang bisa mendekatinya tanpa terluka."
Reyna berhenti di depan kristal itu, jaraknya hanya beberapa langkah. Cahaya itu terasa hangat, seperti menyelimuti tubuhnya dalam kehangatan yang anehnya akrab. "Aku merasakan sesuatu," katanya pelan.
Lian mendekat, tetapi sebelum dia bisa mencapai Reyna, suara berbisik memenuhi udara.
"Pilihlah dengan hati-hati, anak manusia."
Reyna tersentak dan menoleh ke Lian. "Kau dengar itu?"
Lian mengangguk, wajahnya tegang. "Ya. Suara ini..."
Kristal itu tiba-tiba memancarkan cahaya yang lebih terang, membuat Reyna menutup matanya sejenak. Ketika dia membukanya kembali, sosok bayangan mulai terbentuk di dalam kristal. Itu adalah bayangan naga, matanya bersinar seperti bintang.
"Naga Penjaga," bisik Reyna.
Bayangan naga itu tidak berbicara, tetapi cahaya dari kristal mulai membentuk simbol di udara—simbol yang sama dengan yang dilihat Reyna di gua sebelumnya. Lambang itu perlahan melayang ke arahnya, dan sebelum dia sempat bereaksi, simbol itu menyatu dengan dadanya.
Reyna jatuh berlutut, tangannya mencengkeram tanah. Lian bergegas mendekatinya, tetapi sebuah lingkaran cahaya memisahkan mereka.
"Reyna!" seru Lian, mencoba menembus cahaya itu, tetapi tidak berhasil.
Reyna merasa tubuhnya ringan, seolah-olah jiwanya ditarik ke dimensi lain. Dia melihat kilasan-kilasan masa lalu—dirinya bermain di desa, wajah keluarganya, lalu pemandangan kehancuran yang terjadi saat naga menyerang. Tapi di antara gambaran-gambaran itu, ada sesuatu yang baru: bayangan dirinya berdiri bersama seekor naga besar, dengan sinar terang yang mengelilingi mereka.
"Ini... apa artinya?" gumamnya.
Suara naga penjaga bergema di dalam pikirannya. "Ini adalah takdirmu, Reyna. Kau adalah cahaya di tengah kegelapan. Tapi untuk menjadi itu, kau harus memilih: apakah kau akan membiarkan cinta membimbingmu, atau kau akan menyerah pada ketakutan?"
Pilihan itu berputar di pikirannya, berat dan tak terhindarkan. Dia tahu apa yang dipertaruhkan, tetapi jawaban itu tetap terasa jauh.
Cahaya dari kristal mulai meredup, dan Reyna merasakan dirinya kembali ke tubuhnya. Saat lingkaran cahaya menghilang, dia membuka matanya dan melihat Lian berlutut di sampingnya, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Kau baik-baik saja?" tanya Lian.
Reyna mengangguk perlahan, tetapi di dalam dirinya, dia tahu bahwa sesuatu telah berubah. Simbol yang menyatu dengan dadanya terasa seperti membara, meski tidak menyakitkan.
"Lian," katanya, suaranya bergetar. "Kita tidak bisa kembali. Jalan kita hanya ke depan."
Lian menatapnya lama, lalu mengangguk. "Kalau begitu, aku akan bersamamu. Apa pun yang ada di depan, kita akan hadapi bersama."
Mereka berdiri, meninggalkan Kristal Bintang di belakang mereka. Tapi di hati Reyna, dia tahu bahwa cahaya itu akan terus membimbingnya, meskipun kegelapan yang lebih besar menunggu di depan.