Desiran angin malam membawa aroma lembap tanah hutan, bercampur dengan bayangan yang semakin memanjang di bawah cahaya bulan. Reyna memandang ke arah cahaya redup yang terpancar dari mulut gua di depan mereka. Di belakangnya, Lian menggenggam erat gagang pedangnya, matanya tajam menyapu kegelapan seakan mencari ancaman tersembunyi.
"Gua ini seperti hidup," gumam Reyna, suaranya bergetar. "Aku bisa merasakannya, ada sesuatu di dalam sana yang menunggu."
Lian mengangguk tanpa kata. Sorot matanya berubah serius, dan ia melangkah maju lebih dulu, melindungi Reyna. Gua ini bukan sekadar tempat gelap dan kosong; ini adalah titik di mana dunia yang nyata dan yang magis bertemu. Setiap langkah terasa berat, seperti udara sendiri melawan mereka.
Setelah beberapa langkah memasuki gua, sebuah suara berat menggema, memenuhi seluruh ruangan.
"Kau datang akhirnya, pewaris takdir."
Reyna terhenti, matanya melebar. "Siapa itu?" serunya, menatap sekeliling gua yang kini dipenuhi cahaya merah samar.
Dari dalam kegelapan, muncul seekor naga besar, tubuhnya bersinar dengan retakan cahaya seperti lava yang mengalir. Mata naga itu menatap langsung ke arah Reyna.
"Akulah penjaga pintu antara kehidupan dan kehancuran," kata naga itu, suaranya dalam dan penuh wibawa. "Dan kau, Reyna, adalah kunci dari takdir dunia ini."
Reyna merasa lututnya melemas. "Aku? Aku hanya seorang gadis biasa. Aku bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Naga itu mendekat, tubuh besarnya mengisi hampir seluruh gua. Panas dari tubuhnya terasa membakar, namun tidak menyakitkan. "Tidak ada yang biasa tentangmu, Reyna. Kau telah terhubung dengan Naga Sejuta Cinta. Itu bukan pilihan—itu adalah takdir."
Lian, yang berdiri di sisi Reyna, mengangkat pedangnya, menatap naga itu dengan penuh kewaspadaan. "Apa yang kau inginkan darinya?"
Naga itu mengalihkan pandangan ke Lian, matanya memancarkan kekuatan kuno. "Kau, pemburu naga, tidak memiliki hak untuk menanyakan pertanyaan itu. Namun, aku akan memberitahumu. Gadis ini adalah satu-satunya harapan untuk menyelamatkan dunia ini dari kehancuran."
Reyna terengah-engah, mencoba mencerna kata-kata naga itu. "Tapi... bagaimana aku bisa melakukannya? Aku bahkan tidak tahu apa yang harus aku lakukan."
Naga itu membuka mulutnya sedikit, mengeluarkan suara seperti tawa kecil yang bergema. "Itulah tujuan perjalananmu. Hanya dengan melewati ujian yang akan kau temui, kau akan memahami kekuatan sejati cinta dan pengorbanan. Kau harus memilih dengan hati-hati, Reyna. Setiap langkahmu akan membawa konsekuensi."
Sebelum Reyna sempat bertanya lebih lanjut, gua mulai bergetar. Batu-batu kecil berjatuhan dari langit-langit, dan naga itu mundur ke dalam kegelapan.
"Ingat, Reyna," suara naga itu kembali bergema. "Kebenaran tidak selalu terlihat jelas. Percayalah pada hatimu."
Cahaya merah mulai memudar, dan gua kembali tenggelam dalam kegelapan. Lian menarik Reyna keluar dengan cepat, menghindari runtuhan batu yang mulai jatuh.
Ketika mereka akhirnya keluar dari gua, Reyna jatuh terduduk, napasnya terengah-engah. "Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya, Lian," katanya dengan suara serak. "Aku tidak tahu apakah aku cukup kuat."
Lian berlutut di depannya, menatapnya dengan serius. "Kau mungkin tidak percaya pada dirimu sendiri sekarang, tapi aku telah melihat apa yang kau lakukan. Kau memiliki keberanian, Reyna. Dan kau tidak akan sendirian. Kita akan melalui ini bersama-sama."
Reyna mengangguk pelan, meskipun hatinya masih dipenuhi ketakutan. Namun, di balik ketakutannya, ada percikan kecil harapan.
Malam itu, di bawah langit yang dipenuhi bintang, Reyna dan Lian menyusun rencana untuk perjalanan berikutnya. Mereka tahu bahwa ujian yang akan datang tidak akan mudah, tetapi mereka juga tahu bahwa di suatu tempat, ada jawaban yang menunggu mereka.
Hutan yang sunyi kini berubah menjadi labirin bayangan dan bisikan. Pohon-pohon menjulang tinggi seperti menara penjaga yang mengintimidasi, dan kabut tebal melingkupi setiap sudut, membuat jarak pandang semakin terbatas. Reyna merasakan sesuatu yang aneh di udara—sesuatu yang lebih dari sekadar dingin malam. Itu adalah perasaan diawasi.
"Lian," bisiknya dengan suara bergetar. "Kau yakin ini jalan yang benar?"
Lian, yang berjalan beberapa langkah di depan, menoleh dengan pandangan tajam. "Tidak ada jalan lain. Jika legenda itu benar, gua di ujung hutan ini adalah tempat segel pertama berada."
Reyna mencoba menenangkan dirinya. Kata-kata naga penjaga di gua sebelumnya masih terngiang di telinganya: "Kebenaran tidak selalu terlihat jelas." Kata-kata itu terasa seperti peringatan, tetapi juga sebuah teka-teki yang belum ia pahami.
Saat mereka melangkah lebih jauh, Reyna mulai menyadari bahwa jalan setapak yang mereka lalui tampak berbeda. Setiap langkah membawa perubahan kecil—batu-batu yang tersusun seperti pola, akar-akar pohon yang membentuk lingkaran, dan suara aneh yang samar seperti sebuah lagu dari jauh.
"Ini seperti perangkap," gumamnya pelan.
Lian berhenti mendadak, mengangkat tangan sebagai isyarat agar Reyna berhenti. Matanya terpaku pada sesuatu di tanah—jejak kaki besar dengan cakar tajam yang membekas di lumpur.
"Naga lain?" tanya Reyna, napasnya tertahan.
Lian menggeleng pelan, wajahnya penuh kehati-hatian. "Bukan naga. Ini sesuatu yang lain. Sesuatu yang lebih liar."
Mereka melanjutkan perjalanan dengan lebih waspada. Langkah mereka diperlambat oleh kegelapan dan rasa takut yang merayap. Namun, saat mereka mendekati sebuah bukaan kecil di tengah hutan, pemandangan yang tak terduga membuat Reyna terdiam.
Di tengah bukaan itu berdiri sebuah patung besar. Bentuknya menyerupai seekor naga dengan sayap terkembang, tetapi patung itu tampak retak dan rusak. Di sekelilingnya, bunga-bunga putih tumbuh liar, bersinar lembut di bawah cahaya bulan.
"Apa ini?" tanya Reyna dengan nada heran.
Lian mendekat, mengamati patung itu dengan seksama. "Ini bukan sekadar patung," katanya pelan. "Ini adalah monumen. Sesuatu yang dibuat untuk mengenang naga kuno. Tapi kenapa ada di sini?"
Reyna menyentuh patung itu, dan tiba-tiba sebuah getaran kecil menjalar dari tangannya ke seluruh tubuh. Matanya terbuka lebar saat bayangan-bayangan berkelebat di benaknya—sebuah kota yang terbakar, naga-naga yang terbang di langit, dan sosok manusia yang memegang pedang bercahaya.
"Aku melihat sesuatu," katanya dengan suara serak. "Sebuah pertempuran... kehancuran."
Lian meraih bahunya, menariknya kembali. "Jangan terlalu lama menyentuhnya. Ini bisa menjadi semacam peninggalan magis."
Sebelum mereka sempat melangkah lebih jauh, tanah di bawah kaki mereka mulai bergetar. Suara geraman rendah menggema, semakin mendekat. Reyna dan Lian segera bersiap, mata mereka memindai kegelapan di sekitar mereka.
Dari bayangan pepohonan, muncul makhluk besar berbulu dengan mata merah menyala. Makhluk itu menyerupai serigala, tetapi tubuhnya jauh lebih besar, dan cakar-cakarnya tampak seperti baja tajam.
"Bayangan penjaga," desis Lian. "Makhluk ini diciptakan untuk melindungi sesuatu."
Reyna menelan ludah, mencoba menahan rasa takutnya. "Melindungi apa?"
Lian mengangkat pedangnya, matanya tak pernah lepas dari makhluk itu. "Mungkin jawabannya ada di dalam gua yang kita cari."
Makhluk itu melolong keras, dan sebelum Reyna sempat berpikir lebih jauh, ia melompat ke arah mereka. Lian dengan cepat menangkis serangan pertama dengan pedangnya, percikan api menyala saat cakar makhluk itu menghantam logam.
"Reyna, lari ke arah gua!" teriak Lian.
"Tapi kau—"
"Cepat pergi! Aku akan mengalihkan perhatiannya!"
Meski ragu, Reyna tahu bahwa mereka tidak punya banyak pilihan. Dengan napas tertahan, dia berlari melewati makhluk itu, menuju jalan setapak yang semakin gelap. Suara pertarungan Lian dan geraman makhluk itu menggema di belakangnya, tetapi dia terus berlari, mengikuti instingnya.
Saat dia mencapai sebuah tebing, Reyna berhenti, terengah-engah. Di depannya adalah sebuah gua besar dengan cahaya merah samar yang memancar dari dalamnya. Dia tahu ini adalah tujuan mereka, tetapi langkahnya terhenti oleh perasaan takut yang membekukan.
"Aku tidak bisa melakukannya sendiri," gumamnya, air mata mengalir di pipinya.
Namun, suara dari dalam benaknya, suara naga penjaga yang pernah ia temui, kembali terdengar: "Percayalah pada hatimu, Reyna."
Dengan gemetar, dia melangkah masuk ke dalam gua, menyadari bahwa perjalanan ini baru saja dimulai.