Aku kembali ke apart ku dengan keadaan campur aduk. Mengingat Mey melakukan tingkah konyol dan membuatku salah tingkah dari siang hingga malam.
Aku terduduk diam di sofa empuk, terhanyut dalam memori yang terus memutar ulang kejadian tak terduga hari ini. Ini perasaan yang hampir sama seperti yang aku rasakan terhadap mantan pacarku dulu, Caka. Rasanya ganjal sekali ketika aku merasakannya terhadap Mey.
'Ah, gak mungkin.' Protesku dalam hati.
Aku memutuskan untuk menelpon Yoto agar hati dan pikiranku tenang,
"Hallo Yo"
[Ganggu aja ni!]
"Jangan tutup dulu! Aku tau kau lagi baca novel kan?"
[Kenapa telpon?]
Aku menghela nafas panjang guna mempersiapkan diri untuk memulai sesi curhatku dengan Yoto.
"Kayaknya aku jatuh cinta lagi deh."
[Hah?? Sama siapa?]
Terdengar Yo sangat antusias sekali dengan kelanjutan dari pengungkapan kejujuranku kali ini.
"Intinya sama perempuan."
[NO.. WAYY!! Sama ku ya.]
"Kampret, jangan asal nebak!! Ada saat-saat tertentu aku berdebar ketika di dekatnya."
[Hem, sesak eek kali kau.]
"Woy satt!! Bisa serius gak?"
Yoto tertawa lepas bahkan, dari telpon pun suara tawanya serasa guntur menyambar gendang telingaku.
"Kan kau lebih berpengalaman soal cinta begini. Menurutmu perasaanku ini cinta apa bukan?"
[hemm, kau aja ragu sama perasaanmu.]
"Ya, karena aku normal Yo. Aku gak pernah se-salting ini sama perempuan."
[Oy, kalau kau ngerasa jatuh cinta sama perempuan itu gak normal aku saranin tinggalkan lah. Kasian wanita itu harus bertarung dengan pikiranmu yang masih terikut normalisasi dunia kalau perempuan harus bersama laki-laki.]
Aku terdiam, rasanya ingin berdebat tapi bingung karena apa yang dikatakan Yo ada benarnya. Baru kali ini aku kehabisan kata-kata untuk melawan Yoto.
"Aku harus gimana Yo?"
[Abaikan aja! Jangan digubris tapi-]
"Tapi?"
[Kalau kau udah berusaha mengabaikannya tetapi, rasa menginginkan wanita itu lebih kuat. Utarakanlah perasaanmu!]
"Yo.."
[Yang bisa mengerti dirimu sendiri ya cuma kau Oy. Aku hanya gak mau kau menyesal dengan langkah yang kau nanti ambil. Apapun itu nanti akhirnya, kau masih punya aku yang selalu mendukungmu.]
Aku tersenyum bahagia dengan apa yang diucapkan Yoto. Senang rasanya ada Yoto di dalam kehidupanku. Meski, hidupnya selalu penuh dengan candaan di segala kesempatan tetapi saat bertingkah serius Yoto akan menjadi pendengar dan penasihat yang baik untukku. Dia tidak pernah menutup dirinya dan selalu mempunyai pikiran terbuka untuk semua masalah yang kuhadapi.
***
Malamku berakhir dengan menyisakan kantuk yang luar biasa. Aku akui aku tidak bisa tidur semalaman karena memikirkan Mey dan juga persaanku terhadap Mey.
Aku gak tau akan berakhir seperti apa hariku hari ini. Aku meregangkan tanganku bersiap untuk bekerja ditemani dengan view laut dari cafe, "Hoam."
Tiba-tiba mulut ku dibekap dari belakang. "Oy gak tidur sampai lebar gitu nguapnya?" Tanya Mey mengkhawatirkan ku.
Gimana aku bisa tidur? Mey, kamu meninggalkan ku dengan rasa penasaran, semuanya campur aduk. Sumpah ya, kamu tu orang yang paling susah diprediksi. Kamu pakai pelet atau apa sih?
"Kalau Kamu memang se-ngantuk itu harusnya kemarin gak pulang aja, Oy." Ucapnya lembut yang terus memandangiku. Sontak aku langsung menoleh ke arah Mey.
"Aneh aneh deh!"
Aku mencoba menjauhkan diriku dari Mey. Mey yang mungkin menyadari jarak duduk kami terlalu jauh langsung menarik lenganku untuk bisa lebih dekat dengannya.
"Sekarang Oy udah kayak zombie!" Celetuk Mey tertawa kecil sambil menekan-nekan pipi kiri ku dengan jari telunjuknya.
"Yuk kerja yuk Mey. Jangan makan gaji buta." Canda ku.
"Lah kamu yang jangan makan gaji buta." Balasnya menpuk pundakku.
Kami tertawa bersama. Tak terduga bagi ku Mey bisa selucu ini.
***
Hubungan kami makin hari makin membaik. Kami sering bertemu di lokasi bercanda bersama. Kadang, sisi menjengkelkan Mey keluar saat beberapa pekerjaan ku terasa kurang puas baginya. Biasanya, Mey meminta ku merevisi pekerjaanku berulang-ulang membuat ku ingin sekali menendang pant*tnya hingga terjungkal ke laut.
Ya, mau gimana lagi Mey tetap lah bos nya. Namun, tanpa ku sadari aku sangat menyukai sisi serius Mey saat berbicara mengenai bisnisnya dengan Ita. Dia terlihat memukau saat serius bekerja, terlihat aura panas terpancar ketika menegur bawahannya.
Pemandangan seperti itu benar-benar membuatku berasap. Bagaimana aku bisa menjauhinya kalau panorama seperti ini akan ku lihat setiap saat aku bekerja?
Ibarat pergi ke restoran, sifat tegas Mey terlihat menggoda seperti makanan utama yang siap untuk di santap dan selalu di akhiri dengan senyum Mey yang manis sebagai hidangan penutupnya.
'Andai aku bisa mencicipinya, bagaimana ya rasanya?'
'Aku ingin sekali mencicipinya tapi, bagaimana caranya?'. Aku berdecak kagum dalam lamunan ku.
Plakkkkk.....
Yoto menyikut kepalaku sangat keras membuatku refleks teriak kencang, "auuu!!! Yooooo bangsat!!"
"Melamun aja! Lagi naksir Mey." Goda Yoto cekikikan.
Memangnya sekelihatan itu ya kalau aku sedang meperhatikan Mey.
"Ihh Gilakk !!" Tepis ku.
Yoto mengarahkan pandangannya untuk melihat Mey yang sedari tadi sedang berdiskusi dengan Ita. Lalu, dengan santai dia merangkul ku pelan.
"Dari tadi ngeliatin Mey. Ngebayangin jorok?" Makin lama rangkulannya semakin kuat . Yoto seperti ingin memotong leherku dengan rangkulannya.
Aku berusaha melepaskan pitingan Yoto yang lumayan menyakitkan itu.
"Lihat ini!! Revisi lagi, revisi lagi. Si Mey maunya apa sih!! Begini salah, di benerin gitu juga salah. Ularrr!" Aku berpura-pura kesal untuk menutupi pikiran busuk ku yang jelas-jelas tercium oleh Yoto tadi.
"Sabar Oy! Cafe udah rampung ni. Tinggal rumah Mey doang. Namanya juga rumah pribadi pasti dia pengen yang terbaik." Yoto yang tertipu, bertingkah panik untuk menenangkanku.
Mungkin dia merasa bersalah karena telah menganggu lamunan ku. Pasti, Yoto berpikir dia telah mengacaukan moodku untuk melanjutkan pekerjaan kami.
Aku merasa bangga dengan diriku sendiri karena berhasil mengelabui Yoto. Kepalang basah jadi, aku memutuskan untuk melanjutkan misi pura-pura kesalku ini. Setidaknya, Yoto tidak harus curiga kalau perempuan yang ku sukai itu adalah Mey.
"Pengen kali ku sepak kepalanya itu. Kalau ini aku revisi sekali lagi masih salah. Beneran ku sleding tumitnya." Ujarku lagi dengan memasang wajah kesal.
" Oy mau sleding aku?" Tiba-tiba suara lembut menjamah kupingku.
Aku dan Yoto sama-sama sangat mengenali suara candu itu. Kami membeku sepersekian detik. Yoto memberanikan diri memalingkan wajahnya terlebih dahulu untuk melihat ke arah suara itu berasal.
"Sorry Mey, aku gak ikutan. Cabut duluan ya, Ita manggil tu!" Yoto berlari meninggalkan kami berdua.
Mey terpaku padaku dan memilih untuk duduk di sebelahku sambil memandangi ku terus menerus. Aku berusaha mengabaikannya dan melanjutkan menggambar untuk merevisi pekerjaanku. Merasa diacuhkan, Mey menggeser duduknya untuk mematikan jarak antara kami berdua.
Sekarang ini, kami duduk bersebelahan sangat dekat sampai paha ku terhimpit oleh pahanya.
Mey menarik dagu ku, membuatku mau tak mau harus mengikuti arah tarikan itu. Tak di sangka, bibir kami hampir bersentuhan.
Duk...Duk..Duk...
Jantungku tak terkendali. Rasanya seakan-akan ia ingin melompat keluar dari mulut ku. Suara degupannya kencang sekali, seperti ingin mengatakan kepada dunia, 'Wey, tolong!! di dalam sini engap.'
Mey sangat berani kali ini. Dalam jarak kami yang sangat berhimpitan, dia terus menatap mataku tajam. Aku mencoba mendorongnya menjauh.
"Mey, banyak orang." Ucapku berbisik.
Mey mendekatkan bibirnya ke telingaku sambil berbisik halus, "Haruskah kita pergi ke tempat yang lebih sunyi?"
Bulu kudukku berdiri, jantungku rasanya sudah tidak merasakan aman lagi. Aku kaget Mey selantang itu mengucapkannya dengan nada nakal.
Mey seperti menggoda ku, tapi aku selalu menentangnya tidak mungkin karena yang ku tau Mey sudah memiliki Pi Fon. Niat kamu apa Mey?