Kael terpaku di tempatnya, memandang gadis itu dengan mata penuh campuran emosi. Ellena, dengan pakaian sederhana dan wajah yang masih sama seperti yang dia ingat, berdiri di antara dirinya dan Darion.
"Ellena," Kael berbisik, suaranya serak oleh kekejutan. "Apa yang kau lakukan di sini?"
Ellena tidak langsung menjawab. Dia memandang Darion yang masih terkapar di tanah, darah menetes dari luka di lengannya. Wajahnya tegas, tetapi sorot matanya menunjukkan kekhawatiran.
"Aku boleh bertanya hal yang sama padamu, Kael," katanya akhirnya.
"Apa yang terjadi padamu? Apa yang kau lakukan pada Darion?"
Kael mengernyit, mencuba menenangkan emosinya. "Dia menyerangku lebih dulu. Aku hanya membela diri."
Ellena bergerak pelan, berjalan mendekati Darion dan membantunya duduk. "Kael, aku dengar banyak hal sejak... kejadian itu. Tentang apa yang berlaku pada keluargamu.
Tentang ritual itu." Dia berhenti, menatap Kael dengan penuh duka. "Aku tahu kau terluka, tapi ini bukan cara untuk memperbaiki semuanya."
Kael tertawa getir. "Memperbaiki?
Tidak ada yang boleh diperbaiki, Ellena. Aku hanya mengambil kembali apa yang telah mereka rampas dariku."
Ellena berdiri, mendekati Kael dengan hati-hati, seperti dia sedang mendekati binatang buas yang terluka. "Kau tidak seperti ini dulu.
Kau bukan orang yang hanya mencari balas dendam. Kau adalah orang yang melindungi mereka yang lemah, yang percaya pada keadilan."
"Kepercayaan itu adalah kesalahan terbesarku" potong Kael tajam.
"Keadilan itu tidak ada. Dunia ini hanya dihuni oleh mereka yang kuat dan mereka yang menjadi korban."
Ellena terdiam sejenak, memandang Kael dengan sorot yang sulit ditebak. "Apa yang telah mereka lakukan padamu?"
Kael hendak menjawab, tetapi suara dingin dari kristal hitam dalam dirinya bergema dalam fikirannya.
"Hati-hati, Kael. Kelemahan datang dari keraguan. Jangan biarkan mereka menggoyahkanmu."
Kael mengepalkan tinjunya. "Mereka menghancurkanku, Ellena. Dan sekarang, aku akan menghancurkan mereka."
Namun, sebelum dia boleh melanjutkan, suara langkah kaki lain terdengar. Dari dalam hutan, kumpulan lelaki bersenjata muncul, mengenakan seragam Ordo Cahaya.
Di depan mereka, seorang lelaki jangkung dengan armor lengkap melangkah maju. Wajahnya keras, penuh kuasa.
"Kael" katanya dengan suara dingin.
"Sudah cukup kekacauan yang kau sebabkan. Kau harus menyerah sekarang.
Kael menyipitkan mata. Dia mengenali lelaki itu. Nathaniel, salah satu perintah Ordo, orang yang dulu dia hormati sebagai pemimpin yang adil. Tapi sekarang, dia hanya melihat seorang pengkhianat.
Nathaniel melirik Ellena dan Darion.
"Kau membawa dua orang yang tidak bersalah ke dalam masalah ini.
Apa ini bahagian dari rencanamu, Kael? Membawa kehancuran di mana-mana?"
Kael tertawa pendek, penuh dengan kebencian. "Tidak bersalah? Tidak ada yang tidak bersalah di Ordo ini.
Kalian semua terlibat, langsung atau tidak langsung."
Nathaniel mengangkat tangannya, memberi isyarat pada pasukannya untuk bersiap. "Ini adalah peringatan terakhirku. Menyerah, atau kami akan menangkapmu dengan paksa."
Kael tidak menjawab. Sebaliknya, dia mengangkat tangan, simbol hitam samar muncul di telapak tangannya. Walaupun Gluttony tidak boleh diaktifkan, warna hitam yang diperoleh daripada Razor Claws perlahan-lahan muncul.
"Kalian boleh mencuba," kata Kael dingin.
Pertempuran pecah dalam sekejap.
Pasukan Ordo menyerang dari segala arah. Kael bergerak cepat, mengelakkan serangan tombak dan pedang sambil membalas dengan cakar hitamnya. Dia berjaya menjatuhkan beberapa lawan, tetapi jumlah mereka terlalu banyak.
Ellena berteriak, "Hentikan! Jangan lakukan ini!" Namun, suaranya tenggelam di tengah dentingan senjata.
Nathaniel maju, mengayunkan pedang besar yang hampir menghantam Kael. Kael mundur, nafasnya berat. Tubuhnya belum pulih sepenuhnya, dan dia tahu dia tidak boleh menang dalam keadaan ini.
Sementara itu, Darion bangit dengan susah payah, memandang Kael dengan campuran rasa bersalah dan tekad. "Ellena, kita harus pergi. Ini terlalu berbahaya."
Namun, Ellena melihat. "Tidak.
Aku tidak akan meninggalkannya."
Dalam keputusasaan, Kael memandang sekeliling, mencari jalan keluar. Namun, dia tahu jika dia lari sekarang, Nathaniel dan pasukannya akan memburu Ellena dan Darion juga.
Dia memandang Nathaniel, mata mereka bertemu. "Ini belum selesai" katanya dengan suara rendah.
Sebelum Nathaniel boleh menjawab, Kael menggunakan semua tenaganya untuk melancarkan satu pasukan Ordo, membuka jalan keluar ke dalam hutan. Dengan susah payah, dia membawa diri ke dalam kegelapan, meninggalkan Ellena dan Darion di belakang.
Ellena memandang ke arah Kael menghilang, air mata mengalir di pipinya. "Kael... apa yang telah mereka lakukan padamu?"
Nathaniel menepuk pundaknya dengan pelan. "Dia telah memilih jalannya sendiri, Ellena. Kita hanya boleh berharap dia sedar sebelum terlambat."
Di dalam hutan, Kael berlari sejauh mungkin, tubuhnya kelelahan dan fikirannya dipenuhi rasa bersalah. Namun, di balik rasa bersalah itu, dia tahu satu hal: pertempuran ini hanyalah awal. Jika dia ingin bertahan dan membalas dendam, dia harus menjadi lebih kuat.
"Kau telah melangkah lebih jauh dari titik tanpa kembali, Kael," suara kristal bergema lagi. "Kini hanya ada satu jalan: terus maju."
Kael menggenggam dadanya, di mana kristal itu bersemayam. "Aku tahu. Dan aku tidak akan berhenti"