Chereads / Pendakian Gunung Larangan (Lirang) / Chapter 2 - Menapaki Misteri

Chapter 2 - Menapaki Misteri

Langkah demi langkah, keenam sahabat itu semakin jauh meninggalkan desa kecil di kaki gunung. Jalan setapak mulai berubah menjadi tanah berbatu, menuntut perhatian penuh agar tidak tergelincir. Suasana berangsur berubah; cahaya matahari yang awalnya cerah kini tertutup oleh rimbunnya pepohonan dan bayangan gunung. Di sekeliling mereka, hutan lebat menyebarkan aroma khas tanah basah dan dedaunan yang jatuh.

Caca, seperti biasa, mengambil setiap kesempatan untuk memotret. Sesekali ia berhenti, mengarahkan kameranya ke pepohonan tinggi, ke jejak-jejak kaki yang mereka tinggalkan di tanah, atau bahkan ke teman-temannya yang berjalan di depan. Bayu yang selalu bersemangat, berlari kecil di depan, melemparkan komentar-komentar lucu yang membuat yang lain tertawa di sela-sela lelahnya pendakian.

"Hey, Zena, kamu bawa snack rahasia lagi, nggak?" canda Bayu sambil menengok ke arah Zena yang berjalan dengan ransel lebih besar darinya.

Zena meliriknya dari balik kacamata dan tersenyum tipis. "Sudah aku rencanakan, tapi kali ini hanya untuk situasi darurat. Jangan harap kamu bisa minta snack tiap lima menit!"

Salsa dan Xio tertawa, sementara Adi menepuk pundak Bayu. "Kalau lapar, makan dari bekal masing-masing dulu. Ini perjalanan panjang, Bayu."

Salsa menambahkan, "Kalian dengar legenda tentang Gunung Lirang ini, kan? Katanya, ada bagian hutan yang nggak pernah tersentuh sinar matahari. Bayangkan, bagian hutan itu selalu gelap, bahkan di siang hari."

Xio mengangguk pelan, "Katanya juga, di sana ada suara aneh, suara yang katanya bisa membuat kita kehilangan arah. Dulu, ada beberapa pendaki yang katanya nggak pernah kembali."

Keheningan menyelimuti sejenak saat ucapan Xio menggantung di udara. Meski tertarik dengan misteri, mereka tak bisa menutupi ketegangan yang mulai terasa. Gunung Lirang tidak hanya dikenal karena keindahannya, tetapi juga karena cerita-cerita mistis yang melekat kuat dalam ingatan penduduk desa sekitar.

Namun Bayu, dengan sikap cerianya, tertawa kecil dan berkata, "Hah, cuma cerita buat nakut-nakutin pendaki amatir, itu. Gunung ini nggak seangker yang orang-orang ceritakan. Kita pasti bisa menaklukannya!"

Adi, yang mendengarkan sambil tetap memperhatikan jalan, akhirnya berkata, "Jangan anggap remeh, Bayu. Memang cerita bisa dibesar-besarkan, tapi bukan berarti kita bisa mengabaikan peringatan." Adi tahu, setiap gunung memiliki karakternya sendiri, dan seringkali sifat meremehkan bisa berujung pada bencana.

---

Setelah berjalan beberapa jam, mereka sampai di sebuah dataran kecil yang cukup terbuka. Di sana, terdapat papan peringatan yang tampak usang dengan tulisan hampir terhapus: *PERINGATAN! AREA TERBATAS*. Huruf-hurufnya sudah mulai memudar, tetapi cukup untuk membuat siapa pun paham akan arti papan tersebut. Keenam sahabat itu terdiam, saling bertukar pandang.

Caca, meski sedikit gugup, berusaha terlihat santai dan berkata, "Mungkin ini hanya peringatan biasa, biar nggak ada orang yang iseng masuk."

Zena yang lebih berhati-hati, berusaha memahami arti di balik peringatan itu. "Mungkin ada jalur yang berbahaya di depan. Kita harus waspada."

Namun, Adi merasa tergelitik oleh rasa ingin tahu. Ia tahu ada resiko, tetapi baginya dan teman-temannya, tantangan inilah yang mereka cari. "Aku pikir, kita sudah terlalu jauh untuk mundur sekarang. Tapi, kita harus tetap bersama dan jangan berpisah. Setiap langkah harus dihitung."

Mereka melanjutkan perjalanan, kali ini lebih berhati-hati. Hutan di sekeliling mereka semakin lebat, dan cahaya matahari nyaris tak mampu menembus dahan-dahan pohon yang menjulang tinggi. Suara alam yang tadi terdengar riuh mulai memudar, tergantikan oleh keheningan aneh yang membuat jantung mereka berdegup lebih cepat.

Di tengah keheningan itu, tiba-tiba terdengar suara langkah-langkah berat dari arah samping. Salsa memutar kepalanya dengan cepat, dan yang lain mengikuti arah pandangnya. Tak ada apa-apa, hanya pohon-pohon tua yang berdiri diam.

"Ada yang dengar suara itu?" tanya Salsa dengan suara berbisik.

Xio, yang selama ini paling peka dengan perubahan di sekitar, mengangguk pelan. "Aku dengar. Seperti suara langkah kaki… tapi aku nggak yakin dari mana asalnya."

Bayu mencoba berkelakar untuk mengusir kecemasan mereka, "Mungkin itu cuma rusa atau hewan liar lainnya, kan hutan ini memang habitat mereka."

Namun, Zena berbisik, "Tapi suara tadi… terlalu pelan untuk rusa dan terlalu berat untuk binatang kecil."

Keheningan kembali menyelimuti, hingga akhirnya Adi mengambil keputusan. "Kita terus maju. Tetap dekat, jangan ada yang tertinggal."

Mereka melanjutkan perjalanan, tetapi kini dengan firasat aneh. Langkah mereka terasa lebih berat, seolah ada sesuatu di sekitar yang mengawasi. Rasa ingin tahu yang mereka miliki di awal perjalanan kini mulai bergeser menjadi kehati-hatian yang semakin meningkat.

---

Mereka akhirnya tiba di sebuah lembah kecil yang dikelilingi oleh dinding batu tinggi. Tempat itu terlihat lebih terbuka, tetapi atmosfernya terasa jauh lebih berat. Di tengah lembah, terdapat sebuah batu besar yang tertutup lumut dan seakan menunggu di sana untuk waktu yang sangat lama. Bayu yang penasaran, melangkah mendekat ke batu itu.

"Ada sesuatu yang aneh di sini," gumamnya sambil menyentuh permukaan batu yang dingin dan basah.

Zena segera mengingatkan, "Bayu, jangan sembarangan menyentuh benda di tempat asing seperti ini. Kita nggak tahu apakah ada bahaya atau tidak."

Namun, Bayu tertawa, "Santai aja, Zen. Batu ini nggak mungkin—"

Sebelum Bayu sempat menyelesaikan kalimatnya, suara retakan pelan terdengar dari bawah kakinya. Tanah di sekitar batu mulai bergerak, seolah ada sesuatu yang terbangun dari dalam bumi. Keenamnya langsung mundur dengan kaget, dan dalam hitungan detik, tanah yang tadi mereka injak terbuka, memperlihatkan celah hitam yang dalam, seolah-olah sebuah pintu rahasia yang telah terkunci selama berabad-abad.

"Ini… ini bukan jalur pendakian biasa," ucap Adi dengan nada penuh kewaspadaan. "Kita harus hati-hati."

Xio yang biasanya pendiam berkata dengan tenang namun tegas, "Sepertinya, ada alasan kenapa gunung ini disebut Gunung Larangan."

Mereka saling bertukar pandang, merasakan ketegangan yang mulai menyelimuti. Ada sesuatu di gunung ini yang belum mereka pahami sepenuhnya, sesuatu yang lebih besar dari sekadar perjalanan mendaki.

Meski diliputi oleh kecemasan, rasa penasaran mereka jauh lebih kuat. Keenam sahabat ini akhirnya memutuskan untuk melanjutkan perjalanan, memasuki celah misterius itu, tak menyadari bahwa langkah mereka baru saja mengawali babak baru petualangan penuh misteri yang tak akan mudah dilupakan.