Perjalanan mereka semakin menegangkan saat kabut yang tebal menyelimuti hutan. Langkah mereka terasa semakin berat, dan suara jeritan yang menggema tadi masih terdengar terngiang-ngiang di kepala mereka. Mereka berusaha tetap bergerak maju, meskipun rasa cemas mulai merayapi setiap langkah. Tidak ada yang tahu ke mana arah mereka, dan hutan yang dulunya penuh misteri kini terasa lebih mengerikan.
Caca yang biasanya ceria dan tegar, tiba-tiba tampak berbeda. Wajahnya terlihat pucat dan pandangannya kosong, seperti ada sesuatu yang mengganggunya, sesuatu yang membuatnya semakin jauh dari mereka. Beberapa kali, teman-temannya mencoba mengajaknya berbicara, tapi Caca hanya menjawab dengan suara pelan, seolah terjebak dalam pikirannya sendiri.
"Kenapa kamu diam aja, Caca? Kita harus tetap semangat!" Salsa mencoba menghibur, tapi Caca hanya mengangguk lemah.
Namun, tiba-tiba, saat mereka berhenti sejenak untuk beristirahat, Caca hilang begitu saja. Tanpa ada jejak, tanpa ada suara, ia menghilang di antara pohon-pohon yang tinggi. Adi, yang berada paling dekat dengan Caca, terkejut. "Caca? Caca!" teriaknya, mencoba mencari sahabatnya di sekitar.
"Dia ke mana?" tanya Zena panik. "Kita harus cari dia!"
Bayu, Salsa, dan Xio mulai menyebar, memanggil-manggil nama Caca, namun tidak ada jawaban. Hutan semakin terasa mengancam, seperti ada sesuatu yang tak kasat mata mengawasi mereka. Tangan mereka saling menggenggam, berusaha mencari keberadaan Caca di antara kabut dan pohon-pohon yang seolah-olah semakin rapat.
"Dia nggak mungkin pergi jauh, kan?" tanya Xio, suaranya cemas. "Kita pasti bisa menemukannya."
Namun, semakin mereka mencari, semakin mereka merasa bahwa hutan ini seperti hidup, seperti menutup diri mereka dari dunia luar. Pohon-pohon yang mereka lewati sebelumnya tampak berbeda—seolah-olah sudah dipindahkan, mengarah ke jalur yang tidak pernah mereka lewati.
Salsa menangis, terisak-isak. "Caca nggak bisa hilang begitu aja. Dia nggak bisa sendirian di sini!"
Bayu mencoba menenangkan Salsa, meskipun rasa takutnya juga mulai menguasai dirinya. "Kita harus tetap tenang. Caca pasti ada di dekat sini. Kita hanya perlu lebih hati-hati."
Tetapi, saat mereka mendekati sebuah clearing, tiba-tiba mereka menemukan sesuatu yang mengerikan: jaket Caca tergeletak di tanah, tercabik-cabik dan penuh dengan goresan seperti tertarik oleh sesuatu yang sangat kuat. Tidak jauh dari situ, ada jejak kaki yang aneh, jejak yang tidak seperti jejak manusia—lebih seperti jejak sesuatu yang berat dan tak terdefinisikan.
Adi menatap jejak itu dengan khawatir. "Ini bukan jejak Caca. Apa yang terjadi di sini?"
Mereka semua berdiri diam, mencerna kenyataan yang semakin menakutkan ini. Hutan ini jelas bukan tempat yang biasa. Semua yang mereka alami terasa semakin nyata—bahwa ada sesuatu yang mengincar mereka satu per satu, dan sekarang, Caca adalah yang pertama hilang.
Mereka pun memutuskan untuk melanjutkan pencarian. Tapi semakin lama mereka berjalan, semakin berat langkah mereka. Sepertinya hutan ini memang ingin memisahkan mereka, ingin membuat mereka merasa kehilangan satu sama lain.
"Dia di mana, Caca?" Salsa terus berbisik, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Adi, dengan wajah serius, mengangguk. "Kita harus menemukan Caca, apapun yang terjadi. Hutan ini nggak boleh menang."
Dengan semangat yang tersisa, mereka berlari, mengikuti jejak yang ada, berharap mereka bisa menemukan sahabat mereka yang hilang sebelum terlambat. Tapi saat mereka melangkah lebih dalam ke dalam hutan, mereka semakin merasa bahwa hutan ini bukan hanya menghalangi mereka keluar—tapi juga menuntut sesuatu dari mereka.