Matahari mulai meredup, menandakan bahwa malam kembali menyelimuti hutan. Kabut semakin tebal, dan suhu udara semakin dingin, seolah alam itu sendiri menahan nafas. Keenam sahabat itu, meski sudah kehilangan Caca, tidak berhenti mencari. Namun, semakin mereka bergerak lebih dalam, semakin jelas bahwa mereka terjebak dalam sebuah permainan gelap yang tak mereka pahami.
Di tengah perjalanan, suara tawa yang familiar kembali terdengar, kali ini terdengar lebih dekat. Mereka menoleh dengan cepat, tetapi yang mereka lihat hanyalah bayangan kabur di balik pepohonan. Tawa itu, meskipun pelan, terasa menggetarkan jiwa.
"Suaranya... suara itu... sepertinya suara Caca," Salsa berbisik, suaranya gemetar.
Namun, yang lebih mengerikan adalah bagaimana suara tawa itu tiba-tiba berubah menjadi tangisan—jeritan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Jeritan yang penuh dengan penderitaan, seolah-olah Caca sedang disiksa, dan itu terdengar seperti berasal dari dalam hutan yang lebih dalam lagi.
"Kita harus ke sana!" seru Adi, meski suara ketakutannya tak bisa disembunyikan. "Itu Caca, pasti!"
Mereka berlari, melintasi hutan yang semakin gelap, dan akhirnya tiba di sebuah clearing yang luas. Di tengah clearing, ada sebuah pohon besar yang menjulang tinggi, dengan akar-akar yang melingkar seperti ular besar. Di sana, di bawah pohon itu, mereka melihat sosok yang sangat familiar: Caca.
Namun, ada yang sangat berbeda dengan Caca. Tubuhnya tampak seperti tidak lagi milik manusia. Matanya kosong, tidak berbinar seperti dulu, dan kulitnya tampak pucat, bahkan lebih pucat dari biasanya. Ia berdiri di sana, kaku, dengan pandangan kosong ke depan, dan mulutnya bergerak, tetapi tidak ada suara yang keluar.
"Rencananya sudah hampir selesai... kalian... takkan bisa keluar," suara itu keluar dari mulut Caca, tetapi suaranya tidak seperti suara Caca yang mereka kenal. Itu lebih seperti bisikan yang datang dari jauh, suara yang tidak manusiawi.
Mereka terkejut, saling bertukar pandang. Salsa berlari mendekat, memanggil Caca dengan suara gemetar. "Caca, itu kamu, kan? Jangan... jangan begini! Ini bukan kamu!"
Tetapi, Caca tidak merespon. Malahan, tubuhnya mulai bergerak—bukan seperti orang biasa yang bergerak, tetapi dengan gerakan yang kaku dan aneh, seperti terpaksa. Caca mulai berjalan mundur, semakin jauh dari mereka, menuju pohon besar yang penuh dengan akar dan cabang-cabang mengerikan.
Di saat yang sama, tanah di sekitar mereka mulai berguncang, dan suara gemerisik yang sangat keras terdengar, seperti sesuatu yang sedang bergerak dari dalam tanah. Tiba-tiba, akar-akar pohon itu bergerak seperti ular, melilit tubuh Caca dengan cepat, seolah mengikatnya. Caca tampak terperangkap, namun tubuhnya tetap kaku dan matanya masih kosong.
"Ssssstttttt!" Suara yang mengerikan itu muncul, seolah datang dari dalam pohon. Bukan suara Caca lagi—melainkan suara makhluk lain, sesuatu yang jauh lebih gelap. "Kalian telah datang ke tempat yang salah... kalian semua akan menjadi bagian dari aku."
Tiba-tiba, tubuh Caca terangkat dari tanah, ditarik oleh akar-akar pohon itu. Seiring tubuhnya melayang, mulutnya ternganga, dan jeritan yang tak bisa dicerna pun keluar—terdengar seperti teriakan yang berasal dari dunia lain, mengerikan dan penuh penderitaan.
"Jangan!" teriak Bayu, berlari mencoba menyelamatkan Caca, tetapi seketika tubuhnya terhenti, seolah ditahan oleh kekuatan yang tak terlihat. Hutan ini seolah mengikat mereka, mencegah mereka bergerak.
"Ini bukan Caca lagi!" Xio berteriak, matanya terbeliak ketakutan. "Dia sudah bukan manusia! Ini... ini adalah kutukan hutan!"
Tanpa diduga, tubuh Caca yang melayang tiba-tiba terhenti di udara, dan sosoknya berubah. Sebuah bayangan besar muncul dari balik pohon itu—makhluk besar, menyerupai wajah manusia yang terdistorsi dengan mata yang penuh api. Makhluk itu tertawa, dan suara tawanya seperti ribuan suara yang berbaur, menggema dan menggetarkan.
"Kalian sudah ada dalam genggamanku," suara itu bergema. "Semua yang datang ke Gunung Larangan akan menemui takdir yang sama. Ini adalah ujian yang harus kalian jalani... atau kalian akan menjadi bagian dari hutan ini selamanya."
Kegelapan semakin menyelimuti mereka, dan dalam sekejap, Caca yang semula terjebak di antara akar pohon itu jatuh, tubuhnya kembali ke tanah, tetapi kali ini tubuhnya sudah tidak bergerak lagi. Wajahnya tampak kosong, dan ekspresinya yang dulu ceria kini berubah menjadi wajah hampa yang tak bisa dikenali. Seolah-olah makhluk itu sudah mengambil jiwa Caca.
Salsa terjatuh, menangis keras, sambil meraih tubuh sahabatnya yang tergeletak di tanah. "Caca... jangan tinggalkan kami! Tolong!"
Namun, apa yang tergeletak di depan mereka bukan lagi Caca yang mereka kenal. Itu hanyalah sebuah sosok yang hampa, tak bernyawa.
Dengan ketakutan yang mencekam, keenam sahabat itu menyadari satu hal yang paling mengerikan: Gunung Larangan tidak akan pernah melepaskan mereka. Dan teror ini baru saja dimulai.