Setelah berlari tanpa arah selama beberapa jam, keenam sahabat itu mendapati diri mereka berdiri di tengah hutan yang sama sekali asing. Bayangan pohon-pohon besar di sekitar tampak mengintimidasi, dan setiap sudut seolah dipenuhi bayang-bayang gelap yang bergerak diam-diam. Tidak ada jalan setapak, tidak ada tanda-tanda yang mengarah ke mana pun. Mereka resmi terjebak.
Caca menghela napas panjang, wajahnya terlihat putus asa. "Seharusnya kita sudah menemukan jalur turun… tapi semua ini terasa sama saja," katanya dengan suara kecil, menatap sekitar dengan cemas.
Bayu mencoba bersikap optimis meskipun rasa takut jelas terpancar dari wajahnya. "Mungkin kita hanya perlu istirahat sebentar. Kalau kita terlalu panik, malah makin sulit berpikir jernih."
Namun, Adi, yang sejak awal sudah merasa firasat buruk, menyadari ada sesuatu yang tidak beres. Dia tahu rute pendakian ini, tetapi sekarang, seolah-olah hutan ini membawa mereka ke dalam labirin tanpa akhir. "Ini bukan soal istirahat, Bayu. Sepertinya kita benar-benar tersesat. Hutan ini… berubah, seperti nggak mengizinkan kita keluar."
Xio yang duduk di bawah pohon, menunduk dalam keheningan, wajahnya tampak muram. "Mungkin itu karena kita mengabaikan peringatan tadi. Gunung ini punya aturan, dan kita melanggarnya."
Kata-kata Xio membuat mereka semakin diam. Semua legenda yang pernah mereka dengar terasa lebih nyata saat ini. Gunung Larangan, yang selalu mereka anggap hanya sebagai cerita rakyat, kini menunjukkan sisi gelapnya yang tak pernah mereka bayangkan.
---
Malam semakin larut, dan dingin mulai menusuk kulit mereka. Zena merapatkan jaketnya sambil memperhatikan sekeliling dengan cemas. "Sepertinya kita nggak punya pilihan lain selain menunggu sampai pagi. Mungkin di siang hari kita bisa lebih mudah melihat jalan."
Mereka akhirnya sepakat untuk beristirahat, meski rasa takut mengisi setiap celah dalam hati mereka. Bayu dan Salsa berusaha tetap terjaga, menjaga yang lain, namun kantuk akhirnya menguasai mereka semua. Sementara itu, suara-suara aneh mulai terdengar lagi di sekeliling mereka—gemerisik dedaunan, langkah-langkah samar, dan bisikan-bisikan pelan yang entah dari mana asalnya.
Di tengah malam yang semakin sunyi, tiba-tiba Adi terbangun. Dia mendengar sesuatu—suara langkah kaki berat mendekat dari arah belakang. Dengan jantung berdebar, Adi menoleh, berusaha mencari sumber suara. Saat itulah dia melihatnya: bayangan putih yang bergerak perlahan di balik pohon besar, sosok pocong yang mereka lihat sebelumnya.
Adi ingin berteriak, tapi suaranya tak keluar. Tubuhnya membeku, hanya bisa menatap sosok itu yang semakin dekat, seolah sengaja menghantui mereka. Tepat saat pocong itu hampir sampai di hadapannya, Adi merasakan sentuhan di bahunya. Dia tersentak dan mendapati Xio yang menatapnya dengan bingung.
"Adi, kamu kenapa? Mukamu pucat banget," bisik Xio.
Adi hanya bisa menunjuk ke arah pocong tadi. "Di… di sana! Aku lihat dia lagi, Xio!"
Namun, ketika Xio menoleh ke arah yang ditunjuk Adi, sosok itu sudah menghilang. Xio hanya melihat pohon-pohon besar yang berdiri diam dalam kegelapan. "Nggak ada apa-apa, Adi. Mungkin kamu kelelahan."
Namun, Adi tahu apa yang ia lihat tadi nyata. Dia tak mungkin salah. Ada sesuatu yang mengincar mereka, yang mengawasi mereka di setiap langkah. "Xio, kita harus cari jalan keluar secepatnya. Kalau kita tetap di sini, entah apa yang akan terjadi."
---
Pagi harinya, keenam sahabat itu memutuskan untuk berusaha mencari jalan keluar. Mereka menandai pohon-pohon yang mereka lewati, berharap bisa melacak jalan mereka jika tersesat lagi. Namun, setelah berjam-jam berjalan, mereka hanya berputar-putar di tempat yang sama. Pohon-pohon yang mereka tandai justru tampak lebih banyak, seolah hutan ini hidup dan sengaja membuat mereka tersesat.
Zena yang biasanya tenang mulai panik. "Kenapa kita nggak bisa keluar dari sini? Hutan ini terasa seperti labirin, dan kita terus kembali ke tempat yang sama."
Salsa mulai menitikkan air mata, menatap Zena dengan putus asa. "Aku nggak mau terjebak di sini selamanya, Zena. Apa ini artinya kita nggak akan pernah bisa keluar?"
Di tengah ketakutan mereka, terdengar suara tawa pelan di kejauhan. Suara itu terdengar seperti suara anak kecil yang bermain-main. Keenam sahabat itu terdiam, saling memandang dengan ngeri. Siapa yang tertawa di tengah hutan ini? Tak mungkin ada orang lain di sekitar.
Tiba-tiba, suara itu berubah menjadi jeritan. Jeritan panjang yang membuat bulu kuduk mereka berdiri, menggema di seluruh hutan, seolah-olah ada sesuatu yang mencoba menakut-nakuti mereka, membuat mereka merasa kecil dan tak berdaya.
Mereka terdiam beberapa saat, sampai akhirnya Adi mengambil keputusan. "Kita harus tetap berjalan, seburuk apa pun kondisinya. Kita harus keluar dari sini."
Dengan tekad yang tersisa, mereka melanjutkan langkah mereka, meski ketakutan tak pernah meninggalkan. Setiap kali mereka berusaha keluar, hutan itu tampak membawa mereka kembali ke awal, ke tempat yang sama. Seolah-olah Gunung Larangan memang tak ingin mereka pergi.
Namun, mereka tak menyerah. Meskipun kabut semakin tebal, mereka tetap bergerak, saling menggenggam tangan, mencoba mengalahkan rasa takut yang mengintai di setiap bayangan. Perjalanan ini belum selesai, dan mereka tahu, untuk bertahan hidup, mereka harus menghadapi setiap tantangan yang disiapkan oleh Gunung Larangan.