"Aku kan sudah bilang, jangan bawa mereka ke sini! Apa kamu nggak dengar ucapanku!" bentak Della kepada bawahannya.
"Maaf, Bu! Saya nggak tau kalau lagi rapat penting. Maaf, Bu!' sahutnya sambil menundukkan kepala.
"Sudah! Ini surat pemberhentian, aku mau, kamu cepet bereskan barang-barang kantormu paham!" kata Della yang semakin marah.
Della Mariana, Direktur muda di PT. Berlian Global. Usianya masih 27 tahun. Wanita berprestasi dan cantik. Tapi, memiliki sifat angkuh dan sombong.
Dia tidak akan segan untuk memaki bahkan memecat bawahan yang tidak sesuai dengan keinginannya.
Banyak yang merasa sakit hati pada Della. Terkadang bungkusan berupa ancaman, terkirim ke rumahnya. Namun, Della selalu berhasil mendapatkan pelaku yang mengancam nyawanya.
"Della, kamu bener- bener melebihi ekspektasi dalam rapat tadi," ucap Rina, asistennya, yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan sambil membawa tumpukan berkas.
Della tersenyum kecil. "Seperti biasa, Rina. Aku hanya melakukan apa yang memang harus aku lakukan."
Rina terkekeh, meskipun tahu Della tak memerlukan pujian. "Tapi bener, aku melihat bagaimana mereka semua terdiam saat kamu menjelaskan strategi baru. Kamu membuatnya tampak mudah."
Della menyisir rambutnya dengan jemarinya dan tertawa kecil. "Kalau mereka terdiam, itu karena mereka tau posisinya. Aku di sini bukan hanya untuk sekadar bekerja, Rina. Aku di sini untuk memimpin."
Rina menunduk penuh hormat. "Tentu, Della. Kamu memang punya karisma yang nggak dimiliki orang lain."
"Sekarang, berikan aku laporan yang kamu bawa," Della mengulurkan tangannya, menerima berkas-berkas dari Rina. Dia membuka lembaran pertama, dan matanya langsung menyapu setiap kata dan angka dengan cepat.
Namun, tak lama setelah Rina keluar, suara ponsel Della bergetar di meja kerjanya. Dia melihat sekilas dan mendapati pesan dari ibunya, Herlina.
"Della, bisa telepon Mama sebentar?"
Della mendesah. Hubungan dengan keluarganya memang tak begitu hangat, tetapi dia tetap mengangkat ponsel dan menghubungi ibunya.
"Ya, Ma?" jawab Della dengan nada dingin, tanpa sapaan basa-basi.
"Della, kamu apa kabar?" suara lembut ibunya terdengar di seberang. "Mama dengar kamu baru aja memimpin proyek besar, selamat ya."
"Kabar baik, seperti biasa," jawab Della singkat. "Ya. Aku baru aja menyelesaikannya. Ada yang perlu Mama sampaikan?"
Ibunya terdiam sebentar sebelum melanjutkan, "Mama cuma ingin mengingatkan, Della. Kadang kesuksesan itu terasa hampa kalau dijalani sendirian. Mama harap kamu juga punya waktu untuk ... kehidupan pribadi."
Della tersenyum sinis. "Mama, aku punya semuanya. Karir yang cemerlang, kehidupan mewah, dan aku menikmati kebebasanku. Kehidupan pribadi nggak pernah jadi prioritas."
"Della, kamu nggak pernah tau kapan kamu akan membutuhkan seseorang," kata ibunya dengan nada lembut namun penuh arti.
"Mama, aku baik-baik aja," Della menegaskan. "Aku nggak punya waktu untuk omong kosong seperti itu."
Pembicaraan berakhir dengan ucapan pendek dari Della. Dia menaruh kembali ponsel di atas meja dan mendesah.
Di kepalanya, cinta dan hubungan hanyalah gangguan. Dia sudah terlalu sering melihat hubungan gagal dan orang-orang yang hancur karena terlalu mengandalkan perasaan.
Sambil melanjutkan pekerjaan, Della memutar kursinya menghadap jendela besar di belakang meja. Pemandangan kota malam hari terlihat begitu sempurna. Gedung-gedung tinggi dengan lampu-lampunya yang berkelap-kelip adalah simbol kesuksesan yang selalu dia dambakan.
Tak lama, pintu ruangannya diketuk lagi. Kali ini Pak Bimo Setiawan, salah satu direktur senior perusahaan, masuk dengan senyum lebar.
"Della, rapat tadi benar-benar luar biasa. Kamu membawa perspektif baru yang sangat brilian. Nggak heran bos besar sangat terkesan."
"Terima kasih, Pak Bimo. Tapi saya hanya melakukan apa yang terbaik untuk perusahaan," balas Della, mengangguk sedikit.
Pak Bimo tertawa. "Ah, kamu memang selalu rendah hati meskipun pencapaianmu luar biasa. By the way, beberapa direksi akan makan malam bersama untuk merayakan kesuksesan proyek ini. Kamu ikut, kan?"
Della memandang Pak Bimo dengan pandangan yang tajam, namun senyum tipis di wajahnya memberikan kesan dingin. "Terima kasih atas undangannya, Pak. Tapi saya pikir saya akan langsung pulang dan beristirahat. Saya lebih suka menikmati waktu sendirian."
Pak Bimo mengangguk, memahami kepribadian Della yang mandiri dan terkesan menjaga jarak. "Tentu, nggak masalah. Kalau begitu, selamat malam, Della. Kita akan ketemu lagi besok di kantor."
Setelah Pak Bimo keluar, ruangan itu kembali hening. Della menutup laptopnya dan mengemasi barang-barangnya. Baginya, kehidupan yang dia jalani sudah cukup.
Hidup dalam dunia yang dipenuhi pujian, keberhasilan, dan kemewahan adalah kebanggaan tersendiri. Cinta, keluarga, bahkan teman dekat hanyalah tambahan yang tidak terlalu penting.
Della berdiri, mengenakan coat mahalnya, dan beranjak keluar dari kantor dengan kepala tegak.
'Ini akan mudah aku jalani. Hem, kepuasan yang nggak bisa aku ungkapkan dengan kata-kata' bisik pelan dalam hati, sambil membuka mobil mewahnya.