Pagi itu, Della berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Ia mengenakan setelan blazer putih yang membuatnya tampak berkelas dan anggun. Ia mengamati dirinya dengan puas, menyapu rambutnya yang lurus ke belakang, dan tersenyum kecil.
"Siapa lagi yang bisa mencapai posisiku di usia ini?" gumamnya, membenahi kalung emas yang menggantung di lehernya.
Saat memasuki ruang kerja, seluruh mata tertuju padanya. Ada kekaguman, ketakutan, dan sedikit kebencian dari rekan-rekan kerjanya. Della selalu berjalan dengan langkah tegas, seakan ruangan itu adalah panggung yang disediakan khusus untuknya.
Di dekat meja kerjanya, Rina, asisten pribadi Della, sudah menunggunya dengan segelas kopi.
"Selamat pagi, Bu Della," sapa Rina dengan sopan sambil menyodorkan kopi.
Della hanya mengangguk dingin dan mengambil cangkir itu tanpa melihat Rina. "Rina, bagaimana dengan laporan proyek besar itu? Sudah selesai?" tanyanya dengan nada dingin.
"Sudah, Bu. Saya tinggal menunggu persetujuan dari Ibu untuk menyerahkannya," jawab Rina dengan senyum kecil, meski merasa sedikit terintimidasi.
Della hanya mengangguk lagi. "Pastikan laporan itu sempurna. Aku tidak ingin ada satu pun kesalahan kecil."
Rina mengangguk cepat. "Baik, Bu Della."
Della beranjak menuju ruang rapat, meninggalkan Rina yang menatapnya dengan ekspresi datar, terbiasa dengan sikap bosnya yang kerap dingin dan tanpa basa-basi.
Di ruang rapat, Della duduk di ujung meja, memimpin diskusi yang dihadiri beberapa eksekutif lainnya. Saat salah satu koleganya, Herman, mencoba memberikan saran, Della menatapnya dengan tajam.
"Herman, ide yang kamu utarakan itu... standar sekali," ucapnya tanpa basa-basi, membuat suasana ruangan hening. "Kita di sini bukan untuk melakukan sesuatu yang biasa saja. Kita perlu strategi yang bisa membawa perusahaan ini ke puncak, bukan solusi setengah matang."
Herman terlihat tak nyaman, tetapi hanya bisa mengangguk. "Maaf, Bu Della. Saya akan mencoba pendekatan lain."
Della hanya mengangguk dengan ekspresi penuh kepuasan. Baginya, menjadi yang terbaik adalah segalanya, dan tak ada tempat untuk kelemahan atau ketidaksempurnaan.
Setelah rapat berakhir, seorang pria muda bernama Adi, yang baru direkrut sebagai asisten eksekutif, memberanikan diri mendekatinya.
"Bu Della, saya kagum dengan cara Ibu memimpin rapat tadi. Ibu terlihat sangat... berwibawa," ucap Adi dengan senyum kagum.
Della meliriknya singkat dan tertawa kecil, nada suaranya terdengar merendahkan. "Terima kasih, Adi. Tapi untuk mencapai posisi ini, tidak cukup hanya dengan rasa kagum. Dibutuhkan lebih dari itu."
Adi mengangguk, tampak sedikit tersipu. "Tentu, Bu. Saya paham. Saya hanya ingin belajar dari Ibu."
"Kalau begitu, kerjakan semua pekerjaanmu dengan sempurna dan jangan berani-berani membuat kesalahan," ucap Della dingin, menegaskan batas-batasnya.
Sepanjang hari, Della melanjutkan rutinitasnya dengan ketelitian tinggi. Saat jam makan siang, salah satu teman lamanya, Karina, menghubunginya untuk makan siang bersama. Meski sedikit enggan, Della setuju.
Di restoran mewah itu, Karina menyambut Della dengan hangat. Mereka duduk di meja, dan Karina memulai percakapan dengan riang.
"Della, kamu hebat sekali! Aku dengar kamu berhasil menandatangani kontrak besar baru-baru ini," ujar Karina dengan penuh kekaguman.
Della mengangguk dengan angkuh, memperlihatkan senyumnya. "Ya, proyek besar itu. Hanya sedikit orang yang bisa menangani pekerjaan sebesar itu. Tentu saja, aku salah satunya."
Karina hanya mengangguk. Ia sebenarnya merasa aneh dengan perubahan sikap Della. Dulu, sahabatnya ini jauh lebih rendah hati dan hangat. Kini, Della tampak seperti orang yang hanya peduli pada pencapaian.
"Apa kamu tidak merasa lelah, Del? Aku tahu pekerjaan penting, tapi... kamu juga butuh orang-orang di sekitarmu," kata Karina hati-hati.
Della memiringkan kepalanya, memandang Karina dengan tatapan dingin. "Lelah? Karir adalah segalanya. Bagiku, hidup itu soal pencapaian. Dan kalau orang lain tidak bisa mengimbangi, kenapa aku harus memedulikannya?"
Karina tersenyum kecut, merasa kata-kata Della makin sulit untuk ia cerna. "Tapi, Del... hidup bukan hanya soal kerja. Bagaimana dengan cinta? Keluarga?"
Della mengangkat bahu, terlihat tak terpengaruh. "Cinta? Tidak ada pria yang bisa mengimbangi ambisiku, Karina. Kalau aku harus menunggu seseorang yang sebanding dengan pencapaianku, mungkin aku akan menunggu selamanya."
Karina terdiam, memahami bahwa pembicaraan ini mungkin tidak akan mengubah pandangan Della. Namun, ia merasa perlu mencoba membuka mata sahabatnya ini.
"Aku hanya berharap kamu bisa menemukan kebahagiaan di luar pekerjaan, Del. Karir memang penting, tapi ada banyak hal lain yang juga berharga," kata Karina lembut.
Della hanya tersenyum dingin. "Bagi sebagian orang, mungkin. Tapi untuk orang sepertiku, hanya kesuksesan yang benar-benar berharga."
Mereka menyelesaikan makan siang dalam keheningan yang terasa janggal. Karina tahu Della berubah, namun ia juga menyadari bahwa tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah pikiran sahabatnya yang kini penuh dengan ambisi dan kebanggaan pada dirinya sendiri.
Sepulang dari makan siang, Della kembali ke kantor dengan pikiran yang tetap fokus pada pekerjaannya. Baginya, percakapan dengan Karina hanyalah distraksi yang tidak penting.
Menjelang sore, saat sedang menyelesaikan laporan, Della mendapat pesan dari Rina yang mengatakan ada tamu yang ingin bertemu dengannya. Della mengerutkan kening, tidak biasa ia menerima tamu yang tidak dijadwalkan.
"Siapa yang berani datang tanpa janji temu?" gumamnya kesal.
Tamu itu ternyata adalah salah satu klien lama, Pak Gunawan, yang sudah lama berhubungan baik dengan perusahaan. Pria itu tersenyum ramah saat bertemu Della.
"Della, lama tidak bertemu! Saya mendengar banyak hal hebat tentang Anda. Luar biasa!" serunya penuh semangat.
Della tersenyum kecil, senang mendengar pujian itu. "Terima kasih, Pak Gunawan. Tentu saja, saya selalu melakukan yang terbaik."
Namun, obrolan mereka terhenti saat Pak Gunawan berbicara dengan nada serius. "Tapi ingat, Della. Kesuksesan bukan hanya tentang apa yang kita capai, tetapi juga tentang hubungan yang kita bangun."
Della tersentak, namun ia menyembunyikan keterkejutannya di balik senyum tipis. "Tentu saja, Pak. Saya paham."
Namun, saat Pak Gunawan pergi, kata-katanya terus terngiang dalam pikiran Della. Ia merasa terganggu, namun dengan cepat mengenyahkan perasaan itu.
"Apa peduliku pada hubungan? Yang penting aku sukses," gumamnya pelan, meyakinkan dirinya sendiri.