Della duduk di ruang tamu rumah keluarganya yang megah. Rumah tersebut dipenuhi dekorasi dan furnitur mewah, mencerminkan status sosial mereka.
Di hadapannya duduk ayahnya, Andreas Putra, pria dengan raut wajah tegas yang tampak lebih fokus pada laporan bisnis di tangannya daripada pada putrinya yang duduk di depannya.
"Kamu datang terlambat, Della," ucap Andreas tanpa mengalihkan pandangan dari dokumen di tangannya.
Della menghela napas dan memandang ayahnya dengan tenang. "Saya sibuk. Banyak proyek yang harus diawasi. Nggak, mudah mengurus perusahaan sebesar itu."
Andreas akhirnya menutup dokumen di tangannya dan menatap Della. "Bagus, kerja keras seperti itu yang Papi harapkan dari kamu. Jangan biarkan hal-hal sepele mengganggu fokusmu."
Della tersenyum kecil, merasa dihargai dengan pujian ayahnya. Dia memang selalu ingin membuktikan diri pada pria itu. "Saya nggak pernah mengizinkan apa pun mengganggu."
Herlina Putri, ibu Della, masuk ke ruangan dengan dandanan yang anggun, mengenakan perhiasan yang mencolok. Senyumnya tampak kaku saat ia menatap putrinya.
"Della, sayang, sebaiknya kamu lebih sering datang ke acara keluarga. Banyak orang bertanya-tanya kapan kita akan bertemu lagi," ujar Herlina, suaranya terdengar halus namun sarat tuntutan.
Della hanya mengangguk singkat. "Aku nggak terlalu suka acara seperti itu, Ma. Saya lebih memilih waktu untuk bekerja daripada bersosialisasi."
"Oh, sayang, itu kan bagian dari citra keluarga kita." Herlina tersenyum lembut. "Orang-orang melihat kita sebagai keluarga yang sempurna. Kamu tahu, reputasi adalah segalanya."
Della menyeringai samar. "Saya pikir pencapaian karir sudah cukup menunjukkan reputasi kita, Ma."
Di saat yang bersamaan, Vera Damayanti, adik perempuannya yang berusia 24 tahun, memasuki ruangan. Wajahnya ceria, berbeda jauh dengan sikap dingin Della.
"Kak Della!" Vera menyapa dengan penuh semangat. "Senang sekali akhirnya Kakak datang. Kami sudah lama menunggu."
Della membalas dengan senyum tipis. "Hai, Vera. Maaf, aku sibuk."
Vera duduk di sampingnya, matanya berbinar. "Kak, aku ada ide bisnis baru yang ingin aku diskusikan. Aku pikir Kakak bisa membantu…"
Namun, belum selesai Vera berbicara, Della menyela. "Vera, aku sedang nggak ingin membicarakan hal seperti itu. Kalau kamu punya rencana bisnis, urus saja sendiri dulu. Aku punya urusan yang lebih penting."
Ekspresi Vera seketika berubah, senyumannya memudar. "Oh, baiklah, Kak."
Dalam hati, Vera kecewa. Hubungan mereka memang tidak pernah terlalu dekat. Della selalu membuat jarak, terutama setelah karirnya melesat dan ia semakin sibuk.
Tak lama kemudian, Rafael Aditama, adik laki-laki Della yang berusia 22 tahun, datang bergabung. Berbeda dari Della, Rafael tampak santai dan ramah. DIa melemparkan senyum pada kakak perempuannya.
"Kak Della, kapan punya waktu untuk kita, sih?" tanya Rafael sambil tertawa kecil. "Setiap kali kita ingin ngobrol, Kakak selalu sibuk."
Della mengangkat bahu, ekspresi wajahnya tetap datar. "Maaf, Rafael. Waktu ku memang terbatas. Aku bukan tipe orang yang bisa duduk-duduk santai sepanjang waktu."
Rafael tertawa lagi, kali ini dengan sedikit sindiran. "Kalau begitu, mungkin kita memang berbeda. Aku hanya ingin keluargaku, Kak."
Mendengar ucapan adiknya, Della merasa sedikit terganggu. Namun, dia tidak memperlihatkan perasaannya.
Andreas kembali memecah suasana. "Della, kamu memang harus tetap fokus pada pekerjaan. Vera dan Rafael bisa mengurus diri mereka sendiri. Mereka nggak boleh terlalu bergantung padamu."
Della mengangguk, mengiyakan ucapan ayahnya. Baginya, semua ini adalah pengingat bahwa kerja keras adalah prioritas, dan keluarga bisa menunggu.
Herlina menyela percakapan dengan suara lembutnya. "Tetapi, Della, sesekali kamu harus meluangkan waktu. Keluarga itu penting. Kamu tak bisa selamanya menghindar."
Della terdiam sejenak, lalu menghela napas pelan. "Saya tahu, Bu. Tapi karir saya tidak bisa menunggu. Semua yang saya bangun ini perlu perhatian penuh."
Kata-kata itu membuat ruangan hening. Meski semua tahu karakter Della yang ambisius, tak ada yang menyangka bahwa ia benar-benar tidak menempatkan keluarga sebagai prioritas. Baginya, kesuksesan jauh lebih berarti daripada hubungan emosional dengan keluarga.
Vera, yang merasa terluka, mencoba untuk tersenyum. "Ya, aku mengerti, Kak. Kami semua mendukungmu."
Rafael menatap kakaknya dengan ekspresi kecewa. "Kak Della, aku harap kamu mengerti bahwa kita ada di sini untukmu, bukan hanya sebagai penonton dari jauh."
Della mengangkat bahu, mencoba mengabaikan sindiran adiknya. "Saya menghargai itu, Rafael. Tapi saya memang punya prioritas lain. Kalian harus paham."
Setelah percakapan tersebut, Della memutuskan untuk pergi lebih awal. Ia berdiri, mengambil tasnya, lalu menatap keluarganya sekilas. "Maaf, saya harus kembali ke kantor."
Herlina mencoba menahan. "Della, paling tidak makan malam dulu bersama…"
Namun, Della menggelengkan kepala. "Lain kali saja, Bu. Ada banyak pekerjaan yang menunggu."
Dengan langkah percaya diri, Della meninggalkan rumah keluarganya, tak terganggu oleh tatapan kecewa adik-adiknya. Di dalam mobil, Della menatap ke arah rumah keluarganya dari kejauhan, sedikit ragu dalam hatinya, tapi ambisinya tetap memimpin.
"Aku tak butuh mereka. Karirku adalah segalanya," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.