"Pagi, Bu Della!" sapa karyawan. Setiap karyawan yang berpapasan dengannya menyapa, meskipun kebanyakan dilakukan dengan nada segan.
Della menjawab singkat sambil terus berjalan. "Ya, pagi."
Di ruang rapat, para eksekutif telah berkumpul membahas proyek baru.
Della duduk di ujung meja, mendengarkan presentasi seorang rekan tanpa ekspresi. Ketika presentasi selesai, dia meletakkan tangannya di atas meja dan menatap rekan kerjanya.
"Jadi," Della memulai, "Anda yakin proyek ini bisa meningkatkan profit perusahaan dalam waktu singkat?"
Rekan kerjanya tampak gugup. "Kami sudah melakukan analisis awal, dan kami optimis bahwa proyek ini akan sukses, Bu Della."
"Optimis?" Della menaikkan satu alis, wajahnya dingin. "Optimisme itu bagus, tapi saya butuh data yang konkret. Saya nggak tertarik dengan ide yang setengah matang. Beri saya angka dan proyeksi jelas. Ada yang bisa menjamin keberhasilan proyek ini?"
Semua orang di ruang rapat terdiam. Mereka tahu, Della bukan seseorang yang mudah diyakinkan tanpa bukti kuat.
"Ini, Bu Della," salah satu rekan kerjanya memberikan lembaran berkas, lanjutnya, "saya sudah menghitung untuk keberhasilan proyek ini dan ini sangat cepat naiknya."
"Hem, kalau kamu buat seperti kita jauh dari kata keberhasilan. Perusahan saya bisa bangkrut dalam waktu cepat." Emosi Della tidak terbendung lagi.
"Coba kamu lihat! angka yang kamu kasih itu, nggak singkron dan seakan kamu hanya menempel angka palsu di kertas itu!" Della berdiri sambil memukul meja.
"Saya membayar bukan untuk hasil mengecewakan, paham!" Della pergi meninggalkan rekan kerjanya.
Setelah rapat selesai, dua rekan kerjanya terlihat mengobrol sambil melirik ke arah Della yang berjalan keluar.
"Dia terlalu keras. Tidak heran banyak yang enggan bekerja sama dengannya," bisik seorang wanita kepada temannya.
"Ya, tapi dia memang selalu berhasil," jawab temannya pelan. "Kalau tidak, dia tidak akan ada di posisi sekarang."
Di luar ruang rapat, Della kembali ke ruang kerjanya, dan asisten pribadinya, Tiara, mengetuk pintu lalu masuk dengan membawa dokumen.
"Bu Della, ini dokumen yang perlu ditandatangani," kata Tiara sambil menyerahkan setumpuk kertas.
Della menerima dokumen tanpa mengangkat pandangannya dari layar laptop. "Pastikan semua ini sesuai dengan standar kita. Aku nggak ingin ada kesalahan sedikit pun."
Tiara mengangguk. "Baik, Bu. Saya akan memastikan semuanya terperiksa."
"Oh, satu lagi, Tiara," panggil Della, sebelum Tiara pergi. "Aku ingin laporan lengkap tentang perkembangan proyek dari kompetitor. Siapkan besok pagi."
"Siap, Bu. Akan saya siapkan."
Bip! Bip!
Handphonenya bergetar. Panggilan dari Mama Herlina terpampang jelas di handphonenya.
"Halo, Della! Mama mau kamu ikut nanti malam dalam acara bisnis Papi," terdengar suara Herlina di ujung telepon.
"Nggak bisa! Aku harus mengerjakan proyek dengan cepat," tolaknya dengan tegas.
"Della, ini perintah Papi. Kalau kamu nggak ikut Papi nggak akan segan menyuruh bodyguardnya untuk menarik kamu dari apartemen," jawab Herlina.
'Hem! Kenapa harus begini sih?! Aku tidak ada niat mau ikut acara yang bukan keinginan ku!' gumamnya dalam hati.
"Ya ... Ya! Aku akan ke sana nanti malam!" ucapnya kesal.
"Jangan nanti malam, kalau bisa sore. Pakaian mu masih ada di sini!" kata Herlina memaksa.
Della mulai terlihat gondok. Dia tidak ingin mengikuti acara yang membosankan. Bahkan tidak ada keuntungan untuknya.
Tanpa aba-aba dia menutup handphonenya dan membiarkan bergetar di meja yang banyak tumpukan berkas.
Della mencoba meraih telepon di meja kerjanya. Menghubungi asisten pribadinya untuk membelikan beberapa pakaian dress untuk acara makan malam.
Malam hari tiba, dan kebanyakan orang sudah pulang. Della masih duduk di mejanya, memeriksa laporan dan strategi perusahaan dengan teliti.
Di luar jendela, lampu-lampu kota mulai menyala, memperlihatkan pemandangan yang indah. Namun, Della hanya menatap kosong sesaat, pikirannya tetap fokus pada pekerjaan.
Sambil menghela napas, dia bergumam pada dirinya sendiri, "Dalam hidup ini, hanya kesuksesan yang bisa membuat seseorang dihormati. Cinta dan hal-hal lainnya … hanya akan mengganggu."
Saat chat dari Papi masuk ke handphonenya. Della bergegas pergi untuk menghadiri undangan makan malam.
"Kenta, antar aku ke restoran Griland!" perintah Della, lanjutnya. "Tiara, kamu ikut dan pakai baju yang aku beli, jangan buat kamu terlihat kampungan mengenakan pakaian kerja itu."
"Baik, Bu!" balasnya sambil menundukkan kepala.
Sesampai di Restoran. Banyak pria-pria yang seumuran dengan Papinya.
"Yang bener aja kamu Della. Ini jam berapa kamu baru datang!" bisik pelan Herlina.
"Perkenalkan ini putri pertama kami, Della Mariana," ucap Andreas kepada rekan bisnisnya.
"Wah, cantik!" ucap seorang wanita.
Della hanya tersenyum tanpa membalas perkataan. Semua mata memandang Della dengan kagum.
Langkah dan gerakan Della menjadi bahan perhatian banyak orang yang hadir di acara itu.
Saat Della sedang mengambil secangkir minuman. Seorang memegang pundak dan menyapanya, "Della Mariana!"
"Ya," jawab Della singkat.
"Kamu lupa sama aku?" tanya pria itu.
"Oh, sorry tapi memang aku lupa akan hal yang kurang penting. Apa kita saling kenal?" tanyanya balik.
"Oh, ya. Kamu tidak pernah berubah dari dulu. Perkenalkan aku Adrian teman satu universitas di Belanda sama kamu," ujar Andrian.
"Owh, Adrian ... Yang dulu dapat beasiswa kan?" sahut Della yang terlihat sombong.
"Hem, ya, begitulah! Kamu ngapain di sini?" tanya Adrian.
"Oh, ya biasalah. Urusan bisnis Papi," jawabnya semakin angkuh.
"Pak Andreas? Wah, aku bekerja dengan Pak Andreas. Ini kebetulan sekali ya, kita bisa ketemu," pekik Adrian.
Della tersenyum kecil di ujung bibirnya. Dia tahu bahwa Adrian bukan orang yang pantas untuk di sandingkan dengan Papinya.
Di sela perbincangan yang mereka lakukan. Andreas melihat dan memperkenalkan Adrian adalah karyawan teladan.
Tapi ucapan Papinya seakan mental di telinga Della yang tidak peduli Adrian sebagai apa di perusahan orang tuanya.
Malam semakin larut, Della pulang tanpa berpamitan terlebih dahulu.
'Yang benar aja! Pria begitu di kerjakan di perusahaan ternama. Nggak punya keahlian, hanya sebagai karyawan biasa! Iyuuh!' gumam dalam hati.