Pagi hari yang cerah, ada seorang pemuda bernama Ren sedang duduk di teras rumahnya. Dengan secangkir kopi hitam yang masih mengepul berada di meja kecil di hadapannya. Angin sepoi-sepoi pagi menyejukkan suasana, namun pikiran Ren jauh dari tenang. Sudah berbulan-bulan lamanya dia terus memikirkan hal yang sama. Dia memandang jauh ke langit, membiarkan pikirannya melayang pada satu tujuan yang akhir-akhir ini menjadi obsesinya: menikah dengan cara yang halal. Ren adalah sosok yang idealis. Baginya, pernikahan bukan hanya tentang menyatukan dua hati, tetapi juga tentang menjalani proses yang diridhoi Tuhan.
Sejak remaja, Ren selalu mendengar cerita dari ayahnya, Pak Haris, tentang pentingnya menjaga kesucian sebelum menikah. "Jaga diri baik-baik, jaga hati supaya tidak mudah emosional, nak. Dalam pernikahan, kita tidak hanya membawa diri kita sendiri, tetapi juga membawa amanah besar dari Tuhan. Menjaga pasangan yang bukan hanya fisik tetapi batinnya juga" kata Pak Haris pada saat Ren masih duduk di bangku SMA. Kalimat itu tertanam dalam benaknya hingga kini, saat dia memasuki usia dewasa dan mulai memikirkan masa depannya secara lebih serius.
Di tempat lain, Reina sedang menatap layar laptopnya dengan serius. Sebuah artikel tentang pernikahan modern tertera di layar. Reina, yang sama seperti Ren, memiliki pandangan yang kuat tentang pernikahan. Meski ia tumbuh di tengah-tengah arus kemajuan zaman dan kemandirian, ia tetap memegang prinsip bahwa pernikahan bukanlah sekadar pesta meriah atau sekadar pemenuhan tuntutan sosial. Pernikahan, menurutnya, adalah komitmen suci yang harus dijalani dengan hati yang bersih dan niat yang ikhlas.
Reina ingat bagaimana ibunya, Ibu Siti, sering bercerita tentang perjalanan pernikahan orang tuanya yang penuh cinta dan ketulusan. "Menikah itu tidak mudah, penuh lika-liku, dan harus menyatukan dua pendapat yang berbeda, tapi jika niat kita lurus, saling memahami dan saling mendukung, semuanya akan terasa lebih ringan, nak" demikian pesan Ibu Siti. Pesan ini mengakar kuat di dalam diri Reina. Meskipun banyak teman-temannya yang sudah menikah dengan cara yang lebih modern dan meriah, Reina ingin melakukan semuanya dengan penuh kesadaran dan sesuai nilai yang diyakini.
Hari itu, baik Ren maupun Reina tak menyadari bahwa pikiran mereka yang selaras tentang pernikahan akan segera mempertemukan mereka kembali. Sudah bertahun-tahun sejak mereka terakhir kali bertemu. Dulu mereka teman sekolah, namun hidup membawa mereka ke jalan yang berbeda. Ren, setelah lulus kuliah, sibuk bekerja dan mencoba mencari stabilitas ekonomi. Sedangkan Reina, dengan keseriusan dan ketekunan, kini bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan swasta, meraih impian-impian kariernya.
Di sore yang sama, Ren memutuskan untuk mengunjungi kedai kopi favoritnya. Kedai itu dimiliki oleh Toni, seorang teman lama yang sering menjadi tempat curhatnya. Toni sudah lama mengetahui keinginan Ren untuk menikah, dan selalu mendukungnya.
"Ren, gue dukung lo buat ngejar mimpi lo menikah dengan cara halal. Tapi lo sendiri tahu, prosesnya nggak semudah itu, kan?" Toni menyeduh kopi sembari menatap Ren yang tengah terdiam.
Ren mengangguk pelan, lalu menarik napas dalam. "Gue tahu, Ton. Gue cuma nggak mau terburu-buru. Gue pengen semuanya sesuai aturan. Gue pengen punya keluarga yang berkah, bukan cuma karena cinta sesaat."
Toni tersenyum, menepuk bahu Ren. "Itu prinsip yang bagus. Tapi lo juga harus sadar, nggak ada hubungan yang sempurna. Kadang, kita harus tidak kaku, tapi tetap di jalur yang benar."
Ren mengangguk, menyadari bahwa jalan yang akan dia tempuh penuh dengan tantangan, namun dia tetap yakin dengan prinsipnya. Di tempat lain, Reina juga merasakan hal yang serupa. Meski karirnya sedang di puncak, ada sesuatu yang hilang dari hidupnya. Ada kerinduan dalam hatinya untuk berbagi hidup dengan seseorang yang memegang prinsip yang sama tentang pernikahan dan serius.
***
Malam itu, Reina duduk bersama Dewi, sahabat terdekatnya. Dewi baru saja menikah beberapa bulan yang lalu dan selalu menjadi sumber inspirasi bagi Reina tentang makna cinta dan komitmen. Di meja mereka, terletak secangkir teh hangat yang mengepul dan beberapa kue kecil yang disediakan di kedai favorit mereka.
"Reina, gue ngerti banget gimana perasaan lo," kata Dewi sambil memandang sahabatnya dengan lembut. "Lo pengen bangetkan punya pasangan yang sepemikiran sama lo soal pernikahan, yang pengen segalanya sesuai aturan agama."
Reina tersenyum lemah. "Iya, Dew. Kadang gue ngerasa di zaman sekarang susah ketemu orang yang punya prinsip kayak gitu. Banyak yang terlalu fokus ke hal-hal materi atau cuma formalitas."
Dewi mengangguk, mengerti. "Tapi, jangan khawatir, Rei. Kalau lo percaya sama proses, pasti akan datang seseorang yang tepat. Gue yakin banget. Toh, lo sendiri juga udah mempersiapkan diri dengan baik, kan? Tuhan pasti melihat itu."
Reina hanya bisa tersenyum mendengar dukungan sahabatnya itu. Namun jauh di dalam hatinya, ada rasa cemas. Sudah sering dia menolak tawaran dari teman-temannya untuk berkenalan dengan pria-pria yang mapan, tampaknya tidak memiliki pandangan yang sama tentang pernikahan. Dia tidak ingin mengorbankan prinsip-prinsipnya hanya demi "mengejar" status sosial atau mengikuti tekanan lingkungan.
***
Beberapa minggu kemudian, nasib membawa Ren dan Reina bertemu kembali. Pertemuan yang tidak terduga itu terjadi di sebuah acara diskusi tentang pernikahan Islami yang diadakan di sebuah masjid di kota mereka. Ren datang karena Budi, sahabatnya, yang memaksa dia untuk hadir. "Ayo, Ren, siapa tahu ini bisa ngebuka pikiran lo lebih luas lagi," kata Budi.
Sementara itu, Reina datang bersama Alya, temannya yang juga memiliki prinsip serupa tentang pernikahan. Acara tersebut dipenuhi oleh pasangan muda yang ingin belajar lebih jauh tentang bagaimana menjalani hubungan yang sehat dan sesuai dengan ajaran agama.
Ren dan Reina saling melihat dari kejauhan. Ada keheningan singkat di antara mereka, seolah waktu berhenti sejenak. Mereka mengenali satu sama lain, meskipun sudah bertahun-tahun tidak bertemu. Tatapan mereka beradu, dan tanpa berkata apa-apa, keduanya merasakan sesuatu yang familiar, sesuatu yang pernah ada di masa lalu.
Setelah acara selesai, Budi dan Alya mempertemukan mereka. Ren dan Reina saling tersenyum, dan tanpa disadari, perbincangan mereka mengalir begitu saja.
"Sudah lama sekali, ya, Ren?" kata Reina dengan senyum di bibirnya.
Ren mengangguk, masih terkejut dengan pertemuan ini. "Iya, Reina. Udah lama banget. Gimana kabarmu?"
Dan begitulah, percakapan panjang yang membahas mimpi-mimpi mereka, pandangan tentang pernikahan, dan prinsip-prinsip hidup mulai terjalin. Dari percakapan tersebut, keduanya menemukan bahwa mereka tidak hanya terhubung oleh masa lalu, tetapi juga oleh impian yang sama: mencapai pernikahan yang halal, penuh berkah, dan didasari oleh komitmen suci yang mereka yakini.
Pagi itu di teras rumah, secangkir kopi yang tersisa kini sudah dingin, namun harapan Ren untuk menjalani pernikahan yang halal kembali menghangatkan hatinya. Begitu pula Reina, yang merasa seolah Tuhan sedang menuntunnya menuju sesuatu yang lebih besar dan lebih bermakna.