Ren menatap ponselnya, tampak sedikit ragu. Malam itu, setelah pertemuannya dengan Reina di acara diskusi tentang pernikahan Islami, pikirannya tak henti-hentinya memutar kembali perbincangan mereka. Sesuatu dalam dirinya terus memanggil, mengatakan bahwa pertemuan itu bukan kebetulan. Ada rasa nostalgia yang membanjiri pikirannya, namun kali ini lebih dari sekadar ingatan masa lalu. Perasaan itu kini dibumbui dengan harapan baru, sesuatu yang lebih serius dan mendalam.
Malam itu, ia memutuskan untuk menghubungi Budi. Seperti biasa, Budi adalah orang pertama yang selalu tahu apa yang berkecamuk di benak Ren.
"Bro, tadi acara diskusinya keren juga ya. Seru dengerin pandangan tentang pernikahan Islami, yang bikin gue makin serius sama keputusan gue tentang pernikahan" Ren mulai percakapannya setelah Budi mengangkat telepon.
"Serius lo? Atau jangan-jangan karna ketemu Reina lagi?" jawab Budi dengan nada menggoda yang langsung membuat Ren terdiam.
Ren tertawa kecil, tapi dalam hati ia mengakui kebenaran perkataan Budi. Pertemuan dengan Reina memang memberikan perasaan berbeda. Mereka bukan lagi remaja yang hanya berbagi cerita sekolah atau masa depan tanpa arah. Kini, mereka adalah dua orang dewasa yang sama-sama memiliki pandangan serius tentang kehidupan, terutama tentang pernikahan.
"Gue nggak mau terlalu cepet mikir, Bud. Tapi ketemu Reina tadi bikin gue inget gimana dulu dia tuh selalu beda dari cewek lain. Dan sekarang, dengan pandangannya yang matang tentang pernikahan, gue malah jadi kepikiran," ungkap Ren dengan jujur.
Budi menghela nafas pelan di seberang telepon. "Gue ngerti kok, Ren. Lagian, nggak ada salahnya kalau lo ngerasain hal itu. Lo tahu kan, semuanya berawal dari niat baik. Kalau memang lo ngerasa ini ada arah yang serius, kenapa nggak coba aja kenal dia lebih dalam lagi?"
X
Ren terdiam sejenak, memikirkan saran Budi. "Iya, mungkin lo benar. Tapi gue nggak mau buru-buru. Gue pengen semuanya berjalan dengan cara yang benar."
"Dan lo tahu, jalannya itu dimulai dengan langkah pertama," tambah Budi dengan bijak.
***
Di sisi lain, Reina juga masih memikirkan pertemuan tak terduga dengan Ren. Malam itu, dia duduk di kamarnya sambil memegang secangkir teh hijau yang masih hangat. Ia menatap ke luar jendela, memandangi langit malam yang dipenuhi bintang-bintang. Pikiran tentang Ren perlahan mengisi kepalanya. Dulu, Ren hanyalah seorang teman lama yang tak pernah dia pikirkan lebih dari sekadar rekan sekolah. Namun kini, setelah bertahun-tahun sudah tak bertemu, Ren tampak lebih dewasa, lebih bijaksana, dan yang paling penting, memiliki pandangan yang sama tentang pernikahan.
Ponselnya berdering, sebuah pesan masuk dari Dewi. Reina tersenyum melihat nama sahabatnya itu di layar. Dewi selalu tahu kapan waktunya untuk menyapa, seakan bisa membaca pikiran Reina yang sedang galau.
*Dewi:* Rei, gue denger dari Alya, lo ketemu sama Ren di acara diskusi kemarin ya?
Reina tersenyum kecil sambil mengetik balasan. *Reina:* Iya, nggak nyangka banget bisa ketemu dia lagi. Udah lama banget.
*Dewi:* Terus, gimana? Ada yang berubah?
Reina berpikir sejenak sebelum membalas. *Reina:* Dia masih kayak dulu, tapi sekarang lebih matang. Pandangan dia soal pernikahan ternyata sama kayak gue. Serius banget.
*Dewi:* Wah, berarti lo harus lebih sering ngobrol sama dia. Siapa tahu ini jalannya?
Reina menggelengkan kepala, tersenyum lebar. *Reina:* Pelan-pelan, Dew. Gue nggak mau terburu-buru. Lagian, baru ketemu sekali setelah bertahun-tahun, masa gue langsung berpikir sejauh itu?
Dewi membalas dengan cepat. *Dewi:* Nggak ada salahnya kan, Rei? Yang penting, lo jaga komunikasi sama dia. Gue yakin, kalau kalian punya pandangan yang sama, semua akan berjalan dengan natural.
Reina menutup percakapan dengan tersenyum. Meski ia tak mau mengakui secara terbuka, Dewi benar. Pertemuan dengan Ren mungkin bukan hanya kebetulan. Dalam hati, ada secercah harapan yang mulai tumbuh, meski Reina tahu ia harus berhati-hati. Dia tidak mau terjebak dalam perasaan tanpa dasar yang kuat. Baginya, semua harus dimulai dari niat yang benar dan berjalan sesuai prinsip-prinsip yang telah dia pegang teguh selama ini.
***
Beberapa hari kemudian, Ren dan Reina kembali bertemu di sebuah acara kajian mingguan yang sering mereka datangi, meski tanpa sadar mereka berdua ternyata kerap datang ke acara yang sama. Ren lebih dulu tiba di masjid dan menemukan tempat duduk di belakang ruangan. Ia membuka kitab kecil yang dibawanya, bersiap mendengarkan ceramah. Namun, ketika ia mengangkat pandangannya, sosok yang dikenalnya muncul di pintu masjid. Reina berjalan masuk, mengenakan jilbab warna biru muda yang serasi dengan baju yang dikenakannya. Ren tak bisa menahan senyumnya, tapi ia juga merasa gugup.
"Ren?" panggil Reina ketika melihat Ren duduk di barisan belakang. Tanpa ragu, Reina menghampirinya dan duduk di sebelahnya.
"Reina, apa kabar? Kok lo di sini juga?" Ren mencoba menyembunyikan kegugupannya dengan menanyakan pertanyaan yang jelas sudah terjawab oleh kehadiran Reina.
"Baik, Alhamdulillah. Gue emang sering datang ke kajian ini. Cuma sebelumnya kita pernah ketemu, ya?" Reina tersenyum, dan percakapan pun mengalir seperti air. Mereka berbicara ringan sebelum kajian dimulai, tapi tidak bisa dipungkiri, ada ketertarikan di antara mereka yang mulai tumbuh, meski keduanya masih berusaha menjaga batasan.
Kajian malam itu membahas tentang pentingnya niat yang lurus dalam pernikahan dan tantangan menjaga kesucian dalam hubungan sebelum menikah. Topik ini tepat sasaran bagi mereka berdua, seolah menegaskan apa yang ada di benak mereka. Ren mendengarkan dengan seksama, sementara Reina sesekali mencatat poin-poin penting di bukunya.
Setelah kajian selesai, mereka berdua kembali berbicara di luar masjid. Angin malam yang sejuk menemani percakapan mereka yang semakin dalam.
"Pembahasan tadi kayaknya relate banget sama apa yang gue pikirin akhir-akhir ini," Ren memulai dengan nada serius. "Gue pengen banget bisa menjalani proses menuju pernikahan dengan cara yang benar. Nggak cuma sekadar mengikuti aturan masyarakat, tapi bener-bener sesuai sama ajaran agama."
Reina menatap Ren sejenak sebelum menjawab. "Gue juga sama, Ren. Dari dulu gue selalu percaya bahwa pernikahan itu lebih dari sekadar ikatan formal. Tapi ada tanggung jawab besar di dalamnya. Tapi yang paling penting, harus dimulai dengan niat yang benar dan proses yang halal."
Ren mengangguk setuju. "Iya, kita harus bener-bener siap secara mental dan spiritual, bukan cuma materi. Makanya gue sekarang lagi fokus buat stabilin hidup gue dulu."
Reina tersenyum, merasa senang bahwa ada seseorang yang memiliki pandangan serupa dengannya. Mereka berbicara lama malam itu, saling mengenal lebih dalam tentang mimpi dan harapan mereka tentang masa depan. Meskipun tidak ada janji yang diucapkan, ada pemahaman yang tumbuh di antara mereka, bahwa mereka mungkin telah menemukan seseorang yang berada di jalan yang sama.
Ketika akhirnya mereka berpisah di depan masjid, baik Ren maupun Reina merasa bahwa ini bukan sekadar pertemuan kebetulan. Mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang telah mereka impikan selama ini, namun baru kini menemukan jalannya.