Setelah beberapa bulan berlalu sejak pertemuan mereka di taman, hubungan antara Ren dan Reina semakin kuat. Mereka semakin dekat, sering bertukar pikiran tentang kehidupan masa depan, dan bagaimana mereka membayangkan pernikahan yang mereka impikan. Mereka berdua sepakat untuk menjalani semuanya dengan cara yang benar, menghindari hal-hal yang bisa melanggar prinsip agama dan moral yang mereka pegang teguh.
Namun, semakin dekat mereka dengan tujuan, semakin jelas pula rintangan yang harus mereka hadapi. Salah satu yang terbesar adalah ekspektasi keluarga mereka yang sangat berbeda. Meskipun baik Ren maupun Reina sudah dewasa dan mandiri, dalam hal pernikahan, restu dan persetujuan keluarga tetap menjadi hal yang penting.
Suatu sore, Ren memutuskan untuk mengajak Reina makan siang di sebuah restoran kecil yang terletak tidak jauh dari kantornya. Suasana restoran yang tenang membuat mereka bisa berbicara lebih leluasa. Setelah memesan makanan, mereka mulai berbincang-bincang, awalnya membahas hal-hal ringan sebelum Ren membuka topik yang lebih serius.
"Reina, gue pengen ngomong sesuatu. Mungkin ini nggak mudah buat gue, tapi kayaknya kita harus bahas," kata Ren sambil menatap Reina dengan serius.
Reina, yang sedang menyeruput teh hangatnya, meletakkan cangkirnya dan menatap Ren dengan perhatian. "Apa Ren? Ada apa?"
Ren menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Gue udah ngobrol sama orang tua gue tentang kita. Tentang niat gue buat seriusin hubungan ini, buat menuju pernikahan."
Mata Reina berbinar mendengar kabar itu. "Oh ya? Apa tanggapan mereka?"
Ren tersenyum kecil sebelum menunduk, tampak ragu-ragu. "Mereka setuju, tapi ada satu hal yang agak berat buat gue. Ayah gue pengen gue segera nikah, tapi... mereka juga punya ekspektasi yang cukup tinggi. Terutama soal finansial dan kesiapan gue. Gue tahu gue belum sepenuhnya siap secara materi, tapi gue lagi berusaha."
Reina menatap Ren dengan penuh pengertian. "Gue ngerti, Ren. Orang tua mana pun pasti pengen yang terbaik buat anaknya, apalagi soal pernikahan. Tapi, mereka pasti bisa ngelihat keseriusan lo, kan?"
Ren mengangguk pelan. "Iya, mereka bisa ngelihat. Tapi tetap aja, mereka punya harapan besar. Gue nggak mau ngecewain mereka, Reina. Gue harus lebih kerja keras buat bisa ngebuktiin kalau gue layak buat nikah, terutama soal materi."
Reina terdiam sejenak, lalu berkata dengan lembut, "Ren, gue tahu lo serius, dan gue juga nggak masalah soal materi. Gue percaya sama proses, gue percaya sama lo. Gue yakin kalau kita jalani ini dengan sabar dan ikhtiar, insya Allah semuanya akan dipermudah."
Ren tersenyum lemah. "Terima kasih, Reina. Lo selalu bisa bikin gue tenang. Tapi, ada satu lagi yang pengen gue omongin..."
Reina mengerutkan kening, menunggu Ren melanjutkan.
"Orang tua gue juga berharap kalau gue bisa nikah sama seseorang yang sejalan dalam banyak hal, termasuk dari segi latar belakang keluarga. Mereka pengen pasangan gue punya nilai-nilai tradisional yang kuat, terutama dalam urusan adat. Gue tahu lo mungkin bukan orang yang terlalu kaku soal adat, tapi ini bisa jadi masalah kedepannya."
Reina terdiam mendengar itu. Meskipun dia sangat menghargai tradisi, keluarganya memang tidak seketat itu dalam menerapkan adat istiadat. Mereka lebih mengutamakan keimanan dan akhlak daripada hal-hal yang bersifat budaya atau tradisional. Namun, ia tahu bahwa bagi sebagian orang tua, adat bisa menjadi masalah besar dalam pernikahan.
"Ren, gue ngerti ini bisa jadi tantangan buat kita. Tapi kita belum bisa ambil keputusan sebelum kita benar-benar ngobrolin ini dengan keluarga, kan? Mungkin aja ada jalan tengah yang bisa kita ambil."
Ren mengangguk setuju, meskipun masih tampak sedikit khawatir. "Iya, lo benar. Tapi tetep aja, ini hal yang cukup berat buat gue. Gue nggak pengen ngecewain keluarga gue."
***
Di sisi lain, Reina juga sedang berusaha membuka diri pada keluarganya tentang hubungan ini. Meskipun hubungannya dengan Ren berjalan lancar, ia merasa sedikit cemas tentang bagaimana ibunya, Ibu Siti, akan bereaksi. Ibu Siti adalah sosok yang sangat perhatian dan bijaksana, tetapi dalam urusan pernikahan, dia memiliki pandangan yang sangat protektif terhadap anak-anaknya. Terutama karena Reina adalah anak perempuan tertua, Ibu Siti sering mengingatkannya bahwa memilih pasangan bukanlah perkara sederhana.
Suatu malam, setelah makan malam bersama keluarganya, Reina memutuskan untuk membuka percakapan dengan ibunya.
"Bu, boleh Reina ngobrol sebentar? Ada sesuatu yang pengen Reina omongin," kata Reina sambil membantu membereskan meja makan.
Ibu Siti menatap putrinya dengan lembut. "Tentu, sayang. Apa yang ingin kamu bicarakan?"
Reina duduk di meja makan, mencoba menenangkan dirinya sebelum memulai. "Bu, Reina udah lama deket sama seseorang. Namanya Ren. Dia teman lama waktu di sekolah dulu. Kita udah beberapa bulan ini sering komunikasi lagi, dan... Reina ngerasa kalau dia orang yang tepat buat Reina."
Ibu Siti tampak sedikit terkejut mendengar itu. Meskipun ia selalu menduga bahwa anaknya sudah dekat dengan seseorang, ini adalah pertama kalinya Reina membicarakannya secara langsung.
"Ren, ya?" Ibu Siti mengulang namanya sambil berpikir. "Bagaimana anaknya, Reina? Apa dia bisa membimbingmu? Kamu tahu, nak, menikah bukan hanya tentang cinta. Tapi tentang bagaimana kalian bisa saling mendukung, terutama dalam menjalankan agama dan membangun rumah tangga yang baik."
Reina mengangguk. "Iya, Bu. Ren punya pandangan yang sama soal agama dan pernikahan. Kita udah sering ngobrolin hal-hal itu, dan Reina yakin dia orang yang tepat buat Reina. Tapi, tentu aja, Reina nggak mau buru-buru. Kita masih dalam tahap saling mengenal lebih dalam."
Ibu Siti tersenyum lembut, namun ada kekhawatiran di wajahnya. "Reina, Ibu tahu kamu sudah dewasa dan bisa membuat keputusan sendiri. Tapi Ibu ingin kamu juga hati-hati. Keluarga kita punya nilai-nilai yang selalu kita jaga. Pernikahan itu bukan hanya tentang kamu dan Ren, tapi juga tentang bagaimana keluarga kalian bisa menyatu. Ibu berharap, kalau memang Ren adalah orang yang tepat, dia bisa menghormati nilai-nilai keluarga kita."
Reina mengangguk, meskipun ia menyadari bahwa ekspektasi ibunya mungkin tidak semudah yang terlihat. Keluarganya memang lebih longgar dalam urusan adat, tapi ada nilai-nilai tertentu yang selalu mereka pegang, terutama dalam hal pernikahan. Reina harus memastikan bahwa Ren dan keluarganya bisa sejalan dengan hal itu.
***
Beberapa hari kemudian, Ren dan Reina memutuskan untuk membicarakan tantangan-tantangan ini secara lebih mendalam. Mereka bertemu di taman yang sama, tempat di mana mereka pertama kali mulai membuka diri tentang perasaan mereka.
"Reina, gue tahu kita berdua punya rintangan masing-masing," kata Ren membuka percakapan. "Tapi gue percaya kalau kita tetap bersatu dan komunikasi dengan baik, kita bisa menemukan jalan keluarnya."
Reina menatap Ren dengan serius. "Iya, Ren. Gue juga ngerasa kayak gitu. Tapi kita juga nggak bisa abaikan ekspektasi keluarga. Mereka punya pandangan masing-masing, dan kita harus hormati itu. Tapi yang penting, kita harus pastikan kita ada di halaman yang sama."
Ren mengangguk. "Betul. Gue yakin, kalau kita bisa tunjukin keseriusan kita, keluarga kita bakal ngerti. Tapi, mungkin kita butuh waktu untuk nyatuin semua ini."
Reina tersenyum tipis. "Gue setuju. Pelan-pelan aja, Ren. Kita jalani ini dengan sabar dan ikhtiar. Dan yang paling penting, kita jangan putus asa."
Sedikit tambahan pembicaraan mereka, "Ren gimana kalau kita ganti panggilan sekarang, ya soalnya agak aneh karna dah mulai serius manggilnya lo gue, ganti aku kamu aja ya biar lebih enak di dengar, manggil Rei aja terlalu panjang banget manggil Reina" kata Reina
"Boleh juga, biar terbiasa di depan orang tua kita besok" jawab ren
Dengan tekad yang lebih kuat dan pemahaman yang lebih dalam, Ren dan Reina bersepakat untuk terus melangkah maju. Meskipun mereka tahu jalan yang harus dilalui mungkin tidak selalu mulus, mereka yakin bahwa dengan komunikasi yang baik, doa, dan usaha, mereka bisa mengatasi rintangan pertama ini.
Malam itu, keduanya pulang dengan perasaan lega. Meski belum ada solusi konkret, mereka merasa lebih siap menghadapi tantangan yang akan datang. Karena mereka tahu, cinta yang dilandasi oleh niat yang baik dan dibangun dengan komitmen serta kesabaran akan selalu menemukan jalannya.