Pagi di awal minggu itu terasa berbeda bagi Ren. Sejak pertemuan tak terduganya dengan Reina di kajian masjid beberapa hari lalu, ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Perasaan hangat yang dulu sempat tenggelam oleh kesibukan dan kehidupan sehari-hari kini perlahan muncul kembali. Ren mulai merasa ada yang membangkitkan semangatnya. Bukan hanya sekedar perasaan nostalgia terhadap masa lalu mereka, tetapi lebih pada harapan baru yang muncul setelah mengetahui bahwa Reina memiliki prinsip yang sama dengan dirinya tentang pernikahan.
Hari itu, Ren memutuskan untuk menghabiskan waktunya di kedai kopi milik Toni. Suasana kedai yang nyaman dengan aroma kopi yang kuat selalu menjadi tempat favorit Ren untuk berpikir. Toni sudah terbiasa melihat Ren termenung sendirian di salah satu sudut kedai, terutama ketika Ren sedang memikirkan sesuatu yang penting.
Toni, dengan senyum khasnya, membawa secangkir kopi hitam untuk Ren. "Lagi mikirin apa, bro?" tanyanya sambil duduk di seberang Ren.
Ren mengaduk kopinya perlahan. "Nggak ada yang spesifik. Cuma... kayaknya ada yang beda setelah gue ketemu Reina lagi."
Toni tertawa kecil. "Gue udah nebak dari kemarin. Lo kayak orang yang lagi jatuh cinta, Ren. Ngaku aja."
Ren tersenyum, sedikit malu. "Gue nggak mau bilang ini cinta, Ton. Gue cuma merasa... nyaman ngobrol sama dia. Reina itu beda. Pandangannya soal hidup, terutama pernikahan, bikin gue mikir kita mungkin bisa saling memahami lebih jauh."
Toni mengangguk, menunjukkan bahwa dia mengerti. "Ya, lo bener. Lo udah lama banget nyari seseorang yang punya prinsip sama kayak lo. Mungkin ini saatnya lo coba buka hati lebih luas. Tapi, jangan terlalu cepat juga. Pelan-pelan aja, biar semuanya alami."
Ren meneguk kopinya, membiarkan kata-kata Toni meresap dalam pikirannya. Toni benar. Dia tidak mau terburu-buru. Dia ingin semuanya berjalan sesuai takdir, dengan cara yang benar, sesuai dengan keyakinan dan prinsipnya.
Sementara itu, di sisi lain kota, Reina juga merasakan hal yang serupa. Di kantornya, sambil menatap layar komputer, pikirannya sesekali melayang kembali ke momen-momen pertemuannya dengan Ren. Ada sesuatu yang menenangkan tentang Ren yang membuatnya merasa nyaman. Bukan hanya karena mereka sudah lama saling mengenal, tetapi lebih pada kematangan Ren sekarang. Cara Ren berbicara tentang pernikahan dan tanggung jawab hidup membuat Reina merasa bahwa mereka bisa menjadi pasangan yang saling mendukung.
Ketika makan siang tiba, Dewi, yang bekerja di gedung yang sama, datang menghampiri Reina di meja kerjanya. "Rei, makan siang bareng yuk," ajak Dewi sambil tersenyum.
Reina mengangguk. "Boleh, Dew. Gue juga lagi pengen ngobrol sama lo."
Di kafe kecil dekat kantor mereka, Dewi mulai mengajukan pertanyaan. "Gimana, Rei? Sejak ketemu Ren lagi, ada perubahan nggak di hati lo?"
Reina tersenyum kecil, sedikit bingung harus menjawab apa. "Iya, mungkin. Gue nggak bisa bilang ini perasaan yang kuat kayak cinta. Tapi gue merasa nyaman sama dia. Obrolan kita mengalir begitu aja, dan ternyata pandangan kita tentang pernikahan sama."
Dewi tersenyum lebar. "Itu pertanda bagus, Rei. Gue selalu percaya kalau hubungan yang baik itu dimulai dari rasa nyaman dan saling menghargai pandangan. Cinta itu akan datang dengan sendirinya seiring waktu."
Reina mengangguk pelan, menyadari bahwa Dewi benar. Meskipun dia belum bisa mengatakan bahwa dia jatuh cinta pada Ren, tetapi ada benih-benih perasaan yang mulai tumbuh. Perasaan yang selama ini disembunyikan rapat-rapat di balik kesibukannya.
Setelah makan siang, Dewi melanjutkan pembicaraan dengan nada serius. "Rei, lo tahu kan gue baru aja menikah beberapa bulan lalu? Dan jujur, gue belajar banyak hal dari proses itu. Salah satunya, cinta bukan hanya tentang perasaan, tapi juga tentang kesiapan untuk menerima dan memberi. Kalau lo ngerasa nyaman sama Ren, mungkin lo bisa mulai pikirin langkah ke depan."
Reina menatap Dewi, lalu tersenyum. "Gue ngerti, Dew. Tapi gue juga nggak mau terburu-buru. Lo tahu sendiri, gue selalu hati-hati dalam urusan kayak gini. Gue cuma pengen semuanya berjalan sesuai niat yang baik."
Dewi mengangguk setuju. "Iya, gue paham kok. Pelan-pelan aja, Reina. Yang penting, lo tahu arah hubungan ini ke mana."
Setelah obrolan panjang itu, Reina merasa sedikit lega. Meskipun belum sepenuhnya siap untuk melangkah lebih jauh, dia mulai menyadari bahwa hubungan yang nyaman dan dilandasi dengan prinsip yang sama bisa jadi merupakan awal yang baik untuk sesuatu yang lebih serius.
***
Beberapa minggu berlalu, dan komunikasi antara Ren dan Reina semakin intens. Mereka sering bertukar pesan, saling berbagi cerita tentang hari-hari mereka, tentang pekerjaan, dan tentu saja, tentang pandangan mereka mengenai kehidupan. Meskipun belum ada kata cinta yang terucap, perasaan keduanya semakin dalam seiring waktu.
Suatu sore, Ren memberanikan diri untuk mengajak Reina bertemu lagi. Kali ini, bukan di acara kajian atau pertemuan formal lainnya, tapi di sebuah taman kota yang tenang, tempat mereka bisa berbicara lebih santai.
"Reina, gimana kalau kita ketemu akhir pekan ini? Gue pengen ngobrol lebih banyak hal, apa yang udah kita bahas akhir-akhir ini," ajak Ren lewat pesan singkat.
Reina membaca pesan itu dengan perasaan berdebar. Ia tersenyum kecil, lalu membalas. "Boleh, Ren. Sabtu sore kayaknya cocok. Di taman kota, gimana?"
"Setuju. Sampai ketemu Sabtu," balas Ren dengan singkat.
Sabtu sore itu, langit cerah dan angin sepoi-sepoi memberikan suasana yang menyenangkan. Ren tiba lebih dulu di taman, memilih tempat duduk di bawah pohon besar yang rindang. Tidak lama kemudian, Reina datang, mengenakan gaun sederhana berwarna pastel yang membuatnya terlihat anggun.
"Hai, Ren," sapanya sambil tersenyum hangat.
"Hai, Reina. Duduk sini," jawab Ren sambil mempersilahkan Reina duduk di bangku yang sama.
Setelah berbasa-basi sejenak tentang cuaca dan suasana taman, Ren akhirnya membuka percakapan yang lebih serius. "Reina, gue seneng banget bisa ngobrol banyak sama lo akhir-akhir ini. Jujur, gue ngerasa kita punya banyak kesamaan, terutama soal pernikahan dan kehidupan. Gue nggak mau terlalu cepat mengambil keputusan, tapi gue pengen tahu... apa lo juga ngerasa hal yang sama?"
Reina menatap Ren, terdiam sejenak. Dia bisa merasakan ketulusan dalam pertanyaan Ren, dan itu membuatnya merasa dihargai. "Iya, Ren. Gue juga ngerasa hal yang sama. Sejak kita ketemu lagi, gue merasa nyaman ngobrol sama lo. Pandangan kita tentang hidup dan pernikahan sangat mirip, dan itu bikin gue mikir... mungkin ini memang jalannya."
Ren tersenyum lega mendengar jawaban Reina. "Gue juga nggak mau terburu-buru, Reina. Gue cuma pengen semuanya berjalan alami, sesuai dengan niat kita masing-masing. Tapi yang pasti, gue serius soal ini."
Reina mengangguk pelan, merasa bahwa percakapan ini membawa mereka pada titik awal yang lebih serius. "Gue juga serius, Ren. Kita sama-sama tahu apa yang kita mau, dan kalau ini jalannya, gue siap buat melangkah pelan-pelan, selama kita sama-sama punya tujuan yang sama."
Mereka berbicara lama sore itu, berbagi pandangan lebih mendalam tentang masa depan, tentang harapan, dan tentang mimpi-mimpi yang ingin mereka wujudkan. Meskipun belum ada pernyataan cinta yang jelas, keduanya tahu bahwa benih cinta sedang tumbuh di antara mereka. Perlahan tapi pasti, cinta itu mulai bersemi di hati mereka, cinta yang tidak sekadar didasarkan pada perasaan sesaat, tetapi cinta yang dilandasi oleh keyakinan dan komitmen.
Hari mulai gelap, dan mereka berdua memutuskan untuk pulang. Sebelum berpisah, Ren berkata, "Reina, gue harap ini bisa jadi awal yang baik buat kita. Gue akan selalu menghargai dan menjaga proses ini."
Reina tersenyum hangat, merasakan kejujuran Ren. "Gue juga berharap hal yang sama, Ren. Terima kasih udah jadi orang yang bisa gue percaya."
Dengan perasaan yang lebih ringan dan harapan yang semakin besar, mereka berpisah malam itu. Di hati masing-masing, cinta itu kini bukan lagi sekedar perasaan, tetapi juga harapan akan masa depan yang penuh berkah.