Setelah hari yang penuh dengan kebingungannya, Ryota kembali ke rumah dengan langkah yang berat. Ia langsung menuju kamarnya, tanpa banyak bicara dengan keluarganya. Begitu pintu kamarnya tertutup, ia berjalan menuju meja di sudut ruangan. Di sana, tumpukan uang yang ia kumpulkan selama beberapa waktu tergeletak, memenuhi satu amplop besar. Hatinya terasa semakin berat saat ia memandangnya.
Seolah suara hatinya yang ragu-ragu bisa didengar, Yumeko tiba-tiba muncul di kamar. Wujudnya muncul dari bayangan, dengan langkah ringan yang seolah tidak mengganggu ruang sekitarnya. Ia menatap Ryota dengan mata yang menyiratkan keinginan untuk mendengar keputusan yang telah ia buat.
"Apakah kau sudah siap?" Yumeko bertanya, suaranya tenang namun penuh makna, seakan ia sudah mengetahui apa yang akan dijawab oleh Ryota. "Uang itu sudah cukup untuk menyelesaikan kontrakmu, Ryota."
Ryota menatap Yumeko, sedikit terkejut dengan cara ia muncul tanpa pemberitahuan. Namun, ia menahan diri untuk tidak menunjukkan kegelisahannya. "Aku... aku tidak yakin," jawabnya, suara rendah namun jelas. "Aku tahu ini yang harus dilakukan, tapi..." Ia berhenti, mencoba menenangkan pikirannya.
Yumeko hanya tersenyum tipis, sikapnya yang acuh tak acuh seakan menunjukkan bahwa ia sudah cukup sabar menunggu keputusan Ryota. "Keputusan ini memang sulit," katanya, melangkah mendekat. "Tapi kau tahu apa yang harus dilakukan, bukan?"
Ryota menundukkan kepalanya, menatap uang itu lagi. Keputusan ini terasa seperti jalan satu-satunya, tetapi hatinya terasa hancur. Yukina... apakah ia harus benar-benar menjauh dari gadis itu?
"Aku... akan melakukannya," Ryota akhirnya mengatakannya dengan tegas, meski kata-katanya terasa berat. "Tapi bukan dengan cara yang aku inginkan."
Yumeko mengangguk. "Itulah pilihan yang terbaik. Segera lakukan, sebelum kau terlambat."
Ryota menatap Yumeko untuk beberapa detik, lalu mengambil ponselnya dari meja. Jarinya terasa kaku saat ia mengetik pesan kepada Yukina.
"Yukina, aku ingin bicara denganmu. Aku akan datang ke rumahmu akhir pekan nanti."
Setelah pesan itu terkirim, Ryota duduk kembali di tepi tempat tidur, tangan menggenggam erat amplop berisi uang yang sudah cukup untuk mengakhiri kontrak ini. Yumeko, yang melihatnya dari kejauhan, tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengamati Ryota, seperti menunggu keputusan itu benar-benar terwujud.
"Segera lakukan, Ryota," kata Yumeko akhirnya, suaranya seperti angin yang tidak memberi ruang untuk penundaan. "Waktu tidak akan menunggumu."
Ryota menghela napas panjang, menatap amplop itu sekali lagi. Ia tahu, setelah pertemuan itu dengan Yukina, tak ada yang akan sama lagi. Namun, ia juga tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil jika ia ingin bebas dari bayang-bayang kontrak yang selama ini mengikatnya.
Ia memutuskan, akhir pekan nanti, ia akan menemui Yukina dan mengatakan semuanya. Menghadapi kenyataan yang tak bisa dihindari. Dan berharap, meski segalanya akan berubah, mereka tetap bisa menemukan cara untuk berjalan di jalannya masing-masing.
---
Pada akhir pekan, Ryota berdiri di depan pintu rumah Yukina dengan perasaan yang berat di dada. Hatinya berdebar-debar, setiap langkah yang ia ambil terasa begitu sulit. Setelah beberapa kali mengetuk pintu, akhirnya pintu itu terbuka, dan Yukina berdiri di sana, tersenyum seperti biasanya, meskipun ada keheningan yang terasa tebal di antara mereka.
"Ryota-kun, masuklah," kata Yukina, membuka pintu lebih lebar dan mempersilakan Ryota masuk.
Ryota hanya mengangguk kecil, melangkah masuk dengan langkah yang agak canggung. Begitu ia berada di dalam, Ryota duduk di kursi ruang tamu rumah Yukina, sementara Yukina membawakan dua gelas teh. Ia duduk di seberangnya, menatapnya dengan senyum lembut, meskipun ada ketegangan yang jelas terlihat di wajahnya.
"Apa yang membuatmu datang ke sini hari ini, Ryota-kun?" tanya Yukina, mencoba terdengar santai.
Ryota mengambil napas dalam, tangannya menggenggam gelas teh dengan erat. "Aku hanya ingin... berbicara sebentar. Ada sesuatu yang penting yang harus kukatakan."
Yukina sedikit terkejut, tapi ia menyembunyikan kegugupannya. "Tentu, apa itu?"
Ryota menatap ke bawah, menatap pantulan dirinya di permukaan teh. "Terima kasih untuk semuanya, Yukina. Selama ini... kau selalu ada, meskipun aku tahu aku sering merepotkanmu. Aku bahkan tidak layak untuk itu."
Yukina mengernyit sedikit. "Ryota-kun, kenapa kau berbicara seperti itu? Kau tidak merepotkanku."
Ryota tersenyum tipis, tapi tidak ada kehangatan di dalamnya. "Mungkin kau merasa begitu sekarang, tapi setelah ini, kau tidak akan merasa seperti itu lagi. Aku... aku hanya ingin meminta maaf. Untuk semuanya. Untuk semua hal yang terjadi karena aku. Dan untuk apa yang akan kulakukan."
Yukina mulai merasa sesuatu yang buruk akan dikatakan Ryota. Ia meletakkan gelasnya di meja, menatap Ryota dengan tatapan serius. "Apa yang kau maksud, Ryota-kun?"
Ryota mengangkat kepalanya perlahan, menatap mata Yukina dengan penuh penyesalan. "Malam ini... aku akan pergi ke hotel dan menyewa seorang pelacur."
Kata-kata itu membuat Yukina terpaku, seperti terkena pukulan yang tidak terlihat. Mulutnya terbuka sedikit, tapi tidak ada suara yang keluar.
"Aku harus menyelesaikan kontrakku," lanjut Ryota dengan nada suara yang berat. "Dan setelah itu, kau... kau tidak akan terpaksa mencintaiku lagi. Semua perasaanmu akan hilang, dan kau akan bebas."
Yukina menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Ryota-kun... kenapa? Kenapa harus seperti itu? Apa tidak ada cara lain?"
Ryota menggeleng pelan. "Aku sudah memikirkannya. Ini adalah cara tercepat. Aku tidak ingin melibatkanmu lebih jauh, Yukina. Kau sudah cukup menderita karena aku."
Yukina menggigit bibirnya, berusaha menahan emosinya. "Tapi... kalau begitu, kenapa tidak melakukannya denganku saja?"
Ryota menatapnya, matanya dipenuhi dengan rasa bersalah. "Aku tidak bisa, Yukina. Apa kau akan mengatakan hal yang sama jika itu dirimu yang asli? Jika aku melakukannya, kau yang asli mungkin akan membenciku selamanya. Dan aku tidak ingin itu terjadi. Aku tidak ingin melukaimu lebih dari ini."
Air mata mulai mengalir di pipi Yukina. Ia menunduk, menutupi wajahnya dengan tangannya. "Ryota-kun... aku tidak tahu apa yang harus kukatakan..."
Ryota berdiri perlahan, berusaha untuk tetap tegar meskipun hatinya terasa seperti dihancurkan berkeping-keping. "Maaf, Yukina. Aku benar-benar minta maaf. Tapi ini harus kulakukan. Selamat tinggal."
Ia berbalik menuju pintu, tapi sebelum melangkah keluar, ia berhenti sejenak, menoleh sedikit tanpa menatap langsung ke arah Yukina.
"Terima kasih... untuk segalanya, Yukina. Kau adalah orang yang luar biasa. Maaf aku tidak bisa menjadi seseorang yang pantas untukmu."
Tanpa menunggu jawaban, Ryota membuka pintu dan melangkah keluar. Angin malam yang dingin menyambutnya, menyapu wajahnya yang suram. Ia berjalan menjauh, meninggalkan Yukina yang terduduk di ruang tamu, menatap kosong ke arah pintu yang telah tertutup.
Yukina menggenggam bajunya sendiri, merasakan rasa sakit yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya. Air matanya terus mengalir, tapi ia tahu ia tidak bisa menghentikan Ryota. Ia hanya bisa membiarkannya pergi, meskipun hatinya hancur berkeping-keping.