Hari itu terasa berbeda bagi Yukina. Sejak pagi, ia memutuskan untuk mengabaikan Ryota. Keputusan yang datang begitu saja, meski ia tahu itu akan menambah ketegangan di antara mereka. Di sekolah, ia tidak meliriknya sama sekali, bahkan ketika Ryota mencoba menyapanya. Ia memilih untuk berjalan lebih cepat, sengaja menjauh dari Ryota, seolah-olah ia tak peduli.
Namun, di dalam dirinya, hati Yukina bergejolak. Ia mencoba berpura-pura bahwa ia tidak peduli, bahwa ia bisa melupakan perasaan itu, namun semakin ia berusaha, semakin terasa berat. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti beban yang semakin menekan dadanya.
Di saat yang bersamaan, Ryota yang berjalan di belakangnya, hanya memandang Yukina dengan pandangan kosong. Sejak kontraknya dengan Yumeko selesai, ia merasa ada jarak yang semakin lebar antara dirinya dan Yukina. Selama ini, ia tahu bahwa perasaan Yukina padanya tidak sepenuhnya tulus, tapi ia tidak pernah menyangka bahwa perasaan itu akan hilang begitu saja.
Ia melihat Yukina yang kini menghindarinya dengan jelas. Tidak ada lagi tatapan lembut, tidak ada lagi senyum yang menghangatkan hatinya. Hanya ada keheningan yang memisahkan mereka.
"Yukina, ada apa?" Ryota akhirnya memutuskan untuk menghampirinya, suaranya sedikit ragu.
Yukina berhenti sejenak, namun tidak menatap Ryota. Ia terus melangkah maju tanpa berkata-kata. "Tidak ada," jawabnya datar, mencoba menyembunyikan perasaan yang terus berkecamuk di dalam hati.
Ryota terdiam, perasaan kecewa mengalir begitu saja dalam dirinya. Ia berpikir, Mungkin dia sudah benar-benar melupakan aku. Mungkin ini waktunya untuk melepaskan semua yang ada di antara kita.
Namun, meskipun hatinya terasa hancur, Ryota tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya membiarkan Yukina terus berjalan, menjauh darinya. Ia pikir itu adalah yang terbaik. Yukina sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi padanya, dan mungkin, itu adalah hasil dari semua yang telah terjadi—kontrak yang telah berakhir, sihir yang telah hilang, dan mereka berdua yang kini terpisah oleh kenyataan.
Sementara itu, Yukina merasakan perasaan yang sulit dijelaskan. Ada semacam kesedihan yang tak tertahankan setiap kali ia melirik ke belakang dan melihat Ryota yang tampak begitu jauh, seolah tidak peduli dengan kehadirannya. Padahal, dalam hatinya, ia tahu ia tidak bisa begitu saja melupakan perasaan itu. Tapi, ia juga tidak bisa mengungkapkan semuanya. Takut jika perasaan itu hanyalah sisa-sisa sihir, takut jika ia akan lebih menyakitkan jika ia mengakuinya.
Hari-hari pun berlalu dengan keheningan yang semakin tebal. Di sekolah, mereka berdua saling menghindar, berusaha berpura-pura bahwa tidak ada yang berubah. Namun, keduanya tahu, meskipun tak diucapkan, perasaan mereka masih ada, terpendam dalam diam yang mencekam.
Namun, suatu sore, saat Yukina berjalan pulang sendirian, ia merasa ada yang aneh. Sebuah perasaan yang tak bisa ia hindari mulai meresap kembali—perasaan ingin berada di dekat Ryota, ingin tahu apa yang sebenarnya ia rasakan.
Apakah aku harus berbicara padanya? pikir Yukina, meskipun ia takut dengan apa yang akan terjadi setelahnya. Tapi satu hal yang pasti—perasaannya pada Ryota belum berakhir, meskipun sihir Yumeko sudah lama menghilang.
Dan Ryota? Dia juga tak tahu apa yang harus ia lakukan. Apakah ia akan membiarkan jarak itu semakin lebar, ataukah ia akan berjuang untuk mendapatkan kembali apa yang hilang?
Perasaan mereka saling bertabrakan, namun keduanya belum siap untuk mengungkapkan apa yang sesungguhnya ada di dalam hati. Mereka hanya bisa menunggu, berharap waktu akan memberi jawaban, atau mungkin membuat segalanya lebih jelas.
Namun untuk saat ini, keheningan dan jarak itu tetap ada. Dan hanya waktu yang akan menentukan, apakah mereka akan berani menghadapinya, ataukah akan terus menghindar dari kenyataan yang ada di depan mata.
---
Keesokan harinya, Yukina berdiri di depan kelas, memandang Ryota yang sedang berbicara dengan Hiro dan Takumi. Setiap detik yang berlalu, perasaan di dalam dirinya semakin membingungkan. Meskipun sihir yang mempengaruhi perasaannya telah hilang, kenapa ia masih merasa seperti ini? Kenapa hatinya terasa begitu hampa tanpa Ryota?
Ia sudah mencoba mengabaikan perasaan itu, mencoba untuk tidak peduli dan menjaga jarak. Tapi semakin ia menjauh, semakin sulit untuk menahan perasaan itu. Ia merasa seakan ada yang hilang—seperti ada ruang kosong yang tidak bisa ia isi. Perasaan itu, meskipun bukan miliknya yang asli, masih terasa begitu kuat. Yukina tahu itu tidak benar, tapi dia tidak bisa melawan kenyataan bahwa hatinya masih ingin dekat dengan Ryota.
Hari itu, dia memutuskan untuk menanyakan langsung. Ia harus tahu—apakah perasaan yang ia rasakan benar-benar miliknya, atau hanya efek dari sihir yang sudah hilang. Tidak ada lagi yang bisa ia sembunyikan. Dia harus tahu jawabannya.
Setelah beberapa saat menunggu, Yukina mengumpulkan keberaniannya dan berjalan mendekati Ryota yang sedang berdiri bersama teman-temannya. Ryota menoleh ketika mendengar langkah kaki Yukina mendekat, ekspresinya biasa saja, seolah tidak ada yang berbeda.
"Ryota," suara Yukina terdengar lebih lembut dari yang ia kira. Ia merasa sedikit cemas, namun matanya tetap menatap Ryota dengan serius. "Aku ingin bertanya sesuatu."
Ryota menatapnya sejenak, kemudian mengangguk, memberi tanda agar Yukina melanjutkan. "Apa yang ingin kamu tanyakan?" katanya dengan nada datar, sedikit heran.
Yukina menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Setelah semua yang terjadi, apakah... apakah kamu merasa kita masih bisa seperti dulu?" tanyanya, menahan gemetar di suaranya. "Aku merasa... tidak ada yang berubah. Aku ingin tahu, apakah perasaan ku... masih sama?"
Ryota terdiam sejenak, matanya mengerjap seolah memproses kata-kata Yukina. Ia merasa sedikit bingung, namun sebuah senyuman kecil mulai terbentuk di wajahnya, meski cepat-cepat ia sembunyikan. "Yukina," ia memulai dengan suara yang lebih lembut. "Kamu tahu, aku sudah berpikir tentang ini. Aku kira kamu sudah tidak merasa seperti itu lagi setelah setelah sihir Yumeko hilang."
Yukina menunduk, rasa sakit dan kebingungan muncul begitu saja. "Aku tidak tahu," katanya pelan. "Aku merasa seperti... hatiku masih ingin dekat denganmu. Tapi, aku tidak tahu apakah itu benar-benar perasaanku atau hanya efek dari sihir itu."
Ryota memperhatikan Yukina dengan lebih serius sekarang. Ekspresinya berubah menjadi lebih lembut, hampir tidak bisa disembunyikan. "Jadi... kamu masih merasa seperti itu? Meskipun sihir itu sudah hilang?"
Yukina mengangguk pelan, matanya sedikit terbuka karena kebingungan. "Iya. Aku tidak tahu apakah itu benar-benar perasaanku. Aku hanya merasa kosong tanpa kamu.
Ryota terdiam beberapa detik, merenungkan kata-kata Yukina. Lalu, dengan senyum yang semakin lebar, ia melangkah sedikit lebih dekat. "Aku senang mendengar itu, Yukina," katanya, suaranya dipenuhi kelegaan. "Aku pikir, setelah semuanya selesai, kamu sudah tidak merasa apa-apa lagi terhadapku. Tapi... tak kusangka, perasaan mu masih ada"
Yukina terkejut. "Kamu... kamu merasa seperti itu?" tanyanya dengan ragu.
"Iya," jawab Ryota dengan mantap. "Meskipun aku sempat berpikir kalau kita sudah berakhir setelah sihir Yumeko hilang, ternyata... aku masih ingin bersama kamu. Aku tahu ini egois, tapi Ini adalah perasaanku yang sebenarnya."
Seketika, sebuah kelegaan luar biasa mengalir dalam diri Yukina. Ia merasa seolah bebannya terangkat begitu saja. "Jadi... kita masih bisa seperti dulu? Kita bisa mulai lagi?"
Ryota mengangguk. "Ya, aku ingin kita bisa seperti dulu lagi. Tanpa sihir, tanpa kekacauan, hanya kita berdua."
Yukina merasa jantungnya berdegup kencang. Senyuman lembut terukir di wajahnya. "Aku juga, aku ingin kita bisa kembali bersama, tanpa ada halangan apa pun."
Dengan kata-kata itu, mereka saling menatap, seakan ada sebuah pemahaman baru yang tumbuh di antara mereka. Meskipun semuanya tampak berubah, perasaan mereka ternyata tetap sama—tanpa sihir, tanpa manipulasi, hanya mereka berdua yang ingin melanjutkan jalan mereka bersama.
Ryota melangkah sedikit lebih dekat dan dengan lembut mengangguk. "Jadi, ayo kita mulai lagi. Seperti yang kamu inginkan."
Dan di sana, di bawah langit yang sama, mereka berdua tahu bahwa apapun yang terjadi, mereka siap untuk menghadapinya bersama.
End