Siang itu, suasana di Arudi Dungeon dipenuhi dengan aktivitas yang terorganisir. Setelah siang yang penuh dengan kesubukan yang cukup padat, Dante dan Vergil memutuskan untuk berganti shift dengan Aeka dan Takano. Dengan pergantian ini, giliran Vergil untuk terjun langsung ke dalam dungeon, sementara Aeka, Anastasya, dan Takano mengambil alih tugas memantau dari ruang kendali.
Vergil dan Dante segera menuju ke jalan belakang dungeon, mempersiapkan Cloaking Device miliknya. Dengan perangkat ini, mereka berdua bisa bergerak tanpa terdeteksi oleh para petualang yang berkeliaran di dungeon. Berbekal petunjuk dari catatan inventaris sebelumnya, ia mulai mengisi kembali semua peti harta karun yang tersebar di lantai-lantai dungeon. Setiap peti disesuaikan dengan tingkat kesulitan lantai tempatnya berada, memastikan keseimbangan antara hadiah yang menarik dan tantangan yang menantang.
Para Mini Golem, yang sudah dilatih untuk membantu secara diam-diam, membawa barang-barang yang diperlukan untuk pengisian ulang. Mereka bekerja dengan efisiensi luar biasa, mengangkut senjata, potion, bahan-bahan sihir, armor, serta jebakan khusus untuk lantai-lantai yang lebih tinggi. Setiap jebakan dirancang untuk menguji kewaspadaan dan keahlian para petualang, mulai dari gas tidur, anak panah beracun dengan dosis rendah, hingga sihir pelumpuh level rendah yang hanya bisa dinetralkan dengan mantra atau obat tertentu.
Di ruang kendali, Aeka bersama Anastasya dan Takano memantau jalannya operasi. Layar-layar besar menampilkan peta dungeon secara real-time, dengan titik-titik yang menunjukkan lokasi Vergil dan para mini golem. Mereka memastikan bahwa pengisian ulang berjalan lancar tanpa hambatan, sembari tetap memantau pergerakan para petualang di dalam dungeon
"Kak Vergil, sepertinya sebuah party baru masuk kedalam Aruldi Dungeon." kata Takano melalui alat komunikasi khusus
"Kalau begitu biarkan saja, lagi pula bukan urusan kita...." kata Vergil dengan santai
"kak Dante merasakan sesuatu yang berbeda pada salah satu anggotanya. Aku juga merasakan sesuatu juga yang berbeda." kata Takano,
"Apanya yang berbeda?" tanya Vergil dengan penasaran
"Aku tidak yakin tetapi kak Dante bilang dia dari dunia lain." kata Takano.
"Menarik..... tandai party tersebut dan peringatkan pada semua monster untuk waspada, aku punya firasat kalau yang akan kita hadapi cukup spesial...." kata Vergil
"Lalu apa yang akan kita lakukan?" tanya Takano
"Minta Assassin Guild mengundang mereka, aku dan Dante akan mengurus hal tersebut....." kata Vergil.
Dante bergerak dengan gesit di lantai-lantai awal Arudi Dungeon, tugasnya adalah mengisi kembali peti harta karun di lantai B1-B3 serta menyiapkan jebakan yang telah terpacu oleh para petualang sebelumnya. Dengan Cloaking Device yang tidak hanya menyembunyikan wujudnya tetapi juga menyamarkan aura dan kekuatan sihirnya, ia seharusnya tidak terdeteksi oleh siapapun. Namun, saat mengamati sebuah party yang sedang menjelajah lantai B3, Dante merasa ada sesuatu yang aneh. Salah satu anggota party tersebut tampaknya memperlihatkan tanda-tanda bahwa ia bisa merasakan keberadaan Dante, meskipun tidak menunjukkan reaksi langsung.
Penasaran sekaligus waspada, Dante memilih untuk memperhatikan mereka lebih dekat. Party itu terdiri dari empat anggota, semuanya perempuan, yang secara mengejutkan tidak memiliki Spell Caster atau Cleric di dalamnya—sebuah susunan yang jarang terlihat di dungeon yang berbahaya seperti ini. Meskipun demikian, mereka tampak tangguh, mampu bertahan dari jebakan dan monster di lantai-lantai awal dengan cukup efektif.
Ketika party itu melanjutkan perjalanan mereka ke lantai B4-E, giliran Vergil yang mengambil alih pengawasan. Dari ruang kendali, Takano dan Anastasya mengamati gerakan mereka dengan seksama. Keanehan susunan party mereka menjadi salah satu hal yang menarik perhatian Vergil. Tidak adanya penyihir atau penyembuh di dalam kelompok itu membuatnya bertanya-tanya tentang strategi mereka. Apakah mereka memiliki kemampuan tersembunyi? Atau mungkin mereka terlalu percaya diri dan meremehkan bahaya dungeon ini? Ketika party tersebut akhirnya memasuki lantai B5-C, yang dikenal sebagai markas para Kobolt, tingkat kesulitan mulai meningkat drastis. Para Kobolt di lantai ini sangat terorganisir dan selalu waspada terhadap ancaman. Mereka memasang berbagai jebakan, mulai dari serangan dadakan, jerat tali sihir, hingga panah beracun dosis rendah yang ditembakan dari Kobolt yang membawa Crossbow. Party itu mulai terlihat kesulitan menghadapi jebakan yang berlapis-lapis dan serangan mendadak dari para Kobolt yang menyerang dengan formasi yang disiplin. Vergil berdiri di sudut tersembunyi lantai B5-C, mengamati party yang sedang berjuang melawan jebakan dan serangan Kobolt. Namun, pandangannya terus tertuju pada salah satu anggota mereka, seorang gadis dengan rambut perak panjang yang memancarkan kilauan di bawah cahaya redup dungeon. Mata merahnya bersinar tajam, memancarkan aura kepercayaan diri meskipun teknik bertarungnya terlihat sedikit sembrono—namun efektif. Ada sesuatu yang menggelitik ingatan Vergil. Setiap gerakan gadis itu terasa familiar, dari cara ia memutar pedangnya hingga teknik bertarung yang ia gunakan. Sejenak, Vergil terhanyut dalam kenangan masa lalu, mengingat petualangan-petualangannya di dunia lain. Teknik pedang itu. Itu miliknya. Tapi bagaimana bisa dia ada di sini? Merasa perlu memastikan kecurigaannya, Vergil membiarkan kekuatan uniknya, Mata Terkutuknya, aktif. Mata biru aqua-nya berubah menjadi merah menyala, dengan tiga simbol tomoe muncul di sekitar pupilnya. Dengan kemampuan ini, ia dapat melihat aura dan jejak spiritual seseorang secara lebih mendalam, menggali inti keberadaan mereka. Saat ia mengarahkan tatapannya pada gadis itu, kebenaran terungkap. "Dia... Dia... tidak mungkin!" gumam Vergil, nyaris tidak percaya. Sosok gadis itu adalah seseorang yang pernah ia latih di masa lalu, saat ia menjelajah dunia lain yang kini terasa seperti mimpi. Ia pernah mengajarkan teknik bertarung tersebut kepada seorang murid berbakat, seseorang yang ia pikir tidak akan pernah bertemu lagi setelah ia meninggalkan dunia itu. Tapi kenyataan ini kini berdiri di hadapannya, memegang pedang dengan keahlian yang mengingatkan pada pengajaran Vergil sendiri. Perasaan campur aduk menyelimuti dirinya. Antara rasa bangga melihat tekniknya digunakan dengan baik dan rasa penasaran tentang bagaimana gadis itu bisa berada di dunia ini. Vergil memutuskan untuk tidak berlama-lama di lantai itu. Setelah mengaktifkan kembali Cloaking Device-nya, ia segera menuju ruang kendali untuk mencari jawaban lebih lanjut. "Anastaya... aku bisa pinjam ruangan milik Vlademir?" tanya Vergil masuk kedalam ruang kendali "Bisa, tapi kenapa?" tanya Anastasya "Kakak mau melawan mereka? AKU IKUT!" kata Takano dengan senang "Boleh kalau bisa jangan bunuh mereka..." kata Vergil "Kalau begitu aku juga akan ikut." kata Dante "Baiklah kalau begitu...." kata Anastasya segera memindahkan Dante, Vergil dan Takano ke ruangan yang dijaga oleh Vlademir. "Tuan Vergil, Nona Aeka, kenapa anda ada disini?" tanya Vlademir kebingungan "Kami pinjam ruanganmu, ada hal yang ingin aku pastikan...." kata Vergil memakai jubah hitam. "Baiklah kalau begitu aku kembali dulu." kata Vlademir kembali ke bangsal para monster Dante dan Takano memakai jubah hitam mereka, aura kelam menyelubungi tubuh mereka saat mata terkutuk mulai bersinar, menciptakan tekanan besar di ruang yang mulai terguncang. Portal keruangan yang aktif bersinar terang, memuntahkan energi yang tidak stabil. Vergil, berdiri tegap di tengah arena dengan tangan menggenggam pedangnya dan memakai jubah hitam, mengamati kedatangan party tersebut dengan mata tajam. Saat gadis berambut putih maju dengan aura penuh keyakinan, Vergil menarik napas dalam. Dante menyerang lebih dulu, dengan santai menghadapi archer di barisan belakang. Sang archer mencoba menyerang dari kejauhan, melepaskan rentetan anak panah magis yang dipadukan dengan sihir elemen. Namun, Dante menghindari setiap serangan dengan mudah, seolah menari di antara tembakan panah magis archer tersebut. Sementara itu, Takano melompat dengan kecepatan tinggi, membelah formasi lawan dengan senjata melee-nya. Dua gadis bersenjata tombak dan pedang mencoba menjepitnya dari dua arah. Namun, Takano tetap tenang, membaca setiap gerakan mereka. "Seranganku bukan sesuatu yang bisa kau hindari," ucap salah satu gadis sambil mengayunkan tombaknya. Takano menepis serangan itu dengan senjatanya, lalu berputar ke belakang lawan, melumpuhkan gadis tersebut dengan satu pukulan telak. "Kau terlalu banyak bicara," balasnya dengan . Di tengah kekacauan, Vergil dan gadis berambut putih mulai bertarung sengit. Gadis itu menyerang dengan tangan kosong, gerakannya seperti tarian yang mematikan, setiap pukulan diarahkan ke titik lemah Vergil. Namun, Vergil lebih unggul dalam ketangkasan dan pengendalian diri. Ia menangkis setiap serangan dengan pedangnya tanpa banyak bergerak, seolah menguji lawannya. Gadis itu mencabut pedangnya dengan gerakan tegas, sinar matahari yang menyelinap di antara pepohonan memantulkan kilatan logam tajamnya. Vergil, tanpa ragu, mengangkat pedangnya, mempersiapkan diri untuk duel yang tidak bisa dihindari. Dua pedang itu saling beradu, menghasilkan denting logam yang menggema di udara. Gadis berambut perak tersebut menyerang dengan serangkaian tebasan cepat, gerakannya ringan namun penuh kekuatan. Vergil bertahan dengan sigap, menangkis setiap serangan dengan presisi yang nyaris sempurna, matanya tajam mempelajari setiap celah dalam gerakan lawannya. Lalu, dia melihatnya—sebuah celah kecil di antara langkah gadis itu. Dengan kecepatan kilat, Vergil melayangkan tebasan ringan yang tepat mengenai lengan gadis itu, cukup untuk membuatnya terhenti sejenak. Gadis itu meringis, tapi tidak menyerah begitu saja. Dia melangkah mundur, menarik napas berat sambil menekan luka di lengannya. "Cukup," katanya dengan suara dingin, memberi isyarat pada partynya. Salah satu dari mereka, seorang gadis berambut ungu dan memakai pedang besar, mengeluarkan gulungan sihir bercahaya dari dalam tasnya. Mereka bertukar pandang sejenak sebelum mundur perlahan, meninggalkan medan pertempuran. "Sudah aku duga itu dirinya." kata Vergil "Maksud kakak apa?" "Sepertinya salah satu muridku bereinkarnasi didunia ini, semua teknik pedang... pergerakan... " kata Vergil "Sepertinya Nenek Meng kehabisan elixir saktinya...." kata Dante dengan menghela nafas "Sepertinya...." kata Takano "Pertanyaan dasarku adalah... sebelum dia jadi seperti ini, dia itu laki-laki.... kenapa bisa ya?" kata Vergil "HHHHEEEEEE?????" reaksi Takano dan Dante bersamaan "Jangan tanya aku kenapa dia jadi perempuan...." kata Vergil "Kalau begitu aku akan minta Assassin Guild membawa mereka bertemu.... terutama untuk diriku dan dia...." kata Vergil "Ya sudah kalau begitu, pertarungan tadi cukup menyenangkan." kata Takano. "Apa kalian sudah selesai? Kalau sudah segera kembali ke ruang kendali" kata Anastasya Vergil bersama Dante dan Takano kembali ke ruang kendali dungeon. Ketiganya kembali menjalankan tugas mereka seperti biasa sebagai dungeon caretaker bersama Aeka dan Anastasya, memastikan mekanisme perangkap dan makhluk-makhluk penjaga berjalan sesuai fungsi. Meski pertemuan sengit tadi sempat membuat suasana tegang, mereka kembali tenang, menyadari bahwa ini hanyalah bagian lain dari rutinitas pekerjaan mereka. Sementara itu, di luar dungeon, keempat gadis petualang itu akhirnya tiba di pintu masuk. Tubuh mereka masih terasa lelah, tapi keberanian yang membara dalam hati mereka tak padam. Mereka berjalan cepat menuju Assassin Guild Tavern, tempat para petualang berkumpul untuk berbagi cerita, minuman, dan informasi berharga. "Boss monster berbentuk manusia?" Salah satu petualang yang mendengar cerita mereka, seorang pria paruh baya dengan bekas luka di pipinya, menyipitkan mata. "Mata merah dan jubah hitam? Itu terdengar seperti sesuatu yang tidak biasa." Gideon, seorang petualang berpengalaman yang terkenal di guild, mendengarkan cerita itu dengan saksama sambil menyeruput minumannya. Di meja yang sama, partynya yang terdiri dari empat orang duduk dalam diam, mengamati para gadis itu dengan serius. "Kami tidak salah lihat," kata gadis berambut perak yang sebelumnya berduel dengan Vergil. "Mereka memiliki aura yang berbeda, bukan seperti monster dungeon biasa. Mereka... hampir seperti penjaga, tapi terasa jauh lebih mematikan." Gideon meletakkan gelasnya, tatapannya tajam. "Jika kalian benar, itu artinya ada yang tidak beres di dungeon itu. Lantai B4 sampai B6 biasanya dikuasai oleh Abyssal Knight, kan? Kalau ada boss lain, itu artinya struktur dungeonnya mulai berubah. Dan itu... berbahaya." Salah satu anggota partynya, seorang penyihir bernama Lyria, mengangguk. "Aku pernah mendengar laporan aneh dari petualang lain. Beberapa orang mengklaim mereka menghadapi Garm, serangan dan teknik bertarungnya meningkat, bahkan harus 2 party untuk mengalahkannya. Itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Seolah-olah mereka... belajar dari kita dan mengembangkan diri mereka." Kata-kata itu membuat keheningan melanda meja mereka. Para petualang lain yang mendengarkan dari dekat mulai bertukar pandang, beberapa di antaranya terlihat gugup. Struktur dungeon yang berubah adalah pertanda buruk, sering kali menjadi awal dari sesuatu yang jauh lebih besar dan berbahaya. "Jika itu benar," lanjut Gideon, suaranya rendah, "kita harus menyelidikinya. Tapi kali ini, kita harus lebih siap. Siapapun yang mau ikut, pastikan kalian tahu apa yang akan kita hadapi. Ini bukan sekadar dungeon run biasa." Malam tiba, dan suasana di Assassin Guild mulai mereda. Para petualang yang biasanya sibuk dengan minuman dan cerita mulai terlelap satu per satu di Guild Inn. Namun, di sudut guild yang gelap dan tersembunyi, ruangan rahasia mulai terisi bisikan. Vergil berdiri di tengah ruangan itu bersama Cassandra dan Mara, dua pemimpin Assassin Guild yang terkenal karena ketegasan mereka. Suasana di ruangan itu terasa tegang, diterangi hanya oleh cahaya lilin yang berkedip-kedip. "Mereka menginap di Guild Inn, seperti yang kau duga," kata Mara, menyandarkan tubuhnya pada meja besar di ruangan itu. Vergil mengangguk, sorot matanya dingin namun penuh tekad. "Aku perlu bertemu dengan mereka. Khususnya gadis berambut perak itu. Aku ingin memastikan apa yang sebenarnya mereka cari di dungeon kita." Cassandra melipat tangan di dadanya, menatap Vergil tajam. "Kau yakin ini perlu? Kita sudah cukup membuat mereka takut. Lagipula, mereka petualang, bukan musuh. Apa kau tidak berpikir ini berlebihan?" Vergil menatap Cassandra, ekspresinya tidak berubah. "Aku tidak berniat membuat kekacauan. Aku hanya ingin bicara, dan aku pikir permintaan maaf dari pihak kita juga tidak ada salahnya." Cassandra menghela napas, lalu mengangguk. "Baiklah. Aku akan mengaturnya. Tapi jika ini menjadi masalah, tanggung jawab ada di tanganmu." Pagi itu, suasana Guild Inn sedikit berubah ketika salah satu anggota Assassin Guild datang membawa pesan. Party petualang yang terdiri dari empat orang itu diminta menemui Cassandra dan Mara di ruang pertemuan. Mereka tidak punya pilihan selain menurut, meski perasaan mereka bercampur antara penasaran dan waspada. Ketika mereka tiba di ruang pertemuan, Cassandra dan Mara sudah menunggu di tengah, bersama tiga sosok berjubah hitam yang berdiri dengan tenang di belakang mereka. Aura ketiga sosok itu membuat udara terasa berat, dan insting para petualang segera membuat mereka masuk ke mode waspada. "Itu mereka!" bisik salah satu anggota party, mengenali mata merah dari bawah jubah hitam itu. Gadis berambut perak menghunus pedangnya setengah, bersiap jika terjadi serangan. Namun, sebelum ketegangan meledak, salah satu sosok berjubah itu mengangkat tangannya. Vergil melangkah maju perlahan, tangannya terangkat menunjukkan bahwa dia tidak memegang senjata. Dalam gerakan lambat, dia menurunkan tudung jubahnya, memperlihatkan wajahnya dengan jelas. Takano dan Dante melakukan hal yang sama, menunjukkan bahwa mereka adalah makhluk humanoid yang tidak sepenuhnya menyeramkan seperti yang dikira. Gadis berambut perak itu menatap mereka dengan penuh keterkejutan, dan rekan-rekannya segera memberi hormat. "Boss monster?" gumam salah satu dari mereka, setengah tidak percaya. "Kenapa mereka ada di sini... di guild?" "Tenang," kata Vergil dengan senyuman kecil di wajahnya. "Kami tidak ingin bertarung melawan kalian. Faktanya, kami penasaran dengan kalian." Gadis berambut pirang yang memegang tombak maju setengah langkah, matanya menatap Vergil dengan waspada. "Kalian siapa? Kenapa kalian punya kekuatan sebesar itu?" tanyanya. Sebelum Vergil sempat menjawab, Mara terkekeh ringan, menyilangkan tangan di depan dada. "Oh, kalian tidak tahu? Mereka ini adalah Prince dan Princess Kainaldia. Wajar kalau mereka sekuat itu. Selain itu, mereka adalah guardian dari Aruldi Dungeon~ ahahahahaha~." Semua anggota party saling bertukar pandang, jelas terkejut mendengar hal itu. Gadis archer berambut hitam pendek tampak berpikir sejenak, lalu berkata dengan hati-hati, "Kalau begitu..." Dia mengarahkan pandangannya pada Vergil. "Aku bisa berbicara secara pribadi dengan dirimu di ruangan lain?" kata Vergil tiba-tiba, menunjuk langsung pada gadis berambut perak yang berdiri diam di tengah partynya. Semua mata tertuju pada mereka, terutama anggota party gadis tersebut, yang tampak ragu. Namun, sebelum ada yang bisa protes, gadis berambut perak itu mengangguk perlahan. "Baiklah," katanya singkat, suaranya dingin tapi tidak menolak. Vergil menutup pintu ruangan, memastikan tidak ada yang menguping. Dia berbalik, menatap langsung ke arah gadis berambut perak yang berdiri di tengah ruangan itu dengan ekspresi netral. "Jadi, kenapa kau ada di sini... Ignis?" tanya Vergil, matanya menyipit, seolah mencoba membaca isi pikirannya. Gadis itu tersentak kecil, tapi dengan cepat menyembunyikan keterkejutannya. "Ignis? Apa yang Pangeran maksud? Namaku adalah Valkrieya," jawabnya, suaranya tetap tenang. Vergil mendekat beberapa langkah, senyum tipis muncul di wajahnya. "Kau lupa, ya? Mataku selalu bisa melihat segalanya—termasuk apa yang ada di dalam..." Valkrieya tertawa kecil, menyilangkan tangannya. "Ara~ ternyata Pangeran juga bisa mesum, ya?" Vergil tidak menggubris leluconnya. "Aku bisa melihat jiwamu, Valkrieya. Dan aku tahu teknik yang kau gunakan itu adalah Ether Combat Skill, pengganti Mana dan Magical Power. Teknik yang tidak ada di dunia ini." Valkrieya mendesah kecil, wajahnya melembut. "Master memang selalu penuh kejutan. Kau mengingatkanku pada saat pertama kali kita bertemu." Vergil memiringkan kepalanya, sorot matanya penuh rasa ingin tahu. "Jadi benar itu dirimu, ya? Aku cuma bisa bilang... selamat datang di Magnacarta VII, dunia asalku." Mendengar itu, Valkrieya tersenyum samar. "Master, apa kau bisa merahasiakan hal ini?" tanyanya dengan nada lebih pelan. "Tentu saja," jawab Vergil, nadanya ringan. "Anggap saja aku sedang memberimu lecture atau pelajaran bertarung." Valkrieya mengangguk, terlihat lega. "Terima kasih, Master. Tapi aku harus memberitahumu sesuatu... aku bukan satu-satunya yang bereinkarnasi ke dunia ini." Vergil menegang, matanya menyala dengan rasa ingin tahu. "Sungguh?" tanyanya. Valkrieya mengangguk lagi, ekspresinya serius. "Beberapa dari mereka... sangat ingin menemukan sosok seperti Master, tapi dengan rambut pirang. Lalu ada juga yang ingin mengalahkan seseorang yang dijuluki Shadow of Twin Dragon. Sebagian dari mereka memutuskan menjadi petualang, ada yang membuka toko obat dengan produk yang luar biasa mujarab, dan ada pula yang bercita-cita menjadi pahlawan." Vergil mengangguk pelan, pikirannya mulai mengolah informasi itu. "Aku akan waspada. Lagipula, kami sudah mendapatkan tanda bagaimana mendeteksi mereka yang tiba di Magnacarta VII."