Megumi Ame berjalan perlahan melewati koridor lantai dua SMA Shirageza di Yokosuka, matanya setengah terpejam seperti biasa. "Akhirnya... aku sudah kelas dua," gumamnya dengan lesu. Pikiran tentang pelajaran yang semakin sulit membuat langkahnya terasa berat, meskipun seharusnya ini adalah hari yang dinantikan.
Lorong itu panjang dan sepi, hanya terdengar langkah sepatu siswa yang bergema di sepanjang dinding. Megumi tidak terburu-buru, menikmati kediamannya sendiri. Rambutnya yang hitam legam sedikit bergoyang mengikuti irama langkahnya, namun ekspresinya tetap datar. Tak ada senyuman, tak ada semangat.
Beberapa saat kemudian, Megumi tiba di depan pintu kelas 2E. Tanpa banyak berpikir, dia mendorong pintu itu dan melangkah masuk. Pandangannya menyapu ruangan yang dipenuhi wajah-wajah baru. Tapi seperti biasanya, Ame tak menunjukkan minat. Ia hanya mencari kursi kosong, lalu berjalan dengan tenang ke pojok belakang, tempat favoritnya untuk menghindari perhatian.
Ia duduk dengan tenang, merapatkan tasnya di samping meja, lalu mengalihkan pandangannya ke jendela. Langit terlihat cerah, namun Ame berharap ada awan gelap yang menggantung di atas sana. "Semoga hujan saja..." bisiknya dalam hati, sebuah keinginan sederhana yang selalu muncul di setiap pagi cerah. Baginya, hujan adalah pelarian yang menenangkan dari dunia yang bising dan membosankan.
Tenggelam dalam lamunannya, Megumi tiba-tiba merasa ada seseorang yang mendekat. Tanpa mengalihkan pandangan dari jendela, ia mendengar suara ramah menyapanya.
"Hei, kamu baru di sini, kan? Aku Renge Yuuki," kata seorang gadis ceria dengan senyum lebar di wajahnya. Rambutnya yang cokelat muda tergerai rapi, dan dia tampak penuh energi—kontras dengan kepribadian Megumi yang lesu.
Megumi menoleh perlahan, memandang Renge dengan tatapan datar namun sopan. "Ame Megumi" jawabnya singkat.
"Senang bertemu denganmu, Megumi!" ujar Renge dengan semangat, meskipun respon Megumi begitu sederhana.
Renge tampak bingung melihat betapa datarnya reaksi Megumi. Dengan sedikit cemberut, dia bertanya, "Hey, kenapa kau sangat membosankan? Ayolah, ceria lagi!"
Megumi hanya menghela napas ringan. Suasana hatinya yang sudah sedikit kacau semakin terganggu oleh suara bising di kelas. Beberapa teman sekelas berbicara terlalu keras, kursi-kursi bergeser, dan suara tawa terdengar dari segala arah. Semuanya terasa seperti beban tambahan yang membuatnya semakin malas.
"Memang aku seperti ini," jawab Megumi singkat, tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela. Dia berusaha tetap sabar, meskipun kebisingan di sekelilingnya hampir membuatnya ingin menghilang.
Renge, yang tidak patah semangat, masih berusaha tersenyum meski jelas bahwa Megumi tidak terlalu tertarik. "Ya sudah, semoga nanti kamu bisa sedikit lebih ceria!" katanya sebelum akhirnya pergi ke tempat duduknya sendiri.
Beberapa menit berlalu, suasana kelas semakin riuh, tapi Megumi tetap duduk diam dengan wajah lesu, berharap pelajaran segera dimulai.
Lalu, bel sekolah akhirnya berbunyi. Suara itu disambut dengan kekacauan yang perlahan mereda saat guru masuk ke dalam kelas. Guru itu, seorang wanita paruh baya dengan kacamata tebal, melangkah dengan tenang sambil membawa sebuah kotak besar yang tampak misterius.
"Selamat pagi, semuanya. Baiklah, mari kita mulai pelajaran hari ini," katanya dengan suara tenang namun penuh wibawa. Semua mata tertuju pada kotak besar yang diletakkan di atas meja guru.
Megumi mengerutkan kening, sedikit tertarik dengan apa yang ada di dalam kotak tersebut, meskipun rasa penasarannya masih kalah dengan keinginannya untuk melamun kembali. Dalam hatinya, ia bergumam, "Apa isi kotak itu?" Pandangannya tetap tertuju pada kotak misterius itu, meskipun wajahnya masih terlihat lesu.
Di sekelilingnya, beberapa murid mulai berbisik-bisik kepada teman sebangku mereka. "Kira-kira apa isinya?" tanya seorang anak laki-laki di depan Megumi. "Mungkin alat tulis baru?" jawab yang lain dengan suara pelan. Suasana kelas dipenuhi dengan suara kebingungan dan spekulasi, membuat Megumi semakin penasaran, meski ia tetap terlihat tenang di tempat duduknya.
Setelah beberapa saat, guru itu melangkah ke depan kelas dan dengan senyum ramah memperkenalkan dirinya. "Selamat pagi, semuanya. Saya Bu Natsume, dan saya akan menjadi wali kelas kalian di tahun ajaran ini," katanya sambil mengatur kacamata di hidungnya. "Kalian mungkin penasaran dengan kotak ini," lanjutnya sambil mengetuk kotak besar di atas meja dengan lembut. "Di dalamnya, ada sesuatu yang spesial untuk kalian."
Megumi mengangkat sedikit alisnya, penasaran namun tetap tidak terlalu antusias. "Saya ingin kalian maju satu per satu dan mengambil sesuatu dari dalam kotak ini," kata Bu Natsume sambil membuka tutup kotak tersebut. Sebuah benda yang masih belum terlihat jelas di dalamnya tampak tersembunyi.
"Mari kita mulai dari baris pertama," lanjut Bu Natsume. Seorang murid di barisan depan berdiri dan berjalan perlahan ke depan kelas. Kelas itu menjadi semakin sunyi saat semua orang menunggu dengan penuh antisipasi.
Setelah beberapa murid dari barisan pertama maju dan mengambil sesuatu dari kotak, ekspresi wajah mereka terlihat penasaran. Masing-masing dari mereka memegang sebuah lembar kertas kecil yang dilipat. Satu demi satu, murid-murid lainnya mengikuti, maju ke depan untuk mengambil kertas dari kotak tersebut.
Megumi akhirnya maju juga, mengikuti giliran kelas yang tersisa. Dengan sikap lesu dan tanpa tergesa-gesa, ia memasukkan tangannya ke dalam kotak dan menarik sebuah kertas kecil, lalu kembali ke tempat duduknya. Ia menatap kertas itu dengan sedikit rasa penasaran, tapi tetap belum terbuka.
"Baiklah, sekarang saya ingin kalian membuka kertas yang kalian ambil," kata Bu Natsume dengan senyuman di wajahnya.
Dengan gemuruh kertas yang dibuka di seluruh kelas, setiap murid mulai menatap lembar kecil di tangan mereka, termasuk Megumi. Di kertas itu hanya ada satu angka tertulis, sederhana namun membingungkan.
Megumi mengernyitkan dahinya saat melihat angka di kertasnya. "Angka? Untuk apa ini?" pikirnya.
"Jika kalian memperhatikan," lanjut Bu Natsume, "di setiap kertas yang kalian ambil ada angka. Mereka yang mendapatkan angka yang sama akan duduk berpasangan sebagai teman sebangku kalian untuk semester ini."
Kelas langsung dipenuhi dengan bisik-bisik dan pandangan mencari-cari angka yang cocok. Beberapa murid terlihat lega menemukan pasangan mereka dengan cepat, sementara yang lain mulai bertanya ke sana kemari.
Megumi melirik angka di kertasnya dan perlahan-lahan mengangkat kepalanya. "Siapa yang punya angka yang sama denganku?" pikirnya, meskipun rasa antusiasmenya tetap rendah.
Megumi mengedarkan pandangannya ke sekeliling kelas, mencari siapa yang memiliki nomor yang sama. Suasana kelas semakin riuh ketika para siswa mulai menemukan pasangan mereka, ada yang sudah berbincang, ada yang hanya saling menunjuk kertas dengan angka yang sama.
Di tengah keramaian itu, sebuah suara lembut terdengar di sebelahnya. "Apakah nomor kamu juga 14?" tanya seorang gadis dengan rambut panjang, hitam berkilauan, sambil tersenyum dan mengulurkan kertasnya ke arah Megumi.
Megumi menatap kertas itu dan mendapati angka 14 yang sama seperti miliknya. "Ah, iya... sama," jawabnya dengan nada datar, sedikit kaget namun tetap menunjukkan sikapnya yang tenang.
Gadis itu tersenyum lebih lebar, lalu memperkenalkan diri. "Senang bertemu denganmu, aku Hikari Yasura. Sepertinya kita akan jadi teman sebangku sekarang."
Megumi mengangguk pelan. "Megumi Ame," jawabnya singkat.
Hikari tampak antusias meski respon Megumi cukup sederhana. "Baiklah, mari kita atur tempat duduk kita," kata Hikari, segera beranjak untuk membantu Megumi memindahkan meja dan kursi mereka ke posisi yang ditentukan.
Mereka mulai menyusun tempat duduk mereka bersama. Hikari terus mengajak Megumi berbincang sambil memindahkan kursi. "Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik ya. Aku sudah dengar kalau tahun kedua ini banyak tantangannya, tapi aku yakin kita bisa melewatinya."
Megumi hanya mengangguk lagi sambil duduk di kursi barunya. Ia tidak terlalu banyak bicara, tapi setidaknya Hikari tidak merasa tersinggung. "Kuharap begitu," kata Megumi dengan suara pelan, matanya sesekali melirik ke luar jendela, berharap hujan segera turun untuk mengiringi hari yang panjang ini.
Pelajaran pun dimulai dan kelas berlangsung dengan lancar. Bu Natsume mulai memberikan materi dan seluruh murid tampak serius memperhatikan. Meski Megumi tidak sepenuhnya fokus, ia tetap mendengarkan dan mencatat hal-hal penting. Hikari, teman sebangkunya, sesekali mengajak bicara, tapi Megumi hanya membalasnya dengan anggukan singkat.
Tak terasa, bel istirahat pertama berbunyi. Ruang kelas langsung berubah menjadi riuh dengan suara murid-murid yang bersiap untuk keluar. Ada yang berlari ke kantin, yang membuka bekal di bangku mereka, dan yang berbincang riang sambil makan camilan di dalam kelas.
Megumi, seperti biasanya, memilih untuk menjauh dari keramaian. Dia berdiri dari kursinya, mengangguk singkat pada Hikari yang terlihat tengah bersiap untuk makan bekal dengan teman-temannya, lalu keluar dari kelas dengan langkah tenang.
Dia berjalan melewati lorong, menuruni tangga menuju lapangan sekolah. Saat tiba di sana, suasana penuh dengan siswa-siswa yang mempromosikan berbagai klub ekstrakurikuler. Spanduk warna-warni, brosur, dan teriakan semangat dari anggota klub memenuhi udara. Ada klub olahraga, klub musik, klub debat, dan banyak lainnya.
Namun, di tengah keramaian itu, satu hal menarik perhatian Megumi. Di ujung lapangan, ada sebuah stan dengan hiasan sederhana tapi indah. Sebuah spanduk bertuliskan "Klub Kesenian" bergantung di sana, dan beberapa karya seni dipajang dengan rapi. Lukisan, sketsa, dan patung-patung kecil menghiasi area itu. Tidak ada teriakan keras atau promosi berlebihan dari anggota klub. Mereka hanya duduk di belakang meja dengan tenang, membiarkan karya-karya seni mereka berbicara.
Megumi berhenti sejenak, tertarik pada keheningan yang berbeda dari stan-stan lainnya. "Klub Kesenian, ya..." gumamnya dalam hati. Matanya terpaku pada sebuah lukisan hujan yang tergantung di salah satu sudut stan. Ada sesuatu yang memikat dalam lukisan itu, sesuatu yang mengingatkannya pada dirinya sendiri.
Megumi menghela napas pelan, lalu memutuskan untuk melangkah mendekati stan Klub Kesenian. Sesuatu tentang lukisan hujan itu memanggilnya, seolah-olah menggambarkan perasaannya yang tenang namun penuh dengan kerinduan akan sesuatu yang lebih dalam.
Ketika ia mendekati meja, seorang gadis dengan rambut cokelat pendek tersenyum ramah ke arahnya. Kartu nama yang tertempel di seragam gadis itu terbaca jelas: Rina Kawaragi. "Hai, selamat datang di stan Klub Kesenian," kata Rina dengan suara lembut namun antusias. "Ada yang bisa aku bantu?"
Megumi menatap Rina dengan wajah datarnya yang khas, namun rasa ingin tahunya tak bisa ditahan. "Lukisan hujan itu... siapa yang melukisnya?" tanya Megumi, suaranya terdengar tenang namun serius.
Rina tersenyum lebih lebar, bangga dengan karya yang sedang dibicarakan. "Itu hasil karya salah satu anggota kami, Shun. Dia memang senang melukis hujan karena menurutnya, hujan adalah sumber inspirasi yang tidak ada habisnya."
Mendengar itu, Megumi merasa ada semacam koneksi dengan orang yang disebut Shun tersebut. Ia mulai bertanya lebih banyak tentang klub, apa saja yang dilakukan di sana, dan kegiatan-kegiatan yang bisa diikuti. Rina dengan sabar menjawab setiap pertanyaannya, menjelaskan bahwa Klub Kesenian tidak hanya melukis, tetapi juga mencakup berbagai macam seni, seperti fotografi, patung, bahkan seni digital.
Setelah berbincang cukup lama, Megumi merasakan sesuatu yang berbeda. Biasanya, ia tidak tertarik untuk terlibat dengan klub atau kegiatan sosial apa pun, tetapi Klub Kesenian terasa seperti tempat di mana ia bisa mengekspresikan dirinya dengan caranya sendiri, tanpa banyak interaksi sosial yang melelahkan.
"Jadi... kalau aku ingin bergabung, apa yang harus kulakukan?" tanya Megumi, masih dengan suara lesunya.
Rina tertawa kecil. "Kamu hanya perlu mengisi formulir pendaftaran ini," katanya sambil menyerahkan selembar kertas kecil. "Dan setelah itu, kami akan menghubungimu untuk kegiatan pertama. Kami senang sekali jika kamu mau bergabung!"
Megumi mengambil formulir itu dan tanpa berpikir panjang, ia mengisinya di tempat. Setelah menyerahkannya kembali, ia mengangguk singkat. "Baiklah, aku bergabung," ujarnya pelan.
Rina tersenyum lebar melihat keputusan Megumi. "Selamat bergabung di Klub Kesenian, Megumi! Kami yakin kamu akan merasa nyaman di sini."
Megumi berjalan meninggalkan stan Klub Kesenian, tanpa sepatah kata lagi. Namun di dalam hatinya, ada perasaan yang aneh, semacam rasa puas yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin, pikirnya, bergabung dengan Klub Kesenian bisa menjadi perubahan yang ia butuhkan dalam hidupnya yang monoton ini.
Hari pertama di tahun kedua sekolahnya berjalan cukup lancar. Walaupun awalnya tidak terlalu berharap banyak, Megumi akhirnya bisa menjalin hubungan dengan dua orang teman: Renge, gadis yang ceria dan energik, serta Hikari, gadis tenang yang menjadi teman sebangkunya. Ini adalah pencapaian besar bagi seseorang yang introvert seperti Megumi, apalagi ditambah dengan kenyataan bahwa ia sudah bergabung dengan sebuah klub.
Ketika bel sekolah terakhir berbunyi, Megumi mengemasi barang-barangnya dan berjalan pulang.
"Untuk seseorang yang jarang berbicara, memiliki dua teman di hari pertama... lumayan juga," pikir Megumi dalam hati, sambil berjalan pulang ke rumahnya. Ia merasa sedikit bangga pada dirinya sendiri, meskipun tak ingin terlalu memikirkan hal itu.
Di rumah, semuanya berjalan seperti biasa, sesuai dengan rutinitasnya yang tetap.
Ia melepaskan seragamnya dan merapikan pakaian setelah sekolah, seperti kebiasaannya. Setelah itu, ia pergi ke kamar mandi, membersihkan diri dengan perlahan, membiarkan pikirannya melayang saat air dingin mengalir di kulitnya. Setelah mandi, ia makan malam sederhana bersama keluarganya—meskipun percakapan di meja makan tidak pernah berlangsung panjang. Orang tuanya mengerti bahwa Megumi lebih senang berbicara seperlunya.
Setelah makan malam, Megumi duduk di meja belajarnya. Ia membaca sedikit materi pelajaran untuk memastikan ia tidak tertinggal, meskipun sebagian besar waktunya dihabiskan untuk melamun sambil menatap ke luar jendela. Hari sudah mulai gelap, dan hujan yang ditunggu-tunggunya tak kunjung datang. Namun, entah mengapa, perasaannya tidak seberat biasanya.
Tak lama kemudian, Megumi mematikan lampu meja belajarnya dan merangkak ke tempat tidur. Saat berbaring, ia merasa hari ini berbeda dari hari-hari sebelumnya. Kehidupan sehari-harinya yang biasanya membosankan kini perlahan berubah, meskipun hanya sedikit. "Aku tahu ini mungkin membosankan bagi orang lain," pikirnya, "tapi setidaknya, ini adalah caraku menjalani hidup."
Dengan pikiran itu, Megumi menutup matanya dan membiarkan dirinya terlelap dalam kegelapan, bersiap menghadapi rutinitas yang sama besok, namun dengan sedikit rasa optimis yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.