Hari-hari di sekolah berjalan dengan lancar bagi Megumi. Tidak ada gangguan berarti, dan meskipun ia tetap pendiam, ada sedikit perubahan yang mulai ia rasakan. Sekarang, Megumi merasa sedikit—hanya sedikit—lebih terbuka. Ia tidak lagi sepenuhnya tenggelam dalam dunianya sendiri. Setidaknya, ia mulai merasakan bahwa ada beberapa orang di sekitarnya yang bisa ia ajak bicara, meski dalam batas yang sangat terbatas.
Saat jam pelajaran terakhir selesai, Megumi teringat kalau hari ini adalah hari kegiatan klub. Dengan perlahan ia membereskan buku-bukunya, kemudian berjalan menuju ruang Kesenian. Tidak seperti hari-hari sebelumnya, ia merasa lebih ringan saat melangkah, meskipun masih menjaga ekspresi datarnya yang khas.
Sesampainya di ruang Kesenian, Megumi langsung menuju ke tempat di mana Rina Kawaragi sedang duduk sambil memeriksa beberapa peralatan lukis. Rina adalah satu-satunya orang di klub itu yang paling dikenal Megumi, dan mungkin satu-satunya yang bisa ia ajak bicara dengan nyaman.
"Hey, Megumi!" sapa Rina dengan senyum kecil. "Kita akan menggambar seni bebas hari ini. Terserah kamu mau menggambar apa."
Megumi hanya mengangguk singkat sebagai balasan. Bagi orang lain, mungkin Megumi terlihat terlalu dingin atau tidak tertarik, tapi Rina sudah terbiasa dengan sikapnya. Ia tahu bahwa Megumi memang bukan tipe yang suka bicara banyak.
Tanpa ragu, Megumi mengambil kanvas dan mulai menyiapkan alat lukisnya. Kegiatan kali ini adalah menggambar bebas, dan pikiran Megumi langsung terbang ke tempat favoritnya—suatu dunia yang hanya ada dalam benaknya, dunia yang selalu hujan.
Ia mulai melukis. Dengan sapuan kuas yang tenang dan konsisten, ia menggambarkan sebuah kota yang dipenuhi gedung-gedung tinggi, namun terlihat sepi. Di antara gedung-gedung itu, hujan turun deras membasahi jalanan yang kosong. Penerangan dari lampu jalan memantulkan cahaya kuning di atas genangan air, menciptakan suasana sunyi namun menenangkan.
Langit di lukisannya terlihat kelabu, dan meskipun suasana yang ia ciptakan gelap, ada semacam keindahan di dalamnya. Hujan selalu menjadi pelipur lara bagi Megumi, dan ia menuangkan perasaannya itu ke dalam lukisan tersebut.
Setiap goresan kuasnya menggambarkan perasaan tenangnya, dunia yang selalu ia bayangkan setiap kali ia merasa ingin menyendiri. Sebuah dunia yang terasa jauh, tapi sekaligus dekat. Dunia di mana hanya hujan yang menemani.
Megumi melihat hasil karyanya setengah jadi, Megumi berhenti sejenak. Ia memandangi lukisannya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa puas. Ini adalah sesuatu yang datang dari hatinya, sesuatu yang benar-benar mencerminkan siapa dirinya.
Ketika Megumi sedang memperhatikan lukisan setengah jadinya, Rina yang duduk tak jauh darinya, berhenti sejenak dari aktivitasnya. Penasaran dengan apa yang sedang dikerjakan oleh Megumi, ia mendekat, memperhatikan setiap detail dari lukisan kota yang digambarkan Megumi. Hujan deras yang turun, jalan-jalan yang kosong, dan suasana kota yang terasa sunyi membuat Rina merasa kagum.
"Wah, gambarmu cantik sekali!" seru Rina dengan kekaguman tulus. "Omong-omong, ini kota apa? Aku tidak pernah melihat tempat seperti ini."
Megumi tetap memasang ekspresi datarnya meskipun di dalam hatinya, ia merasa bangga. Tanpa menunjukkan emosi berlebihan, ia menjawab dengan singkat, "Ini bukan kota nyata. Hanya sesuatu yang ada di pikiranku."
Rina mengerutkan kening sebentar, mencoba memikirkan apa yang dimaksud Megumi. "Jadi, kau membayangkannya? Kota ini... terasa seperti nyata, tapi juga sepi. Kau suka hujan, ya?"
Megumi menatap lukisannya lagi, matanya fokus pada tetes-tetes hujan yang digambarnya dengan teliti. "Ya. Hujan selalu membuatku tenang," jawabnya pelan, tetap dengan nada datar namun penuh makna.
Rina tersenyum kecil, merasa ada sesuatu yang dalam di balik jawaban singkat Megumi. "Aku bisa merasakannya," kata Rina pelan sambil melihat lebih dekat lukisan itu. "Kadang-kadang kesunyian dan hujan memang bisa terasa... menyenangkan."
Megumi mengangguk sedikit, merasakan kenyamanan dalam percakapan itu meskipun singkat dan tidak banyak kata. Ia tahu, Rina mungkin salah satu dari sedikit orang yang bisa mengerti cara pandangnya meski hanya dari sebuah lukisan.
Setelah sejenak terdiam, keduanya kembali ke kanvas masing-masing, melanjutkan karya mereka. Meskipun tidak banyak kata yang diucapkan, ada semacam rasa saling pengertian di antara mereka, terutama dalam hal menciptakan seni.
"Apa yang kau gambarkan?" tanya Megumi setelah beberapa menit berlalu, kali ini balik ingin tahu karya Rina.
Rina tersenyum sambil menambahkan warna ke lukisannya. "Aku sedang membuat bunga matahari. Mereka selalu membuatku merasa ceria, bahkan di hari yang paling gelap. Seperti kebalikannya hujanmu, ya?" candanya ringan.
Megumi memandang lukisan Rina sebentar, lalu menundukkan kepalanya sedikit sebagai bentuk setuju. "Kurasa begitu," jawabnya singkat, tapi dengan sentuhan kehangatan dalam suaranya. Untuk pertama kalinya, ia merasa nyaman dalam percakapan ringan ini.
Setelah puas dengan perbincangan kecil mereka, keduanya kembali tenggelam dalam kesibukan masing-masing, menyelesaikan karya seni yang merefleksikan kepribadian dan pandangan hidup mereka.
Setelah beberapa menit berlalu, suasana di ruang Klub Kesenian menjadi semakin tenang. Semua anggota mulai menyelesaikan karya mereka. Rina, yang telah menyelesaikan lukisannya, dengan bangga memperlihatkan sebuah lukisan kereta tua yang penuh detail, menggambarkan sejarah dan nostalgia.
Setelah Rina, satu per satu anggota klub menampilkan karya mereka. Ada yang menggambar pegunungan, ada yang membuat ilustrasi hewan peliharaan, dan berbagai tema lainnya yang mencerminkan kepribadian mereka masing-masing.
Saat giliran Megumi tiba, suasana menjadi sedikit berbeda. Megumi perlahan maju ke depan, membawa lukisan hujan dan kota sepinya. Ketika ia menunjukkan karyanya, para anggota klub tampak terheran-heran. Mereka memandang lukisan itu dalam diam, seolah sedang mencari sesuatu yang tak terungkap.
Megumi, yang jarang memperlihatkan ekspresi emosi, akhirnya angkat bicara. "Kenapa kalian terlihat bingung?" tanyanya dengan nada datar, matanya menyapu wajah teman-temannya yang penuh rasa penasaran.
Salah satu anggota, yang duduk di dekat Rina, akhirnya menjawab, "Lukisanmu... rasanya berbeda. Seperti ada sesuatu yang menyedihkan tapi juga menenangkan. Apa kau benar-benar membayangkan semua ini?"
Megumi terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan. "Ya, ini hanya ada di pikiranku," jawabnya singkat, namun ada sedikit getaran emosi dalam suaranya, sesuatu yang jarang terlihat darinya.
Rina tersenyum kecil dari tempat duduknya, seolah memahami apa yang dirasakan Megumi. "Kau punya gaya yang unik, Megumi. Mungkin itulah yang membuat kami terheran. Lukisanmu tidak hanya tentang hujan, tapi ada sesuatu yang lebih dalam."
Megumi hanya menundukkan kepalanya sedikit, merasa sedikit terkejut bahwa mereka bisa merasakan apa yang ia tuangkan dalam lukisan itu. Tanpa berkata lebih banyak, ia kembali duduk, dan meskipun ia tetap datar di luar, di dalam hatinya, ada sedikit rasa bangga bahwa karyanya bisa menyentuh orang lain.
Setelah Megumi kembali duduk di kursinya, tepuk tangan meriah memenuhi ruangan. Para anggota Klub Kesenian mengapresiasi karyanya dengan antusias. Akira, salah satu anggota yang duduk tak jauh dari Megumi, tersenyum lebar. "Lukisanmu mengingatkanku pada karya salah satu senior kita yang sudah lulus tahun lalu. Dia juga sangat suka menggambar hujan, tapi lukisanmu... punya sesuatu yang berbeda."
Megumi tidak berkata apa-apa, hanya mengangguk sedikit sebagai bentuk terima kasih, meskipun di dalam dirinya ia merasa agak canggung menerima pujian sebanyak itu. Namun, ada rasa puas dan bangga yang tak bisa ia sangkal.
Kemudian, tanpa banyak perdebatan, lukisan Megumi dipajang di ruang Kesenian sekolah, sebuah kehormatan yang jarang diberikan pada siswa kelas dua. Lukisan itu ditandatangani oleh Megumi sendiri dengan tulisan kecil yang rapi, diikuti oleh keterangan kelasnya: 2E. Banyak orang yang berjalan melewati ruangan akan dapat melihat karyanya, mencerminkan suasana hati dan dunia batinnya yang penuh dengan hujan.
Setelah memasang lukisannya, Rina menghampiri Megumi dengan senyum hangat di wajahnya. "Kerja bagus, Megumi," katanya sambil menyerahkan sebuah botol jus dingin sebagai hadiah kecil. "Ini untukmu. Kau layak mendapatkannya setelah kerja kerasmu hari ini."
Megumi menerimanya dengan ragu, namun akhirnya tersenyum tipis. "Terima kasih," jawabnya, suaranya pelan tapi tulus. Mereka berdua duduk di bangku panjang di dekat pintu keluar ruang kesenian, menikmati sejenak waktu tenang sambil mengobrol.
"Kau benar-benar memiliki bakat yang langka," kata Rina, membuka pembicaraan. "Apa selalu suka menggambar hujan?"
Megumi mengangguk sambil membuka botol jusnya. "Ya, sejak kecil. Hujan selalu membuatku merasa... tenang. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasanya seperti bagian dari diriku."
Rina tersenyum lembut. "Aku bisa melihatnya dari cara kau menggambar. Itu bukan hanya sekadar hujan, itu seperti... suasana hatimu yang tertuang di atas kanvas."
Megumi terdiam, sedikit terkejut dengan betapa dalam Rina bisa memahami perasaannya. "Mungkin," jawabnya akhirnya. "Aku merasa lebih nyaman menggambar daripada bicara."
"Aku juga kadang merasa begitu," balas Rina sambil tertawa kecil. "Seni itu seperti bahasa kita sendiri. Ketika kata-kata tidak cukup, kita selalu punya cara lain untuk mengekspresikan diri."
Megumi meminum jusnya, perlahan merasa lebih nyaman dalam percakapan ini. Ia belum pernah merasa terbuka seperti ini dengan siapa pun di sekolah, tapi dengan Rina, semuanya terasa lebih mudah.
"Terima kasih, Rina. Aku senang bergabung dengan klub ini," kata Megumi sambil memandang ke arah lukisannya yang tergantung di dinding.
Rina menepuk bahu Megumi ringan. "Aku juga senang kau bergabung, Megumi. Kita akan membuat banyak karya luar biasa bersama. Ini baru awal."
Megumi hanya tersenyum tipis, membiarkan perasaan hangat itu menyelimuti dirinya. Mungkin, hari-hari ke depan di Klub Kesenian ini akan lebih bermakna dari yang ia duga.