Pada pari itu, matahari bersinar terik di atas lapangan sekolah, dan seluruh siswa kelas 2E sedang bersiap untuk pelajaran olahraga. Megumi berdiri di tepi lapangan, matanya sedikit menyipit karena silau. Hari ini bukanlah hari favoritnya. Olahraga bukanlah sesuatu yang benar-benar ia nikmati, namun ia tetap harus melakukannya.
"Baiklah, kalian semua akan berpasangan untuk latihan hari ini," ujar Pak Tada, guru olahraga yang tegas tapi cukup ramah. "Megumi, kau dengan Renge."
Megumi hanya mengangguk pelan ketika mendengar namanya disebut. Renge, yang berdiri tidak jauh darinya, segera menghampirinya dengan senyum lebar. "Kita berpasangan lagi, ya?" kata Renge dengan antusias.
Megumi memandangnya sekilas dan menjawab dengan suara pelan, "Sepertinya begitu." Ia tidak terlalu semangat, namun kehadiran Renge yang ceria setidaknya membuatnya merasa sedikit lebih nyaman.
Latihan hari ini adalah permainan sederhana, tapi cukup melelahkan. Para siswa harus berlari bergantian, berkompetisi dengan pasangan lainnya. Renge, dengan semangatnya yang tinggi, terlihat sangat antusias, sementara Megumi berusaha mengikuti tanpa banyak bicara.
"Hei, jangan terlalu serius," ujar Renge sambil tertawa ketika mereka sedang beristirahat setelah putaran pertama. "Ini hanya permainan."
Megumi menghela napas kecil. "Aku tidak terlalu suka olahraga, itu saja," jawabnya dengan jujur.
Renge tersenyum, tapi kali ini dengan pengertian yang lebih dalam. "Aku tahu. Tapi kadang-kadang, kita perlu melakukan hal yang tidak kita sukai. Siapa tahu, mungkin kita bisa menemukan sesuatu yang menarik di dalamnya."
Megumi hanya mengangguk, meski dalam hatinya ia masih meragukan hal itu. Bagi Megumi, hal-hal yang menarik biasanya datang dari dunianya sendiri — seperti seni, hujan, dan ketenangan. Olahraga tidak termasuk dalam daftar itu.
Namun, meskipun begitu, ia tetap berusaha.
Saat mereka berdua mulai melakukan pemanasan di lapangan, Renge memandangi Megumi dengan raut penasaran di wajahnya. "Kau bilang kau tidak suka olahraga, tapi... entah kenapa... aku tidak merasa begitu," ujarnya dengan nada ragu, mencoba memahami teman sekelasnya yang terlihat lesu namun memiliki kemampuan fisik yang tak terbantahkan.
Megumi, yang sedang meregangkan lengan, melirik ke arah Renge. "Kenapa begitu?" tanya Megumi dengan nada datar.
Renge menghela napas, sedikit jengkel, dan menjawab dengan nada yang lebih kuat, "Kampret, kau itu jago di voli, tenis meja, staminamu juga banyak, dan parahnya lagi—" Renge berhenti sejenak untuk memberi efek dramatis, "Rekor lari tercepat di sekolah ini juga milikmu!"
Megumi memandang ke arah lain, sedikit malas merespons. "Oh, iyakah?" katanya dengan nada datar seolah tidak ada yang istimewa dalam pernyataan Renge itu.
Mendengar reaksi acuh tak acuh Megumi, Renge merasa semakin kesal. "Serius, Megumi?! Kau bahkan tidak ingat hal itu?" ujarnya dengan nada frustrasi sebelum mencubit pipi Megumi dengan lembut namun penuh kekesalan.
Megumi meringis sedikit, tapi tetap menjaga ekspresi datarnya. "Apa sih... jangan begitu," ujarnya sambil mengusap pipinya yang dicubit.
Renge mendengus, tapi kemudian tersenyum. "Kadang aku nggak paham deh, gimana kau bisa kayak gitu. Kau punya banyak bakat tapi kayak nggak peduli sama sekali."
Megumi hanya mengangkat bahu. "Aku lebih suka sesuatu yang lebih tenang. Hujan, menggambar, yang kayak gitu..."
Renge tertawa kecil, menyadari bahwa temannya ini memang selalu berbeda dari orang kebanyakan. "Yah, kau memang unik, Megumi. Tapi tetap saja, kau nggak bisa terus pura-pura nggak jago di olahraga. Setidaknya beri aku sedikit tips supaya nggak terlihat payah."
Megumi menatap Renge sejenak, lalu akhirnya mengangguk. "Oke, kalau kau mau, aku akan bantu sedikit."
Renge tersenyum puas. "Nah, itu yang aku tunggu. Jangan terlalu misterius, oke?" Mereka berdua tertawa ringan, dan meski suasana olahraga bukan favorit Megumi, setidaknya dengan Renge di sampingnya, segalanya terasa sedikit lebih mudah dijalani.
Setelah jam pelajaran olahraga selesai, para murid kelas 2E bergegas menuju ruang ganti. Mereka mengganti pakaian olahraga mereka dengan seragam biasa. Megumi, yang baru saja menyelesaikan aktivitas olahraga, merapikan seragamnya tanpa terburu-buru. Saat itu, ia mendapati pikirannya mulai melayang, mengingat semua kelas teori pada hari itu kosong.
"Lucu juga," gumam Megumi dalam hati sambil menatap seragamnya yang sudah rapi. "Hari ini semua pelajaran teori malah kosong, tapi justru olahraga yang ada jamnya. Ironis." Ia menarik napas dalam-dalam, menatap keluar jendela kelas yang kosong.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" pikirnya, sambil sesekali memandangi teman-teman yang bersiap-siap pulang. Bukannya merasa bosan, Megumi lebih merasa kehilangan arah. "Tidak ada pelajaran... tidak ada yang perlu kupelajari... dan semua orang mungkin akan pergi ke kantin atau ke taman sekolah."
Setelah berdiam sejenak, Megumi mengambil keputusan. "Mungkin aku sebaiknya ke ruang Klub Kesenian saja. Setidaknya, aku bisa melanjutkan lukisan hujanku." Dengan tenang, Megumi mengangkat tasnya dan melangkah keluar dari kelas.
Saat berjalan menuju ruang Klub Kesenian, pikirannya mulai mengembara lagi. Ia bergumam pelan, berbicara pada dirinya sendiri. "Apa lagi yang akan kukerjakan hari ini? Mungkin melanjutkan lukisan yang belum selesai... atau mencoba sesuatu yang baru."
Ia tersenyum tipis, meskipun wajahnya tetap menunjukkan ekspresi tenang. "Rina pasti sudah di sana. Yah, dia satu-satunya orang yang kurasa cukup nyaman diajak bicara di klub. Mungkin hari ini kami bisa membicarakan tentang hujan lagi."
Langkahnya semakin lambat saat ia melewati taman sekolah yang sepi. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, mengingatkannya pada dinginnya hujan. "Andai saja hari ini hujan," gumamnya lagi. "Mungkin suasananya akan lebih tenang. Aku bisa duduk di pojok dan melamun, sambil mendengar suara tetesan air hujan."
Setelah beberapa saat, Megumi sampai di depan pintu ruang Klub Kesenian. "Yah, setidaknya di sini aku bisa merasa sedikit lebih hidup," ujarnya dengan suara lembut sebelum mendorong pintu dan masuk ke dalam ruang yang sudah menjadi tempat favoritnya di sekolah.
Megumi membuka pintu ruang Klub Kesenian dengan perlahan, dan seketika matanya tertuju pada seseorang yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Seorang gadis dengan rambut pendek kecokelatan sedang berdiri di depan kanvas, tampak sibuk mengatur peralatan lukis.
"Siapa dia?" pikir Megumi sambil memandang gadis itu dengan penuh kewaspadaan. Tanpa banyak berpikir, ia mengambil sapu yang tergantung di dekat pintu. Megumi menggenggam sapu itu dengan kedua tangannya, bersiap maju perlahan. Matanya tak lepas dari sosok yang tidak dikenalnya, dan ia bergerak dengan hati-hati, berharap tidak ketahuan.
Namun, sebelum Megumi bisa menodongkan sapu itu, gadis tersebut berbalik dengan wajah terkejut dan sedikit ketakutan. "Jangan! Jangan serang aku!" teriaknya panik sambil mengangkat kedua tangannya, tanda menyerah. "Aku... aku Akira! Akira Inoue dari kelas 2A!"
Megumi tertegun sejenak, masih memegang sapu di tangannya. Suasana canggung menyelimuti ruangan. Ia memandangi Akira, yang tampak ketakutan, dan akhirnya merasa bersalah karena sudah membuat suasana menjadi tegang.
Megumi menurunkan sapu itu perlahan. "Maaf," katanya dengan suara datar, meski ada sedikit penyesalan dalam nadanya. "Aku... tidak bermaksud menakut-nakuti. Aku hanya tidak tahu siapa kamu." Ia mengembalikan sapu itu ke tempatnya, lalu melirik ke arah Akira. "Jadi... Akira, ya?"
Akira mengangguk dengan cepat, masih terlihat sedikit gugup, tapi mulai tenang setelah Megumi menjauhkan sapu tersebut. "Iya, aku Akira Inoue. Maaf kalau aku mengejutkanmu. Aku baru bergabung dengan Klub Kesenian hari ini," ucap Akira dengan nada ragu. "Aku tadinya pikir tidak akan ada orang di sini sepagi ini, jadi aku langsung mulai beres-beres sedikit."
Megumi mengangguk pelan. "Aku juga biasanya yang datang lebih awal," jawabnya. "Jadi, ya... aku tidak terbiasa melihat orang lain di sini sepagi ini." Ia menyilangkan tangannya di depan dada, mencoba mengusir rasa canggung.
"Eh, aku yang seharusnya minta maaf," kata Akira sambil tersenyum malu-malu. "Aku terlalu sibuk menyiapkan alat lukis, sampai tidak sadar ada yang masuk. Kamu suka datang pagi-pagi ke sini juga, ya?"
"Ya, ini semacam tempat tenang buatku," jawab Megumi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. "Aku suka lukisan dan... yah, suasana di sini cukup damai."
Akira tersenyum lebih lebar, merasa suasana mulai mencair. "Aku juga suka lukisan, terutama melukis alam dan pemandangan. Oh, dan aku suka sekali dengan hujan," katanya, mencoba mencari topik yang bisa membuat Megumi lebih nyaman.
Mendengar kata 'hujan', Megumi sedikit melirik ke arah Akira, merasa terhubung dengan gadis itu untuk pertama kalinya. "Hujan, ya?" gumamnya, sedikit lebih tertarik. "Aku juga suka hujan. Rasanya... menenangkan."
Akira terlihat senang melihat Megumi mulai terbuka sedikit. "Iya, benar banget. Hujan itu seperti memberikan waktu untuk berpikir, ya? Seperti ada jeda dalam kehidupan, sejenak, sebelum semuanya bergerak lagi."
Megumi hanya mengangguk pelan, merasa bahwa Akira bisa memahami sebagian dari apa yang ia rasakan. Setelah beberapa saat hening, ia menghela napas dan berkata, "Maaf sekali lagi soal tadi... soal sapu itu."
Akira tertawa kecil, menghilangkan ketegangan yang tersisa. "Tidak apa-apa! Jujur saja, aku pasti juga akan bereaksi sama kalau ada orang asing tiba-tiba muncul. Kau cukup menakutkan juga kalau membawa sapu seperti itu, tahu?"
Megumi tersenyum tipis, nyaris tidak terlihat. "Aku akan ingat itu. Lain kali, aku akan membawa sikat yang lebih kecil."
Keduanya tertawa ringan, suasana yang awalnya tegang kini berubah menjadi lebih akrab. Meski percakapan mereka sederhana, Megumi merasa lebih nyaman dengan keberadaan Akira di Klub Kesenian.
Saat Megumi dan Akira masih bercanda ringan, tanpa mereka sadari, Rina sudah sedari tadi mengintip dari balik pintu. Dengan senyum jahil, ia memperhatikan interaksi antara dua anggota baru klub itu. Rina memutuskan untuk membiarkan mereka menikmati momen mereka tanpa gangguan. Sesekali, ia tertawa kecil melihat betapa Megumi, yang biasanya pendiam dan tertutup, kini mulai lebih terbuka dengan orang baru.
Rina akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam ruangan dengan langkah pelan, mencoba agar kehadirannya tidak terlalu mengagetkan keduanya. "Hei, kalian berdua kelihatannya seru sekali. Ada yang bisa aku bantu?" ucap Rina sambil melangkah masuk.
Megumi dan Akira serentak menoleh, sedikit terkejut tapi segera tersenyum. "Ah, Rina," Megumi berkata dengan nada santai. "Kami cuma ngobrol. Akira baru bergabung hari ini."
Rina mengangguk, "Aku tahu, aku sudah lihat dari tadi. Aku cuma nggak mau ganggu kalian berdua." Matanya beralih pada Akira. "Jadi, bagaimana? Sudah merasa nyaman di klub ini?"
Akira tersenyum dan mengangguk semangat. "Iya! Ini tempat yang keren, dan aku senang bisa bertemu dengan Megumi juga."
Megumi sedikit mengalihkan pandangan, merasa malu mendengar Akira berkata begitu, tapi tidak membantah. Rina, yang senang melihat suasana ini, mendekati mereka dengan membawa beberapa kuas dan cat, lalu menawarkan ide. "Bagaimana kalau kita melukis bersama saja hari ini? Kita bisa berbagi ide dan inspirasi."
Megumi dan Akira saling bertukar pandang, dan setelah beberapa detik, keduanya mengangguk setuju. "Boleh juga," kata Megumi pelan, mengangkat sedikit kuas di tangannya. "Aku juga ingin melanjutkan lukisanku."
Dengan begitu, ketiganya duduk bersama, mengambil posisi masing-masing di depan kanvas kosong. Suasana yang tadinya penuh canda tawa kini berubah menjadi lebih tenang dan fokus. Mereka mulai bekerja dalam keheningan, masing-masing terbenam dalam kreativitas dan imajinasi mereka. Meski tidak banyak kata yang terucap, ada rasa saling mengerti di antara mereka, terutama bagi Megumi yang kini merasa lebih nyaman, tidak hanya dengan Akira, tetapi juga dengan kehadiran Rina di sampingnya.
Di akhir sesi melukis, mereka bertiga merasa puas dengan karya yang dihasilkan, mengukir kenangan indah dari hari itu di Klub Kesenian.