Pagi itu, ketika Akira sedang sibuk bersih-bersih ruang Klub Kesenian, ia menemukan sebuah tumpukan lukisan lama di sudut ruangan. Di antara lukisan-lukisan yang tersusun rapi, matanya terpaku pada sebuah lukisan hujan yang terlihat seperti sudah lama tertinggal. Warnanya lembut, dengan sapuan kuas yang halus menggambarkan tetesan hujan yang jatuh di atas kota yang sunyi.
Akira memandangi lukisan itu lebih dekat, merasa ada sesuatu yang familiar. Ia mengangkat lukisan itu dengan hati-hati dan memperhatikannya lebih seksama. "Ini... kenapa rasanya seperti aku pernah melihat ini?" gumamnya pelan, lalu dia merenung sejenak, mencoba mengingat di mana ia pernah melihat gambar seperti itu sebelumnya.
Ia mendekati jendela, membiarkan cahaya pagi menerangi lukisan itu. Seiring cahaya yang menyinari kanvas, perasaan familiar itu semakin kuat. "Apakah ini... milik Megumi?" pikirnya keras, sambil matanya terus menelusuri detail hujan di lukisan tersebut.
Akira bergumam lagi, "Tapi, Megumi tidak pernah bilang tentang lukisan yang dia tinggalkan di sini... Atau mungkin ini bukan lukisannya?" Ia duduk di kursi terdekat sambil menatap lukisan itu, mencoba merangkai potongan-potongan ingatannya. Akira mulai bertanya-tanya apakah ada sesuatu yang Megumi sembunyikan.
"Aku harus tanyakan ini padanya," pikirnya. Tapi di saat yang sama, ia juga merasa ragu. "Apa aku terlalu ikut campur? Mungkin saja ini lukisan lama, tapi kenapa rasanya begitu mirip dengan gaya Megumi..."
Sambil memikirkan itu, Akira tiba-tiba teringat tentang percakapan mereka sebelumnya. Megumi pernah bilang bahwa ia selalu merasa tenang saat melukis hujan, bahwa hujan adalah cerminan dirinya. "Tidak mungkin ada orang lain yang melukis hujan dengan gaya seperti ini..." katanya pelan, merasa yakin bahwa lukisan itu memang milik Megumi. Tapi, jika benar begitu, kenapa Megumi tidak pernah menyebutkannya?
Sambil terus merenung, Akira mulai merasakan keinginan untuk lebih mengenal Megumi. "Dia selalu terlihat tenang dan tertutup... mungkin lukisan ini menyimpan lebih banyak tentang dirinya daripada yang aku kira," bisiknya sambil terus memegang erat lukisan itu. Akira akhirnya memutuskan, ia akan menanyakan ini langsung ke Megumi. Mungkin, di balik keheningan Megumi, ada lebih banyak cerita yang belum terungkap.
Setelah beberapa saat, Akira berdiri, menyimpan lukisan itu di tempat yang aman. "Aku akan menunggu waktu yang tepat untuk bertanya. Megumi, kau benar-benar penuh misteri," ucapnya dengan senyum kecil, merasa lebih tertarik untuk mengenal temannya yang baru.
Setelah selesai merapikan ruangan Klub Kesenian, Akira memandang sekeliling dengan puas. Semuanya kini bersih dan rapi, tetapi pikirannya masih tertuju pada lukisan hujan yang ia temukan tadi. "Aku tidak bisa meninggalkannya di sini... siapa tahu ada yang menemukannya dan membuangnya," pikirnya. Akira mengangkat lukisan itu, menutupinya dengan kain agar tidak terlihat mencolok, lalu ia berjalan keluar dari ruangan Klub Kesenian.
Dengan langkah hati-hati, Akira membawa lukisan itu keluar dari gedung seni, memastikan tidak ada yang memperhatikan. "Aku harus menyembunyikannya di tempat yang aman," gumamnya sambil berjalan menuju tangga dekat toilet sekolah, tempat yang jarang dilalui siswa. Tempat itu selalu sepi, cocok untuk menyimpan sesuatu tanpa diketahui siapa pun.
Setelah sampai di bawah tangga, Akira dengan cepat melirik sekeliling. Tidak ada siapa-siapa, suasananya sunyi. "Baiklah, di sini seharusnya aman," ujarnya sambil meletakkan lukisan itu di sudut yang tersembunyi. Ia menutupnya lagi dengan kain dan meletakkannya dengan hati-hati. Sebelum pergi, ia memastikan tidak ada bagian dari lukisan yang terlihat. Setelah itu, Akira tersenyum puas.
"Aku harus mencari waktu yang tepat untuk membicarakan ini dengan Megumi," pikirnya dalam hati. "Tapi, untuk saat ini... lebih baik lukisan ini tetap di sini."
Sebelum beranjak pergi, ia mendengar suara langkah kaki mendekat. Dengan cepat, Akira meluruskan tubuhnya, berusaha bersikap biasa. Ternyata itu hanya suara dari seorang siswa yang lewat di lorong. Ia menghela napas lega. "Hampir saja," gumamnya.
Setelah memastikan semuanya aman, Akira kembali ke kelasnya. Sepanjang jalan, pikirannya masih terus terbayang-bayang oleh lukisan itu. "Apa Megumi tahu tentang lukisan ini? Apa dia sengaja meninggalkannya atau malah lupa?" berbagai pertanyaan berkecamuk di benaknya. Ia merasa semakin penasaran dengan temannya yang satu itu.
Saat tiba di kelas, Akira mencoba menenangkan dirinya dan fokus pada pelajaran. Tapi meski begitu, pikirannya terus kembali pada lukisan hujan tadi. "Megumi benar-benar misterius," bisiknya sambil menatap papan tulis yang penuh dengan materi pelajaran.
Setelah bel terakhir berbunyi, Akira segera membereskan buku-buku dan alat tulisnya dengan cepat. Meskipun ia berusaha tetap tenang, pikirannya terus terpaku pada lukisan hujan yang ia sembunyikan di bawah tangga. Setelah semua barang-barangnya masuk ke dalam tas, ia bergegas keluar kelas, melewati lorong-lorong sekolah yang mulai lengang.
"Tidak boleh ada yang melihatku," pikirnya sambil mempercepat langkahnya. Akira berjalan cepat menuju tempat di bawah tangga dekat toilet, tempat di mana ia menyembunyikan lukisan Megumi. Saat tiba di sana, ia langsung menghela napas lega melihat lukisan itu masih tertutup rapat dengan kain, tidak ada tanda-tanda seseorang menemukan atau menyentuhnya.
Dengan hati-hati, Akira mengambil lukisan itu, membungkusnya lebih rapat agar tidak terlihat mencolok, dan memutuskan untuk pulang lewat jalan terjauh. "Kalau aku lewat jalan biasa, bisa saja aku bertemu teman atau tetangga yang bertanya apa yang kubawa," pikirnya. Maka, ia mengambil jalur memutar yang jarang dilalui orang, meskipun itu berarti ia akan tiba di rumah lebih lambat.
Sepanjang perjalanan, perasaan waspada terus menghantui Akira. Setiap kali ia mendengar langkah kaki di belakangnya atau melihat bayangan seseorang di sudut jalan, ia langsung mengencangkan pegangan pada lukisan itu. "Kenapa aku jadi seperti pencuri saja," gumamnya pelan, merasa geli pada dirinya sendiri.
Setelah melewati gang-gang sepi dan beberapa jalan kecil, akhirnya ia tiba di rumahnya. Akira langsung masuk ke rumah, menyapa keluarganya sebentar, dan dengan cepat menuju ke kamarnya di lantai atas. Begitu masuk, ia langsung menutup pintu dengan lembut dan menguncinya dari dalam. Ia meletakkan lukisan itu di atas meja belajarnya, menarik napas dalam-dalam, dan duduk di tepi ranjangnya.
"Baiklah," Akira bergumam pada dirinya sendiri. "Sekarang aku bisa melihatnya dengan tenang." Ia perlahan membuka kain yang menutupi lukisan itu, dan sekali lagi terpukau oleh gambar hujan yang tergambar dengan begitu rinci. Hujan yang turun dengan deras di atas kota yang sunyi. Ada keheningan dan kedalaman di lukisan itu yang membuatnya merasa seolah-olah ia sendiri berada di dalam gambar tersebut.
"Apa yang ada di pikiran Megumi saat dia melukis ini?" Akira bertanya pada dirinya sendiri. "Kenapa rasanya... seperti ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hujan?" Ia mengamati setiap detail—jalan-jalan yang kosong, bangunan-bangunan yang tampak tak berpenghuni, dan tetes-tetes air yang jatuh dari langit seperti air mata.
Akira tersenyum kecil. "Megumi, kau benar-benar berbakat. Kau menyimpan semua perasaanmu di dalam lukisan ini, ya?"
Tiba-tiba, perasaan penasaran itu kembali menggelitik hatinya. "Kenapa lukisan ini ditinggalkan begitu saja di Klub Kesenian? Apa Megumi sengaja menyembunyikannya atau... dia lupa? Aku harus menanyakan ini padanya nanti."
Akira meletakkan lukisan itu di dinding kamar, bersandar pada rak buku agar tetap tegak. Ia memandanginya sekali lagi sebelum memutuskan untuk berbaring di tempat tidurnya. Meskipun ia ingin tahu lebih banyak, ia merasa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk menanyakan hal itu kepada Megumi. "Mungkin nanti, saat waktu yang tepat datang," pikirnya sambil menatap langit-langit kamar, membiarkan rasa penasaran itu tetap menghantui pikirannya.
Dengan senyum kecil di wajahnya, Akira akhirnya menutup matanya, membiarkan pikirannya tenggelam dalam misteri yang Megumi ciptakan melalui karyanya.
Keesokan harinya di Klub Kesenian, Akira merasa canggung. Dia duduk di sudut ruangan, memegang pensil tanpa benar-benar menggambar apapun. Matanya terus melirik ke arah Megumi yang sedang sibuk dengan kertas sketsa di mejanya. Setiap kali Megumi menunduk untuk menggambar, Akira kembali mencuri pandang, mencoba memahami gadis misterius itu.
"Pagi ini dia tampak biasa saja, sama seperti hari-hari sebelumnya," pikir Akira dalam hati. "Tapi... lukisan itu, mengapa bisa dibiarkan begitu saja? Kalau memang itu miliknya, kenapa sampai berdebu dan tersembunyi di tumpukan barang lama?"
Akira menggigit bibirnya, masih enggan bertanya. "Mungkin aku salah... tapi lukisan itu begitu mirip dengan gayanya. Hujan, kota yang sepi, semuanya terasa seperti sesuatu yang akan dia buat."
Saat Megumi menggeser kursinya sedikit, Akira langsung kembali berpura-pura sibuk. "Aku tidak bisa terus-terusan melihatnya seperti ini. Nanti dia sadar aku mencurigainya," gumamnya pelan, meski rasa penasaran terus menggerogoti pikirannya.
Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Tapi kenapa lukisan itu begitu kotor dan berdebu? Seolah-olah sudah lama sekali tidak disentuh... Apakah Megumi yang melukisnya saat dia baru saja masuk klub ini? Atau mungkin itu karya lamanya?"
Akira melirik ke arah Megumi sekali lagi, kali ini mencoba mengumpulkan keberanian untuk bertanya. Namun, ketika matanya bertemu dengan mata Megumi yang sesaat menoleh ke arahnya, dia langsung memalingkan pandangannya dengan cepat. "Kampret! Aku ketahuan mencuri pandang," pikir Akira dengan rasa malu yang menjalar ke seluruh wajahnya.
Megumi, seperti biasanya, tetap dengan wajah datar tanpa menunjukkan reaksi berlebihan. Akira merasa sedikit lega, tapi pertanyaannya tetap menggantung. Dia mencoba fokus pada kertas di depannya, tapi setiap goresan pensilnya tidak bisa menghilangkan pikiran tentang lukisan hujan itu.
"Kenapa aku begitu peduli?" gumam Akira pelan. "Mungkin karena lukisan itu terasa begitu personal. Hujan, keheningan, dan perasaan sendu yang mendalam. Aku bisa merasakan suasana yang ingin dia ciptakan, seolah ada sesuatu di balik tetesan hujan itu. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar pemandangan kota biasa."
Namun, semakin ia memikirkannya, semakin ia merasa terjebak dalam kebingungan. "Apakah Megumi sengaja meninggalkan lukisan itu? Atau mungkin dia sudah tidak peduli lagi dengan karyanya yang lama?" Akira menggelengkan kepalanya, masih belum menemukan jawaban yang memuaskan.
Akhirnya, setelah beberapa menit dalam diam, Akira memutuskan untuk menyimpan pertanyaannya untuk sementara waktu. "Nanti saja. Aku akan menunggu waktu yang tepat. Jika memang itu benar-benar lukisan Megumi, suatu saat dia pasti akan memberitahuku, atau setidaknya ada petunjuk yang muncul."
Sambil berpikir demikian, Akira tersenyum kecil kepada dirinya sendiri, berusaha menenangkan rasa penasarannya yang terus menghantui. Namun, di dalam hatinya, dia tahu bahwa misteri ini akan terus menyelimutinya hingga dia mendapatkan jawaban yang sesungguhnya.