Arga memandang jam tangannya, jarum detik bergerak lambat seolah sengaja menyiksa. Sudah hampir tengah malam, dan ia masih terjebak di kantor, menyelesaikan laporan yang seharusnya diserahkan pagi tadi. Komputernya mengeluarkan suara berisik yang menambah suasana suram malam itu. Kertas-kertas berserakan di meja, dan kopi yang sudah dingin di gelas membuat tenggorokannya terasa kering.
"Aku butuh liburan," gumamnya sambil meregangkan tubuh yang kaku setelah duduk berjam-jam. Namun, liburan tampaknya adalah kemewahan yang tak mungkin ia dapatkan dalam waktu dekat. Hidupnya berjalan monoton: bekerja, pulang, tidur, lalu kembali lagi bekerja.
Terdengar suara angin dari jendela, menandakan hujan akan segera turun. Di luar sana, lampu-lampu kota mulai memudar di tengah malam. Gedung-gedung menjulang tinggi dengan cahaya lampu yang menyala, seolah menjadi penjaga sunyi di malam yang penuh kesibukan.
Setelah akhirnya menyelesaikan pekerjaannya, Arga menutup laptopnya dengan satu hembusan napas lega. Ia meraih tas, menyambar jaket, dan berjalan keluar dari kantor yang sudah sepi. Di koridor gelap, hanya terdengar langkah kakinya bergema. Lift pun terasa lebih lambat dari biasanya, seolah ikut terjebak dalam ritme malam yang malas.
Ketika ia keluar dari gedung kantor, hujan sudah turun. Bulir-bulir air menghantam permukaan jalanan dengan intensitas yang kian meningkat. Arga membuka payungnya dan berjalan cepat menuju halte bus, berharap bisa segera sampai di apartemen kecilnya. Namun, nasib malam itu sepertinya tidak ingin bersikap baik padanya. Tidak ada satu pun bus yang lewat, dan jalanan mulai sepi.
"Bagus, sekarang aku harus berjalan," keluhnya.
Dengan langkah gontai, Arga mulai menelusuri trotoar yang diterangi lampu jalan yang tampak temaram karena hujan. Semuanya terasa sangat biasa, hampir membosankan, sampai tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang aneh di kejauhan.
Di ujung jalan, di dekat taman yang jarang dikunjungi orang, terlihat cahaya redup berwarna kebiruan. Cahaya itu tidak berasal dari lampu jalan, dan Arga tidak ingat pernah melihatnya sebelumnya. Rasa penasaran yang kuat mulai merayapi pikirannya. Taman itu selalu gelap dan sepi, apalagi di tengah malam dan hujan. Tapi, entah kenapa, kakinya justru melangkah menuju sumber cahaya tersebut.
Saat semakin dekat, ia mulai melihat lebih jelas. Cahaya itu berasal dari semacam lingkaran di udara, melayang sedikit di atas tanah, seperti portal yang berputar perlahan. Arga berdiri terpaku beberapa meter di depannya, mulutnya sedikit terbuka dalam ketidakpercayaan. Ini pasti semacam ilusi, pikirnya. Tapi portal itu terasa begitu nyata, sinarnya yang lembut memancar ke segala arah, memantulkan bayangan aneh pada genangan air di sekitarnya.
Dia mendekat dengan hati-hati, payungnya nyaris tak berfungsi karena hujan yang semakin deras. Tanpa sadar, tangannya terulur ke arah portal tersebut. Jantungnya berdebar kencang. Hatinya berteriak bahwa ini gila, bahwa ia harus menjauh. Namun rasa penasaran yang menguasainya terlalu kuat.
Begitu ujung jarinya menyentuh tepi portal, seluruh tubuhnya ditarik masuk dengan kekuatan yang tidak terduga. Dunianya berputar cepat, dan dalam sekejap, hujan, jalanan, dan kota di belakangnya menghilang. Ia terjatuh, merasakan gravitasi yang aneh menarik tubuhnya ke bawah. Segala hal di sekitarnya berubah kabur, seakan ia jatuh melalui tabung waktu yang penuh dengan cahaya dan bayangan yang bergerak cepat.
Kemudian, tiba-tiba, semuanya berhenti. Arga terjatuh dengan keras ke tanah yang dingin. Nafasnya terengah-engah, sementara matanya perlahan menyesuaikan diri dengan sekelilingnya. Di mana ini? Dunia ini tampak begitu berbeda. Langit berwarna keunguan, dipenuhi bintang yang tidak dikenal. Angin berhembus dengan aroma yang asing, membawa suara-suara yang samar, seperti bisikan dari hutan yang jauh.
Arga berdiri, tubuhnya gemetar, setengah karena dingin, setengah karena ketakutan. Dia melihat ke sekeliling, mencari tanda-tanda yang bisa dikenali, tetapi tidak ada gedung, tidak ada jalan, hanya hamparan padang rumput yang luas. Di kejauhan, ia bisa melihat hutan gelap dan bukit-bukit berbatu. Langit yang asing menambah kesan suram tempat ini.
"Apa ini mimpi?" gumamnya. Namun rasa sakit di tangannya yang terbentur tanah mengatakan bahwa ini nyata. Dia benar-benar berada di tempat lain. Bukan di Bumi.
Tanpa tahu harus ke mana, Arga mulai berjalan, berharap menemukan sesuatu apa saja yang bisa memberinya petunjuk tentang di mana dia berada. Tapi semakin jauh ia melangkah, semakin aneh tempat ini terasa. Rumput di bawah kakinya terasa lembut, namun ketika disentuh, ia terasa seperti bulu. Angin berdesir dengan bunyi seperti lonceng-lonceng kecil, dan di kejauhan, ada makhluk-makhluk yang berlarian cepat, terlalu cepat untuk dilihat dengan jelas.
Langkah Arga terhenti ketika ia melihat sesuatu yang lebih mengerikan. Di depan sana, sebuah gerbang besar menjulang tinggi, terbuat dari batu-batu hitam yang tidak mungkin berasal dari dunia yang ia kenal. Di atas gerbang itu, terdapat simbol yang aneh, seakan menggambarkan matahari dan bulan yang berputar bersamaan.
"Tempat apa ini?"
Sebelum Arga bisa berpikir lebih jauh, suara langkah kaki terdengar dari belakangnya. Ia berbalik, dan di sana, berdiri seorang wanita dengan jubah berwarna biru tua. Wanita itu tampak muda, mungkin seusia dengannya, tapi matanya yang tajam dan penuh teka-teki membuatnya tampak jauh lebih tua. Rambut panjang hitamnya tergerai sampai punggung, dan tangannya memegang tongkat yang ujungnya berkilauan dengan cahaya kecil.
"Akhirnya kau datang," suara wanita itu terdengar tenang, namun penuh kewaspadaan.
Arga terkejut, bingung, dan tak tahu harus berkata apa. "Apa? Siapa kau? Tempat apa ini?"
Wanita itu hanya tersenyum kecil. "Aku Lira. Dan tempat ini... adalah Etherion. Dunia yang telah menunggumu."
"Menungguku?" Arga semakin bingung. Bagaimana mungkin dunia ini menunggunya? Dia hanya seorang pria biasa yang terjebak dalam rutinitas membosankan. Dia tidak pernah mendengar tentang Etherion sebelumnya, dan sekarang, tiba-tiba, seorang wanita misterius mengatakan bahwa dunia ini telah menunggunya?
Lira menatapnya dengan pandangan tajam. "Tidak ada yang datang ke Etherion secara kebetulan. Dunia ini memilih siapa yang diizinkan masuk. Dan kau, Arga, telah dipilih untuk sesuatu yang besar. Sesuatu yang bahkan kau sendiri belum pahami."
"Apa maksudmu? Aku tidak tahu apa-apa tentang tempat ini!" Arga merasakan kemarahan dan ketakutannya bercampur. Dia tidak pernah meminta semua ini.
Lira berjalan mendekat. "Itu akan berubah. Tapi pertama-tama, kau harus memahami aturan di sini. Etherion bukanlah dunia seperti yang kau kenal. Di sini, sihir bukan sekadar kekuatan, dan waktu... bukanlah garis lurus."
"Tunggu, apa maksudmu dengan waktu bukan garis lurus?"
Lira menatap ke arah langit keunguan. "Di Etherion, waktu berjalan sesuai dengan kehendak dunia ini. Kadang ia bergerak cepat, kadang lambat, bahkan bisa berhenti atau mundur. Kau harus mempelajarinya jika ingin bertahan hidup di sini."
Kata-kata Lira hanya menambah kebingungan Arga. "Dan kenapa aku? Aku hanya orang biasa. Kenapa dunia ini memilihku?"
Lira tersenyum samar. "Itu yang harus kau temukan sendiri."
Suasana menjadi semakin tegang. Arga bisa merasakan ada sesuatu yang besar dan berbahaya yang sedang menunggunya. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukan, atau bagaimana menghadapi semua ini. Tapi satu hal yang pasti, dia tidak bisa kembali. Etherion telah memanggilnya, dan sekarang, ia terperangkap dalam dunia yang asing dan penuh misteri.
"Baiklah," katanya, meski dengan suara gemetar. "Jika aku memang harus berada di sini, maka beri tahu aku apa yang harus kulakukan."
Lira mengangguk. "Langkah pertama, kita harus menemukan tempat yang aman. Di sini, malam bukan hanya sekadar waktu gelap. Ada makhluk-makhluk yang mengintai, dan kita harus bergerak cepat sebelum mereka menemukamu."
Arga mengikuti Lira, sementara pikirannya berputar-putar. Dunia ini, Etherion, penuh dengan hal-hal yang tidak ia mengerti. Tapi di dalam hatinya,
ada rasa penasaran yang perlahan muncul, menggantikan ketakutan. Apa sebenarnya yang menunggunya di sini? Dan bagaimana mungkin dunia ini memilihnya, dari semua orang, untuk menjalani takdir yang misterius ini?
Petualangan Arga di Etherion baru saja dimulai.