Arga mengikuti Lira melintasi padang rumput yang tampak tak berujung, angin malam menerpa wajahnya dengan dingin. Setiap langkah terasa semakin aneh dan asing, seolah-olah tanah di bawahnya bernafas, hidup dengan ritme yang tak dapat ia pahami. Sinar bulan di atas mereka tidak lagi memantulkan warna keperakan seperti di Bumi, melainkan cenderung biru keunguan, memberikan kesan surealis pada sekelilingnya.
"Kita harus cepat. Malam di Etherion membawa bahaya yang tidak bisa kau bayangkan," ujar Lira dengan nada tegas, suaranya terdengar lebih serius daripada sebelumnya.
Arga merasa was-was, tetapi langkah kakinya terus mengikuti wanita misterius itu. Hanya satu hal yang ia tahu pasti—dia tidak punya pilihan lain. Dunia ini terlalu berbahaya untuk dijelajahi sendiri, dan Lira, meski misterius, tampaknya tahu apa yang ia lakukan.
"Bahaya seperti apa?" Arga akhirnya bertanya, berusaha memecah keheningan yang membuat pikirannya semakin tegang.
Lira menoleh ke belakang, tatapan matanya tajam namun tak menampakkan rasa takut. "Etherion adalah dunia yang terjalin dengan energi magis. Di malam hari, makhluk-makhluk tertentu, yang biasa bersembunyi di balik realitas, mulai muncul. Mereka bukanlah makhluk yang bisa kau hadapi tanpa persiapan."
Arga meresapi kata-kata Lira dengan perasaan campur aduk. Ini terdengar seperti cerita dari novel fantasi yang pernah ia baca, namun sekarang ia hidup di dalamnya. Dia ingin bertanya lebih lanjut, tetapi suara-suara aneh mulai terdengar dari kejauhan. Seperti raungan atau jeritan yang terpantul di udara malam.
Lira mempercepat langkahnya. "Kita hampir sampai. Desa pertama berada di seberang hutan ini."
Desa? Pikiran Arga kembali sibuk dengan pertanyaan-pertanyaan. Jika ada desa, berarti ada orang lain di dunia ini. Namun, sebelum ia sempat mengajukan lebih banyak pertanyaan, mereka tiba di tepi hutan. Pohon-pohon tinggi menjulang dengan daun yang bersinar redup, hampir seperti lentera kecil yang menghiasi jalan setapak di depan mereka.
Lira menghentikan langkahnya sejenak dan menoleh ke Arga. "Kita harus berhati-hati di sini. Hutan ini bukan tempat yang ramah bagi pendatang baru."
"Apa maksudmu?" tanya Arga, semakin bingung.
Lira menatap hutan dengan tatapan penuh perhitungan. "Hutan Etherion hidup. Setiap ranting, daun, dan akar memiliki kesadaran. Ia tahu siapa yang berjalan di atasnya, dan terkadang, ia tidak suka dengan kehadiran tamu tak diundang."
Arga menelan ludah. Hutan yang hidup? Seolah dunia ini belum cukup aneh, sekarang ia harus berjalan melalui hutan yang bisa 'merasa'. Meski ragu, ia mengikuti Lira masuk ke dalam hutan. Cahaya redup dari daun-daun bercahaya membantu mereka melihat jalan setapak, tetapi suasana tetap terasa mencekam.
Di tengah perjalanan, Arga merasakan sesuatu yang aneh di sekitarnya. Udara menjadi lebih tebal, hampir seperti menekan tubuhnya. Ia merasakan ketegangan di punggungnya, seolah-olah ada mata tak terlihat yang mengawasi setiap gerakannya.
"Lira..." bisiknya pelan. "Ada sesuatu di sini, kan?"
Lira tidak berhenti berjalan, tetapi suaranya terdengar lebih tegang. "Jangan bereaksi. Jangan membuat suara berlebihan. Tetap tenang."
Mendengar itu, jantung Arga berdetak lebih kencang. Apapun yang mengintai mereka, ia tidak ingin bertemu dengannya. Mereka terus berjalan dalam keheningan, hanya suara langkah kaki dan desiran angin lembut yang menemani mereka. Namun, perlahan-lahan, Arga mulai merasakan keanehan lain. Setiap kali ia melangkah, tanah di bawahnya terasa seperti bergeser sedikit, seolah-olah hidup.
"Apa yang terjadi?" bisik Arga lagi, mencoba menjaga nada suaranya tetap rendah.
Lira berhenti, mengangkat tangannya untuk memberi isyarat agar Arga juga berhenti. "Hutan sedang memperhatikan kita. Jangan panik, ini bisa dilewati, tapi kita harus menunjukkan bahwa kita tidak berniat buruk."
Arga merasa bulu kuduknya berdiri. Bagaimana caranya memperlihatkan niat baik pada hutan? Namun sebelum ia bisa bertanya lebih lanjut, Lira berlutut di depan sebatang pohon besar yang tampak lebih tua daripada yang lainnya. Ia menempelkan tangan kanannya ke tanah dan mulai menggumamkan kata-kata dalam bahasa yang tak dimengerti Arga.
Perlahan, tanah di bawah mereka berhenti bergeser, dan kehadiran berat yang menekan udara perlahan menghilang. Hutan itu tampak kembali tenang, meskipun keheningan itu terasa lebih menakutkan daripada sebelumnya. Lira bangkit berdiri dengan wajah serius.
"Ini bukan tempat untuk bertanya. Kita harus terus berjalan."
Arga mengangguk, masih merasa bingung dan sedikit ketakutan, tetapi mengikuti Lira tanpa pertanyaan lebih lanjut. Mereka berjalan dengan langkah hati-hati, dan setelah beberapa waktu yang terasa seperti berjam-jam, cahaya terang muncul di depan mereka. Itu adalah cahaya api unggun yang menerangi tepi desa kecil yang tersembunyi di balik hutan.
Desa itu tampak kuno, dengan rumah-rumah kayu yang terbuat dari bahan yang tampak seperti berasal dari masa lalu. Beberapa orang, yang terlihat seperti penduduk desa dengan pakaian sederhana, berjalan mondar-mandir sambil membawa ember air dan keranjang makanan. Tidak ada yang tampak aneh pada pandangan pertama, tetapi Arga merasakan sesuatu yang berbeda tentang mereka.
"Selamat datang di Desa Ethelmoor," kata Lira dengan nada lebih santai, seolah desa ini memberikan perasaan aman setelah ketegangan di hutan. "Ini adalah tempat di mana kita bisa beristirahat, tetapi jangan salah sangka. Di sini, semua orang tahu tentang Etherion, dan mereka semua terlibat dalam menjaga keseimbangan dunia ini."
Arga tidak tahu apa yang dimaksud Lira dengan "menjaga keseimbangan dunia ini", tetapi ia sudah terlalu lelah untuk bertanya. Mereka berjalan memasuki desa, dan tatapan para penduduk segera beralih ke mereka. Wajah-wajah itu tampak tenang, tetapi tatapan mata mereka penuh kecurigaan terhadap Arga, yang jelas-jelas adalah orang luar.
Salah seorang pria tua mendekati mereka, mengenakan jubah cokelat yang usang tetapi tampak rapi. Wajahnya penuh kerutan, namun matanya berkilauan dengan kecerdasan yang tajam.
"Lira," katanya dengan nada hormat, "siapa ini? Orang baru?"
Lira mengangguk. "Ini Arga. Dia pendatang baru, tapi kehadirannya sudah diramalkan."
Pria tua itu mengerutkan kening, seakan mempelajari Arga dengan seksama. "Pendatang baru jarang sekali datang ke Etherion. Dan yang datang ke sini biasanya membawa sesuatu yang besar. Kau yakin dia...?"
"Aku yakin," potong Lira. "Waktu akan membuktikan itu."
Arga hanya bisa diam, merasa canggung dan bingung di antara percakapan yang sepertinya menyimpan rahasia besar. Pria tua itu akhirnya mengangguk, lalu melambai kepada seorang wanita muda yang membawa sebuah kantung kain besar.
"Bawa dia ke rumah penginapan. Biarkan dia istirahat dulu," kata pria tua itu sambil melangkah mundur.
Wanita itu mendekati Arga dengan senyuman ramah. "Ayo, ikuti aku. Kau pasti kelelahan."
Arga mengikuti wanita itu dengan lega, merasa bahwa akhirnya dia bisa sedikit beristirahat setelah apa yang ia alami. Mereka berjalan menyusuri jalan kecil desa menuju sebuah bangunan sederhana di ujung jalan. Rumah penginapan itu terlihat seperti rumah biasa dari luar, namun begitu masuk, Arga terkejut melihat interiornya yang hangat dan nyaman. Perapian menyala dengan api yang berkobar lembut, memberikan kehangatan di ruangan yang sepi.
Wanita itu menunjuk ke sebuah kamar di pojok. "Di sana kau bisa beristirahat. Besok pagi, Lira akan menjelaskan lebih banyak tentang tempat ini."
Arga mengangguk lemah. "Terima kasih," ucapnya sebelum masuk ke dalam kamar.
Setelah menutup pintu, Arga langsung jatuh ke tempat tidur yang sederhana namun empuk. Tubuhnya terasa sangat lelah, tetapi pikirannya terus berputar, memikirkan segala hal yang terjadi sejak ia melewati portal itu.
Bagaimana mungkin dia terjebak di dunia ini? Apa sebenarnya Etherion? Kenapa Lira begitu yakin bahwa dunia ini "menunggunya"? Semua pertanyaan itu terus menghantui benaknya, namun perlahan, rasa kantuk mulai mengambil alih. Di antara rasa lelah dan kebingungan, akhirnya Arga tertidur, meskipun mimpi-mimpi aneh tentang hutan hidup dan makhluk-makhluk misterius mulai menyelinap ke dalam tidurnya.
***
Keesokan paginya, Arga terbangun dengan suara
ketukan pelan di pintu kamarnya. Matahari yang terbit di luar memancarkan cahaya yang hangat, memberikan kesan bahwa malam yang penuh ketegangan telah berlalu. Ketika Arga membuka pintu, Lira berdiri di sana dengan ekspresi tenang, tetapi tatapannya tetap penuh misteri.
"Sudah waktunya," kata Lira. "Kau harus tahu apa peranmu di Etherion."