Di tengah perjalanan menuju kuil akademi untuk mengambil artefak penyembuhan, suasana senja mulai menyelimuti sekitarnya. Langit berwarna oranye kemerahan, memberikan aura sakral yang kontras dengan perbincangan serius antara Raka dan Yasmina.
Yasmina: (sambil menatap tajam ke arah Raka) "Kau benar-benar tidak memiliki keimanan pada apapun, Raka?"
Raka: (mengangkat bahu, ekspresinya santai) "Tidak ada yang bisa membuatku percaya begitu saja. Hidup ini… ya, aku hanya hidup."
Yasmina tampak sedikit kecewa mendengar jawabannya, matanya terlihat tenang tapi mengandung rasa prihatin.
Yasmina: (menyipitkan mata, mencoba menyampaikan pemikirannya dengan hati-hati) "Keimanan, Raka, bukan sekedar percaya pada sesuatu yang tak terlihat. Itu bisa menjadi jalan hidup, tujuan… bahkan perlindungan. Apakah kau tidak menginginkan sesuatu yang dapat memberimu kekuatan dan arah?"
Raka terdiam sejenak, tampak tertarik dengan konsep yang baru baginya.
Raka: (merenung, lalu bertanya pelan) "Kalau begitu… apa yang kalian yakini?, sampai bisa memberikan kalian kekuatan!"
Yasmina pun mulai menjelaskan kepercayaan yang beragam dari berbagai bangsa di Dunia Utama, memberikan penjelasan singkat namun penuh makna. Suara Yasmina lembut namun terdengar serius, menciptakan suasana yang membuat Raka semakin terpikat.
Yasmina: (senyum tipis, penuh pengetahuan) "Di Eastern Empire, mereka percaya pada lautan yang memberi kehidupan. Di Western Kingdom, api adalah lambang dari kekuatan dan perubahan. Ada juga pengagungan bumi di Southern Union, serta pemujaan angin di Northern Tribe. Lalu… di Babel, mereka menyembah Trinity—tiga dewa pencipta dunia. Berbeda dengan tempat lain di kerajaan para Demon mereka percaya bahwa roh leluhur mereka yang menjaga mereka."
Raka: (matanya berkilat tertarik) " Begitu ya, di Elaria mereka katanya menyembah bintang bintang, aku tau ini karena aku pernah menjadi pesuruh di kuil Holy star."
Yasmina: (tersenyum lembut, kagum) "Kau benar!, Mereka percaya pada bintang-bintang. Mereka anggap bintang sebagai penunjuk arah… dan simbol harapan."
Raka terdiam sejenak, menyerap semua informasi itu. Dalam keheningan senja, dia menatap Yasmina dan merenungkan kata-katanya.
Raka: (tenang, namun penuh keyakinan) "Kupikir, aku percaya bahwa jika kita melakukan banyak kebaikan, maka lebih banyak kebaikan yang akan datang pada kita. Kita tidak perlu bergantung pada hal hal aneh, karena hidup ini milik kita"
Yasmina: (melihatnya dalam-dalam, sedikit tersenyum) "Jawaban yang sederhana… namun menarik, Raka. Kau memang memiliki cara pandang yang unik."
Mereka tiba di kuil akademi, sebuah bangunan kuno yang tenang dan penuh keanggunan dengan patung-patung dan relief yang menggambarkan berbagai lambang kepercayaan. Cahaya lilin yang berpendar di dalam kuil memberikan atmosfer tenang, namun ada juga ketegangan di udara. Saat memasuki kuil, mereka melihat seseorang tengah berlutut, tenggelam dalam doa. Raka mengenali sosok itu.
Raka: (kaget, setengah berbisik) "Luna? Apa yang sedang kau lakukan di sini?"
Luna berbalik, matanya melebar saat melihat Raka. Dia segera bersujud dalam-dalam, wajahnya terlihat penuh penyesalan di depan Raka.
Luna: (gemetar, wajah tertunduk) "Oh Tuan , maafkan hamba. Hamba benar-benar menyesal atas kejadian siang tadi… Hamba tak bisa melupakan amarah Anda."
Raka: (terkejut, malu, melirik Yasmina) "H-hey, bangun! Ada orang lain di sini."
Namun, Luna tetap bersujud, dan tatapannya beralih pada Yasmina, yang kini memandangnya dengan ekspresi tak senang.
Yasmina: (meremehkan, nada dingin) "Yang Mulia, mengapa kau bersujud pada makhluk lemah seperti dia?"
Luna segera bangkit, sorot matanya berubah tajam dan berkilat marah.
Luna: (tatapan tajam pada Yasmina) "Makhluk lemah?! Apakah kau sudah bosan hidup, Yasmina?"
Raka merasakan ketegangan meningkat, dia berdiri di antara keduanya, mencoba menenangkan situasi yang hampir tidak terkendali.
Raka: (panik, mencoba tenang) "Tunggu, Luna! Apa sebenarnya yang terjadi di sini? Mengapa Yasmina memanggilmu dengan sebutan 'Yang Mulia'?"
Luna menarik napas dalam-dalam, menahan diri dari amarahnya. Dengan sedikit pasrah, ia memutuskan untuk memberi penjelasan.
Luna: (nada datar, serius) "Baiklah, Tuan. Yasmina adalah seorang Bishop—orang kepercayaan hamba—dalam Chaos Cult. Kami memiliki misi tertentu… dan hamba di sini untuk memastikan hal itu berjalan."
Raka: (kaget, nada bingung) "Jadi, kalian bekerja sama di sini?"
Luna: (memandang Yasmina sejenak, lalu mengangguk) "Ya, dan hamba mohon maaf atas ketidaknyamanan ini. Yasmina, minta maaf pada Tuan sekarang juga."
Yasmina: (membungkuk pelan, dengan berat hati) "Maafkan ketidaksopanan saya, Tuan."
Raka terkejut, melihat seorang guru seperti Yasmina membungkuk di hadapannya, merasa situasi ini semakin aneh. Namun, sebelum dia bisa merespons, Luna mengajukan pertanyaan.
Luna: (menatap Raka serius) "Tuan, apakah Anda memaafkan hamba untuk kejadian tadi siang?"
Raka: (menghela napas, santai) "Sudah kubilang, itu bukan salahmu. Aku hanya terkejut kalian berencana membunuh penerus Saintess. Ide itu sama sekali bukan tindakan bijak."
Luna: (menunduk, tunduk) "Baik, Tuan. Kami akan membatalkan rencana itu."
Yasmina: (terkejut, berbisik marah) "Yang Mulia! Seriuskah Anda?! Padahal kita sudah…"
Luna: (segera menyela dengan nada tegas) "Diam! Shh! Jangan banyak bicara."
Raka melihat perdebatan mereka dengan wajah sedikit kesal, lalu memutuskan untuk menghentikan drama ini.
Raka: (menahan rasa frustrasi) "Ah, sudahlah. Bu Yasmina, di mana artefak penyimpanan Prana itu? Aku akan membawanya ke unit kesehatan sendiri jika kalian masih ingin berdebat."
Yasmina dan Luna saling pandang, sejenak suasana menjadi hening. Yasmina lalu membawa kotak dari gudang kecil di dekat altar kuil, dan menyerahkannya pada Raka. Raka mengambil kotak itu dan bersiap pergi.
Raka: (nada tegas) "Luna, jelaskan semuanya pada Yasmina. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman lagi."
Raka kemudian meninggalkan kuil, membiarkan Luna dan Yasmina di belakang. Luna menatap Yasmina, dengan ekspresi yang mencerminkan rasa lelah.
Yasmina: (terdiam, bingung) "Jadi… siapa dia sebenarnya?"
Luna: (kesal, setengah berbisik) "Singkat saja, dia adalah… yang kami tunggu selama 800 tahun ini."
Luna, dengan wajah kesal, segera meninggalkan Yasmina sendirian di kuil. Yasmina hanya bisa memandangi punggung Luna yang semakin menjauh, hatinya dipenuhi pertanyaan dan rasa penasaran yang mendalam.
Yasmina: (menatap pintu kuil yang kosong) "Jadi… dia, ya."
---