Angin malam berhembus lembut di Akademi Stellar. Cahaya bulan yang pucat menerangi taman yang sepi, menimbulkan bayangan samar di antara pepohonan dan bangku taman. Raka duduk di salah satu bangku, tubuhnya tegak tetapi terlihat sedikit tegang. Besok adalah hari ujian penempatan kelas, dan dia tidak bisa menyingkirkan rasa gelisah yang menyelimuti pikirannya.
Langkah kaki yang dikenalnya mendekat.
Alya: "Kak Raka?"
Suara lembut Alya memecah keheningan. Raka menoleh, tersenyum tipis melihat adiknya berdiri di sana dengan mata penuh perhatian.
Raka: "Hei, Alya."
Raka menepuk tempat di sebelahnya, mengisyaratkan Alya untuk duduk.
Raka: "Kau belum tidur?"
Alya: "Aku yang harusnya tanya begitu,"
jawab Alya sambil duduk.
Alya: (melihat Raka dengan khawatir) "Kau tampak tegang. Memikirkan ujian besok?"
Raka : (mendengus, memandangi langit malam.) "Ya... Entah kenapa, aku merasa tidak yakin."
Raka: (Dia menoleh ke Alya.) "Aku hanya bisa sihir dasar, itu pun cuma Telekinesis. Sementara kau... Kau bahkan sudah menguasai sihir Bintang. Bagaimana mungkin aku bisa dibandingkan denganmu?"
Alya: (mengerutkan kening.)
"Kak, jangan bicara begitu. Kau punya bakatmu sendiri, dan itu lebih dari cukup. Dewan Sekolah merekomendasikanmu ke Akademi Stellar bukan tanpa alasan."
Raka:(mengeluh dengan kesal) "Tapi mereka hanya tahu yang ingin mereka lihat,Bagaimana kalau besok aku tidak bisa melakukan apa apa dan berakhir di ronde pertama"
Alya: (lemah lembut menghibur) "Kau tidak akan gagal Kak. Kau adalah kakakku yang kuat dan penuh tekad, kau sangat penuh dengan harapan kak mau bagaimanapun kau selalu mencari solusi terbaik untuk setiap masalah, itu sangat mengagumkan "
Raka terdiam sejenak, merenungkan kata-kata Alya. Ada kebenaran di sana, tapi tetap saja, rasa tidak percayanya sendiri terus membayangi. Dia berpikir sejenak sebelum mengubah topik.
Raka: (penasaran) "Alya, bagaimana denganmu? Apakah kau merasa terbebani oleh ekspektasi mereka? Saintess dan Dewan Kuil selalu menuntutmu untuk jadi yang terbaik."
Alya tersenyum lembut, meski matanya menunjukkan sedikit kelelahan.
Alya: "Tentu saja ada beban, Kak. Tapi, aku mencoba melihatnya dari sisi lain. Mereka ingin aku menjadi yang terbaik karena mereka percaya padaku. Saintess... beliau orang baik. Tapi ya, aku juga merasa mereka menyembunyikan sesuatu."
Raka menatap Alya dengan penasaran.
Raka: "Maksudmu?"
Alya: "Aku tidak tahu pasti, hanya firasat,"
Alya: "Tapi bukankah itu aneh? Mereka merekomendasikanmu ke Akademi Stellar, meskipun kau hanya bisa Telekinesis. Sepertinya ada alasan lain di balik keputusan mereka."
Raka: "ah soal itu kau akan di beri tahu nanti sepertinya, hehe"
Alya: (cemberut) "eh hmm ada apa ini kenapa main rahasia rahasia an"
Raka hanya tersenyum kecil namun jantungnya berdegup lebih cepat. 'Jika Alya sampai tahu yang sebenarnya... tentang alasan para dewan...' pikirnya.
Dia harus lebih berhati-hati. Dia mengangguk setuju, mencoba menyembunyikan kegelisahannya.
Raka: (tersenyum khawatir) "hehehe. Tapi apa pun alasan mereka, aku harap kita bisa melalui ini bersama."
Alya tersenyum, sebuah senyum hangat yang selalu membuat Raka merasa lebih baik.
Alya: "Kita pasti bisa, Kak. Kita sudah sampai sejauh ini, dan kita tidak sendirian. Kita saling memiliki."
Raka : (menghela napas lega)
"Ya, kau benar. Terima kasih, Alya."
Dia menatap langit malam lagi, merasa sedikit lebih tenang. Namun, saat ia mencoba menikmati ketenangan ini, sebuah hawa dingin tiba-tiba merambati tubuhnya.
Dia menggigil, merasakan seakan ada bayangan gelap yang mengawasi dari kejauhan. Matanya berkeliling, mencoba menemukan sumbernya, namun tidak ada apa-apa selain kegelapan malam.
Raka: "Kau merasa itu, Alya?"
tanyanya, berharap adiknya juga merasakan hal aneh ini.
Alya : (mengerutkan kening, mengamati sekeliling) "Tidak, Kak. Ada apa?"
Raka: "Tidak... mungkin hanya perasaanku,"
gumam Raka. Tapi di dalam hatinya, dia tahu ini bukan sekadar perasaan. Ada sesuatu yang berbeda malam ini, seolah-olah dunia berbisik tentang sesuatu yang tak dapat dilihat oleh mata biasa. Rasa dingin itu terasa begitu nyata, namun sekaligus tak berwujud.
Namun, sebelum ia bisa memikirkan lebih jauh, Alya menariknya kembali ke kenyataan.
Alya: "Kita harus kembali ke asrama sekarang. Besok akan jadi hari besar."
Raka mengangguk, mencoba mengabaikan rasa dingin yang masih menggelayuti.
Raka: "Ya, kau benar. Sudah masuk jam Malam."
Dia berdiri, mengusap lengan Alya dengan lembut sebagai tanda terima kasih.
Raka :"Selamat malam, Alya."
Alya: "Selamat malam, Kakak"
( berjalan lebih dulu menuju asrama.)
Raka menatap punggung adiknya, perasaan hangat bercampur dengan kegelisahan yang masih menggantung. Saat ia mengikuti Alya kembali ke asrama, bayangan akan hari esok dan apa yang mungkin dihadapi terus membayangi pikirannya.