Malamnya Ayah duduk di sofa dengan menatap ke ponsel nya. Ia memakai jas setelan, itu menandakan dia akan pergi bekerja. Aku yang melihat itu menjadi mendekat. "Ayah, apa Ayah akan bekerja?" tanya ku dengan wajah polos bertanya dan sudah menebak Ayah akan pergi. Tidak mungkin Ayah memakai Jas rapi tidak bekerja, jika sudah tanda tanda begitu, pasti mau pergi.
Ayah sempat terdiam, ia lalu merentang satu tangan nya di atas sofa. "Kemarilah Sayang," panggilnya.
Aku masih belum memasang wajah apapun, lalu duduk di dekat Ayah, tangan Ayah itu pun memegang pinggang ku dan membuat ku mendekat pada Ayah.
"Ayah... Ayah tidak akan bekerja kan?" tatap ku sambil memelas.
Ayah terdiam namun masih dengan senyum kecilnya itu. Pandangan nya melihat ke bawah meskipun wajahnya menatap ku. Ia seperti sedang berpikir, lalu di saat itu juga ponsel Ayah berbunyi di tangan nya, ia langsung membaca pesan itu dengan cepat dan langsung menoleh padaku.
Ia mendorong pinggang ku untuk aku semakin dekat dengan nya. "Ayah? Ini Valentine kan..." aku masih mengingatkan Ayah, aku mencoba agar Ayah tak kembali pergi bekerja, aku tak mau.
"Tidak, tidak jadi," kata Ayah, tak di sangka sangka, ia melebarkan dasi yang ia pakai sambil masih mendekat padaku.
"Tidak jadi?" aku masih belum mengerti dan tiba tiba aku terkejut karena Ayah mengangkat ku dan meletakan ku ke pangkuan nya.
"Sayang, Ayah baru saja di beritahu bahwa tak jadi berangkat," kata Ayah yang mendekat padaku.
"Eh beneran?" aku menatap senang lalu Ayah mengangguk pelan.
"Bagus, Ayah harus menemaniku lagi hari ini," aku langsung memeluk Ayah.
"Baiklah, putri kecilku," balas Ayah, ia lalu memelukku dan meletakan kepalanya ke bahuku. Aku bisa merasakan Ayah benar benar menganggap bahu ku seperti tempat sandaran kepala nya saja.
Lalu Ayah mengangkat kepalanya dan kami saling menatap. "Sayang, soal yang tadi, Ayah benar benar sangat minta maaf... Seharusnya tidak keluar."
"Tidak apa apa.... Ini baik baik saja, aku senang Ayah tak jadi pergi..." aku kembali memeluknya.
Tapi di antara itu, aku tak sengaja melihat ponsel Ayah di meja samping sofa yang masih menyala dan ada notifikasi yang membuat ku terkejut.
== Malam ini, harus segera hadir ==
Yang artinya, Ayah ada pekerjaan. Bagaimana bisa Ayah mengatakan tidak jadi di depan ku, apa ini benar benar baik baik saja. Aku bahkan mulai memasang wajah khawatir hingga Ayah menatap ku.
"Sayang, ada apa?" Ayah menatap khawatir.
"(Ayah pasti akan pergi.... Secepatnya.... Aku tak tahu bagaimana caranya pergi tapi... Dia benar benar pandai meluangkan waktunya...)" aku tampak masih cemas.
"Baiklah, bagaimana jika ikut Ayah ke kantor?" tatap Ayah yang menenangkan ku, sepertinya dia tahu apa yang kupikirkan.
"Serius? Kenapa baru sekarang mengajak? Tidak kemarin kemarin? Aku bahkan sudah lupa bentuk perusahaan Ayah ini," tatap ku dengan menyilang tangan.
"Jangan khawatir, tampilan nya lebih bagus dari yang kau lihat terakhir kali Sayang, dan juga sebenar nya ada seseorang yang ingin sekali bertemu dengan mu," kata Ayah.
"Ingin sekali.... Bertemu dengan ku? Siapa lagi?" aku menjadi berwajah tidak paham. Memang nya siapa yang ingin bertemu dengan ku kecuali itu lelaki kaya yang akan menjalin kontrak uang bersama Ayah, aku akan pastikan dia bukan tipe ku. Aku jadi males deh. Aku menjadi membuang wajah membosankan.
"Oh tentu saja ini akan menjadi tipe mu Sayang, meskipun begitu Ayah tidak akan bisa mengizinkan mu bersama nya nantinya."
"Nah itu baru Ayah, karena aku Sayang sama Ayah... Sampai segitunya Ayah tidak mengizinkan aku sama dia nantinya, jangan khawatir Ayah aku pasti tidak suka orang itu karena tipe ku ini pastinya mustahil... Mungkin tipe ku ini Ayah."
Tapi Ayah tampak menatap ku sangat dalam. "Soal tadi, Ayah minta maaf akan meninggalkan mu malam ini..."
Mendengar itu membuat ku kembali terdiam mengingat. "Ayah, Ayah tak perlu minta maaf, aku justru tidak tahu apa apa dan hanya mengkhawatirkan Ayah..." Raina menatap sambil memegang leher Tuan Cilioen dengan lembut.
"Yah, kalau begitu apa Ayah boleh keluar saat menjemputmu?"
"Eh? Hahhaa.... Jadi masih membahas itu?" aku terkejut dan tertawa karena Ayah masih mempermasalahkan itu.
"Ya, Ayah ingin keluar menjemput mu... Biarkan saja mereka tahu, okey?" tatap Ayah, dia benar benar seperti memohon.
"Hahaha baiklah deh, aku tidak akan takut lagi mereka membicarakan Ayah, Ayah juga bisa muncul dan mendekat padaku sepuasnya tanpa aku menghawatirkan apapun," kata ku sambil kembali memeluk Ayah.
Ayah juga meletakan kepalanya di pundak ku, dan di saat itu juga tanpa kusadari di tangan nya ada ponsel nya, di sana ada pesan lagi yang belum di baca bertuliskan.
== Tuan Cilioen, anda harus mengikuti pertemuan malam ini di jam 10 ==
Di saat itu juga wajah Ayah menjadi datar dan aku diam diam melihat nya. Ia lalu meletakan ponsel nya ke sofa dan menatap padaku yang terkejut.
"Sayang, ayo tidur, kau sudah mengantuk bukan," tatap nya.
"Ya, Ayah... Bawa aku ke ranjang," aku mulai manja dan memeluknya. Lalu Ayah berdiri sambil masih membawa ku, posisi ku tadi langsung membuat Ayah menggendong ku di dada.
Setelah sampai di kamar, Ayah meletakan ku di ranjang dan kami mulai berbaring bersama.
"Ayah.... Apa aku bisa bertanya sesuatu?" aku mulai mendekat memeluk Ayah yang terbaring.
"Ajukan saja Sayang," balas nya.
"Siapa cinta pertama Ayah?" tatap ku. Di saat itu juga Ayah terdiam tak bisa berkata kata.
"Ayah?" aku menatap bingung.
"Maaf, maksud Ayah mungkin kau harus bertanya kasih sayang bukan cinta."
"Kenapa? Ayah tidak mencintai seseorang? Bagaimana dengan ibu?" pertanyaan ini pastinya sudah aku berikan dulu, tapi Ayah selalu tak menjawab dengan jujur dan sekarang dia memiliki alasan lain.
"Sayang, biar Ayah beritahu... Ayah tak pernah mencintai ibu mu," kata Ayah seketika aku terdiam kaku tak percaya mendengar itu. Mungkin memang benar, aku mulai tahu kenapa ibu tidak ada di sini sampai sekarang.
"Tapi jika itu kasih sayang, itu sudah berlebihan Ayah lakukan, padamu dan dia... Jangan berpikir bahwa Ayah pandai dalam cinta, inilah mengapa ibu mu tidak hidup sampai sekarang," tambah nya sambil menatap ke arah lain.
"Ayah... " aku mencoba mendekat memegang pipi nya. "(Aku tahu perasaan Ayah, penyampaian singkat itu di berikan.... Ia tak pernah belajar cinta... Tapi yang aku lihat, Ayah sangat lembut dengan ku, kupikir itu sudah aku anggap cinta tapi sepertinya pertanyaan ku, ini benar benar salah...) Ayah, jangan khawatir," aku mendekat dan naik ke dada Ayah yang tadinya terbaring tidur.
"Aku akan mencintai Ayah, sangat sangat banyak cinta yang akan aku berikan agar Ayah memiliki cinta pertama dan tak hanya Ayah, aku pun juga mendapatkan nya," kata ku mendekat mencium bibir Ayah.
"Terima kasih, Sayang," Ayah menatap lembut membuat ku juga tersenyum.
"Ayah tahu, aku sangat beruntung memiliki pria sebaik Ayah.... Ayah adalah sosok pria yang aku cintai pertama," tatap ku.
Penyampaian yang begitu lembut dan sangat manis membuat Ayah juga masih tersenyum dan memeluk ku yang meletakan kepala di atas tubuhnya.
"(Benar benar sangat hangat sekali.... Sangat sangat hangat....)" aku mulai menutup mata ku.
--
Tapi.... Di antara terlelap nya tidurku. Ada sesuatu yang baru, muncul hari ini, tepatnya ketika aku tertidur, sebuah mimpi lebih tepatnya.
Biasanya, aku bermimpi, kemudian aku melupakan nya karena mimpi yang selalu alami memang sangatlah baik.
Tapi hari ini, entah kenapa... Mimpi ini mengatakan sesuatu yang seharusnya aku ketahui dari dulu.
Aku membuka mataku perlahan, tak ada rasa ngantuk, hanya merasakan kehidupan dan kematian disaat yang bersamaan. Aku terbangun di sebuah tempat yang sangat gelap, aku tak bisa melihat apapun.
Begitu gelap sehingga aku menganggap mata ku buta, semuanya gelap, tapi tiba tiba, aku merasakan suara sayatan pisau, tembakan peluru di saat yang bersamaan. Kemudian suara lampu menyala hanya memunculkan bulan purnama berwarna merah darah yang berada di atasku.
Aku hanya bisa melihat bulan itu di pandangan ku hingga tiba tiba saja aku merasakan sesuatu terlumuri di tubuhku, aku meraba dengan tangan ku, ini tidak dingin, ini bukan air... Ini lebih seperti sesuatu yang kental dan bau seperti besi juga, amis.
Aku tak bisa melihat itu apa, tapi bulan purnama yang berwarna merah sudah menjelaskan semuanya, dia kemudian secara perlahan memunculkan cahaya merah yang menerangi remang remang tubuhku dan aku bisa melihat apa yang ada di tubuhku, yakni darah.
Darah yang sangat banyak mengenai ku, aku terkejut tak percaya bahkan yang paling mengerikan, aku tak bisa bergerak kemanapun.
Kemudian aku mendengar bisikan dari suara wanita. "Raina..." dia memanggil nama ku.
"Raina.... Maaf..... Maaf...." suara itu terus meminta maaf, aku tak tahu siapa yang mengatakan itu karena dia tak menyebutkan siapa dirinya. Suara itu seperti dia sedang melawan ajal nya.
Dan tiba tiba saja ada suara bayi menangis yang sangat dekat berada di telinga ku membuat telinga ku sakit, apalagi bercampur bisikan itu yang mengatakan siapa dirinya.
"Raina.... Maafkan ibu...."
"Ibu!!!" aku baru saja mendengar suara ibu?!
Namun tiba tiba semuanya hilang, semua berganti, tak ada bulan merah, tak ada darah dan suara itu juga telah sunyi.
Pandangan ku menjadi melihat seseorang yang berdiri di depan ku agak jauh, tubuhnya besar dan dia seorang pria. Begitu gelap sehingga aku tak bisa melihat dengan jelas.
Kemudian suaranya memanggil. "Raina...." itu suara Ayah, apa itu berarti dia yang ada di depan ku adalah Ayah, tapi kenapa suasana nya begitu mengerikan.
Hingga tiba tiba datang bisikan yang sangat dekat di telinga ku mengatakan sesuatu yang sangat mengerikan. "Pembunuh....."
Ketika aku mendengar kalimat itu, bola mataku langsung tertuju pada wajah pria tersebut yang belum pasti adalah Ayah. Ayah seorang pembunuh? Aku tak peduli dia seorang yang apa, aku tak berhak ikut campur, yang aku inginkan hanyalah bersama dengan nya.
"Tapi dia pembunuh...." tiba tiba bisikan itu datang lagi menyela pembicaraan ku yang bahkan tak aku ucapkan.
Apa yang harus aku lakukan, tiba tiba saja pria itu mengeluarkan pistol yang sama sama hitam di hadapan ku. Ayah tak mungkin melakukan itu, dia tidak akan menodongkan ku senjata seperti itu kan.
Kemudian suara Ayah muncul. "Aku sangat menyayangi mu sayang, sehingga aku ingin membunuh mu... Juga ibumu."
Dan suara tembakan muncul menembak ku mengenai perutku yang membuat ku langsung terjatuh, aku tak bisa merasakan apapun, aku hanya bisa melihat darah yang terus mengalir dan aku tak bisa menghentikan itu, sangat banyak sekali.
Lalu suara bisikan muncul lagi. "Pembunuh....."
Aku mohon, aku hanya ingin bangun....
"Jangan khawatir, kau akan melupakan mimpi ini lagi...."