Pagi itu, suasana toko teh terasa tenang, seperti biasa. Tacha berdiri di balik meja kasir, matanya menelusuri rak-rak teh yang berjejer rapi. Meskipun dia tidak pernah berencana melanjutkan usaha ini, sekarang toko teh milik orang tuanya menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Toko ini penuh dengan kenangan indah, sebuah tempat di mana dia bisa merasakan kehadiran mereka meski hanya melalui aroma teh yang menyelimuti toko itu.
Setelah kepergian kedua orang tuanya tiga tahun lalu, Tacha selalu merasa bahwa semua yang datang padanya akan pergi pada waktunya. Namun, dia tak lagi merasa sedih. Baginya, hidup adalah tentang menghargai setiap pertemuan dan melepaskan setiap perpisahan. Dia menarik napas panjang, mencoba menyatu dengan ritme toko yang kini menjadi bagian dari dirinya.
Ketika lonceng pintu berbunyi, seorang pelanggan masuk, memecah keheningan pagi. Tacha menyambutnya dengan senyum.
"Satu es matcha dengan satu slice matcha mille crepes, sudah sesuai pesanan?" Tacha menyodorkan gelas berisi minuman hijau pekat dan sepotong kue mille crepes yang berlapis-lapis, dihiasi taburan matcha.
Pelanggan itu mengangguk. "Ya, sudah benar."
"Totalnya 45.500. Mau bayar tunai atau non-tunai?" Tacha bertanya sambil menyiapkan struk di kasir.
"Cash saja," jawab pelanggan itu sembari menyerahkan beberapa lembar uang.
Tacha menerima uangnya, lalu tersenyum hangat. "Terima kasih. Semoga es matcha dan kue ini bisa membuat hari kamu lebih baik."
Pelanggan itu tersenyum kembali, kemudian melangkah menuju meja di sudut ruangan. Tacha memandangi punggungnya dengan perasaan campur aduk—sebuah kebiasaan yang selalu muncul setiap kali dia menyajikan pesanan. Mungkin kecil bagi sebagian orang, tapi baginya, memberikan sedikit kebahagiaan lewat segelas teh dan sepotong kue adalah bentuk cinta yang dia warisi dari orang tuanya.
"Taroe, ini ada pesanan teh untuk rumah sakit di seberang. Nanti kamu yang antar ya. Aku baru ingat, hari ini ada acara pernikahan temanku yang pernah mampir ke sini," kata Tacha sambil mengatur gelas-gelas berisikan teh
"Temanmu? Atau mantanmu?" Taroe, saudara kembar Tacha, menatapnya dengan curiga. "Dan dengan pakaian seperti itu?"
"Kenapa? Kaos, kemeja, dan celana cargo ini kan sudah cukup rapi!" Tacha menjawab, berusaha mempertahankan penampilannya.
"Astaga, Tacha! Itu acara pernikahan, bukan pasar malam! Ganti celana itu dengan rok atau setidaknya sesuatu yang lebih pantas," Taroe berkata dengan nada serius.
Tacha tertawa. "Haha, santai saja! Aku hanya bercanda. Tentu saja aku akan ganti pakaian. Pesanan ini sudah siap, tinggal kamu susun di kotak. Aku titip toko hari ini, ya!"
Sembari meletakkan gelas berisi es taro dengan whipped cream yang menggoda. "Jangan sampai kamu menghabiskan semua es taro ini sebelum pengantaran!" Tacha memberi pesan sambil melangkah keluar.
"Jangan sampai pulang dengan pengantin laki-lakinya!" Taroe menambahkan, dengan tersenyum lebar.
Tacha kemudian melangkah ke kamarnya, jantungnya berdegup kencang. Hari ini adalah hari pernikahan mantannya, dan meskipun rasa sakit masih menghantui, ia bertekad untuk tampil menawan. Ia mengganti pakaiannya dengan mini dress putih yang anggun, dipadu cardigan peach yang menambah kesan ceria. Di cermin, ia melihat refleksi seorang wanita yang bersinar, dan rasa percaya diri mulai tumbuh di dalam dirinya.
Saat ia sampai di gedung pernikahan, zico, sahabatnya, terpesona. "Wow, Cha! Kau terlihat manis sekali. Apa kau berencana membuat mantanmu menyesal hari ini?"
Tacha tersenyum tipis. "Mungkin. Tapi sebenarnya, aku lebih ingin membuktikan padanya bahwa aku baik-baik saja tanpa dia."
Zico melirik ke arah kerumunan. "Kalau perlu, aku bisa membuatnya malu di depan semua orang. Kita tahu betapa rendahnya dia."
"Tidak perlu," Tacha menjawab tegas, meski dalam hati ada sedikit kebencian. "Biarkan saja dia dengan pilihannya. Mungkin dia mengira wanita itu lebih baik dariku. Lagipula, aku hanya seorang penjual teh, sedangkan dia..."
"...memiliki jabatan tinggi di perusahaan," zico menyelesaikan kalimatnya. "Tapi jangan lupa, Cha, harga diri dan ketulusanmu jauh lebih berharga daripada gelar atau harta."
Tacha mengangguk, mengenang langkahnya yang diambil dengan tekad. "Aku memilih untuk meneruskan toko teh orang tuaku, karena ada banyak kenangan di sana. Mungkin aku tidak sehebat yang dia inginkan, tapi aku bahagia dengan hidupku."
Zico tersenyum, "Andai kamu tidak berhenti mengejar mimpimu, aku yakin kamu akan menjadi sesuatu yang luar biasa."
"Sampai sini aja kita bicara tentang masa lalu," Tacha menjawab sambil tersenyum. "Kita fokus saja pada masa depan. Ngomong-ngomong, bagaimana dengan hubunganmu? Sudah lama kau tidak mengunggah foto pacarmu."
Zico menghela napas, tampak ragu. "Sebenarnya, aku putus dengannya dua minggu lalu. Jane sudah memperingatkanku sebelum dia perjalanan dinas ke thailand, tapi aku tidak mempercayainya. Dia datang hanya karena hartaku, bukan karena cintaku, chaa."
"Insting perempuan itu tak pernah salah," kata Tacha, mengingat betapa tajamnya naluri sahabat mereka, Jane. "Andai saja dia ada di sini, dia pasti sudah menjambak rambut mantanmu itu."
Zico tertawa, membayangkan wajah Jane yang garang. "Ya, dia pasti akan melakukannya. Kita beruntung memiliki sahabat seperti dia."
"Tamu-tamu yang terhormat, silakan maju ke depan! Mempelai perempuan akan melempar buket bunganya!" MC mengumumkan dengan semangat, memicu sorak-sorai dan tawa.
Zico, sahabat Tacha yang penuh energi, segera menarik lengan Tacha. "Cha, ini saatnya! Ayo maju!"
"Tidak! Aku tidak akan menangkap bunga dari pernikahan mantanku!" Tacha menolak, merasakan kepanikan di dadanya. Bayangan masa lalu melintas di pikirannya, membuatnya ragu.
"Coba saja, itu mungkin pertanda baik untukmu!" Zico memaksa, memberikan dorongan yang sulit ditolak.
Tacha menggelengkan kepala, "Ini gila, Ico! Aku belum punya pasangan!"
"Kalau kau menangkapnya, itu bisa jadi tanda kamu akan segera menemukan cinta sejati!" Zico terus membujuk, tak mau menyerah.
"Baiklah, semuanya siap! Hitungan ketiga, silakan mempelai melempar buket!" MC berseru, dan kerumunan mulai bersorak.
"1... 2... 3..."
Buket bunga meluncur di udara, berkilauan seperti bintang jatuh. Tanpa berpikir panjang, Tacha melompat ke depan dan—dalam momen yang tidak terduga—ia menangkap buket itu dengan sempurna. Sorakan dan tepuk tangan membahana, dan dari sudut ruangan, ia menangkap pandangan Zico yang penuh kebanggaan.
"Baik, nona! Tunggu sebentar!" MC memanggilnya saat Tacha kembali ke tempatnya, senyum lebar tak bisa disembunyikan.
"Silakan berfoto dengan para pengantin. Nona, berdiri di tengah-tengah pengantin dan tunjukkan buketnya!" arahnya.
Tacha melangkah ke depan, berdiri di antara pengantin sambil memegang buket bunga itu. Di dalam hatinya, ia merasa bangga, sekaligus berani. Namun saat ia melirik ke samping, matanya bertemu dengan mantannya, yang sedang tersenyum sinis.
"Aku tidak menyangka kau akan datang, Cha. Apakah kau sudah menemukan penggantiku? Seingatku, kamu tidak bisa melupakanku," ucap mantannya, nada suaranya penuh kepuasan.
Tacha menguatkan dirinya dan menatap mantannya dengan ketegasan. "Aku datang hanya ingin memberikan selamat. Jika pun ada, orang itu bukan penggantimu, pria sepertimu tidak layak." jawabnya dengan suara yang tegas, melawan rasa sakit yang pernah ia alami.
Mantan Tacha terdiam, wajahnya berubah, tak siap menghadapi keberanian mantannya itu. Rasa percaya diri Tacha mengalir, dan untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar bebas.
Setelah sesi foto selesai, Tacha kembali ke tempatnya, merasakan jantungnya berdetak cepat. Zico menghampirinya dengan bangga. "Cha, kau benar-benar hebat! Itu jawaban yang luar biasa."
"Makasih, Ico. Rasanya menyenangkan bisa berdiri di sini dengan percaya diri. Hari ini bukan hanya tentang mantanku, tetapi tentang aku dan perjalanan hidupku sendiri." Tacha menjawab.
Setelah acara selesai, Zico mendekati Tacha "Setelah ini kamu langsung pulang, Cha?"
Tacha mengangguk sambil melirik jam tangannya. "Iya, udah malam, Co. Aku harus buru-buru ke toko, Taroe pasti butuh bantuan untuk tutup dan bersih-bersih toko."
Zico tampak sedikit kecewa. "Oh, nggak bisakah kita minum bir malam ini? Sekalian ngobrol-ngobrol santai."
Tacha terkekeh pelan, menggoda. "Besok lusa aja deh, Co. Aku janji. Lusa jane balik dan kita bisa merayakan kemenanganku malam ini... dan mungkin juga meratapi kepedihanmu . Hahaha."
Zico tersenyum masam. "Kamu kejam cha, malah nambahin garam diatas lukaku."
Tacha tertawa lepas. "Haha, itu namanya hidup, Co. Konsekuensinya ya itu. Aku pergi dulu, ya. Bus terakhir bentar lagi datang, aku takut ketinggalan."
Zico melambaikan tangan, pasrah. "Baiklah, hati-hati di jalan."
Tacha mempercepat langkahnya menuju halte. Saat berjalan, dia melewati toko radio tua yang memutar siaran berita dari pengeras suara di jendela. Sesuatu dalam berita itu membuat langkahnya terhenti.
"Kepada para pendengar, kami mendapat laporan bahwa Naga Kuning, makhluk legendaris yang sering muncul dalam cerita mitologi, dikabarkan akan menampakkan dirinya malam ini. Pengendara diharapkan berhati-hati dan tetap waspada."
Tacha tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Naga Kuning? Kalau ini tentang 4 simbol penguasa langit. Pasti akan seru dan menarik. Tapi yang lain apa akan percaya?"
Tiba-tiba, dari sudut matanya, Tacha melihat bus terakhir mendekat. "Oh, busnya datang!" Dengan cepat, dia berlari. Beruntung, sang sopir melihatnya dan menunggu sebentar hingga Tacha berhasil naik.
"Terima kasih banyak, Pak," kata Tacha sambil tersengal-sengal, memindai kartunya dan memilih tempat duduk di bagian belakang. Dia menyandarkan kepalanya ke jendela, menikmati pemandangan lampu-lampu kota yang menari di kegelapan malam.
Namun, tak lama kemudian, sesuatu yang aneh menarik perhatiannya. Di langit, di antara bintang-bintang dan bulan yang purnama, ia melihat sesuatu yang tak mungkin nyata, seekor naga kuning besar, terbang anggun, melingkari bulan dengan tubuh panjang berkilauan. Tacha terperangah, matanya tak berkedip, dadanya berdegup kencang.
"Tidak mungkin... Apa aku halusinasi?"
Tiba-tiba, semua lampu di jalan dan di bus mati mendadak. Suara mesin bus yang biasanya tenang kini menderu kencang, dan dalam sekejap, bus berguncang hebat.
Brakk!! Benturan keras terjadi. Tacha terdorong ke depan, kepalanya terantuk sesuatu. Cairan hangat mengalir di dahinya. Dengan penglihatan yang mulai buram, ia menatap keluar jendela sekali lagi. Di sana, naga kuning itu melilit bulan, seakan menguasai langit malam.
Kesadarannya memudar, pikirannya berputar di antara kenyataan dan mimpi. Naga itu... nyata. Dan dunia baru saja berubah dalam sekejap mata.